biruu

Pundak gue selalu ada untuk orang yang juga selalu meminjamkan bahunya saat gue ga mampu lagi menahan air mata.

Saat kedua remaja itu sedang menikmati makanannya, mereka dikejutkan dengan notifikasi ponsel Ataya yang terus berbunyi dan menampilkan nama Karin disana.

“Bim, Karin ngechat gue.” Ucap Ataya seraya membaca pesan dari Karin.

“Kenapa? Bilang apa dia?”

“Mama lo…”

“Shit!” Umpat Bima saat mengecek ponselnya yang ternyata mati karena lowbat.

Detik itu juga Bima berhenti mengunyah makanannya dan memakai jaketnya “Aya, kali ini pulang naik angkot dulu gapapa?” Tanya Bima dengan wajah cemasnya.

“Gue ikut, Bim.”

“Tapi-“

“Gue ikut.”

“Hufttt… Yaudah ayo.”

Diperjalanan, mereka hanya diam dan saling bertengkar dengan isi kepalanya masing-masing. Sore itu, angin benar-benar berhembus begitu kencang sehingga membuat Ataya memeluk dirinya sendiri karena kedinginan. Bima yang melihat itu dari kaca spionnya, seketika memberhentikan motornya dan melepaskan jaketnya.

“Lho? Kenapa berhenti Bim? Ayo buruan.”

“Pake.” Ucap Bima sembari memberikan jaketnya pada Ataya.

“Gausah Bim, pake aja.”

“Aya, pake.

“Bima, gausah. Ayo buruan, kasian Mama lo sama Karin.” Jawaban Ataya itu membuat Bima mendecak dan memakaikan jaketnya itu pada Ataya.

“Kalau gue bilang pake, pake Aya.” Bisik Bima di telinga Ataya.

“Ayo buruan naik.”

***

“Kak Bim!!” Teriak Karin saat melihat Bima yang telah tiba di halaman rumahnya.

“Mama!”

“JAHAT! JAHAT! KENAPA HARUS WANITA ITU?! JAHAT!!” Wanita paruh baya itu terus mencoba untuk melukai dirinya dengan memukul kepalanya dengan tangan dan menjambak rambutnya sendiri. Namun Karin dan Bima berusaha untuk memeluknya dan menahan tangannya.

“Ma, udah ma. Jangan lukai diri mama. Udah ya…” Ucap Bima seraya memeluk mamanya.

“Kenapa harus perempuan itu?! Bima…”

“Iya ma… Udah ya, mama jangan gini lagi. Bima sayang sama mama.” Pria itu mengelus pundak mamanya dan menenangkan wanita itu.

“Mama udah makan dek?” Tanya Bima pada Karin.

“Udah, tapi baru makan dikit makanannya dilempar. Obatnya juga belum diminum.” Jawab Karin seraya menoleh ke arah pecahan piring dan gelas yag masih berisi makanan mamanya.

Bima menghela napasnya, ini bukan kali pertama ia harus menenangkan mamanya seperti ini, tapi mau bagaimana lagi?

“Ma, istirahat ya? Bima antar ke kamar.” Ucap Bima saat melihat mamanya sudah mulai tenang.

“Bima, jangan tinggalin mama ya nak…” Ucap mamanya seraya memandang lekat-lekat anaknya itu.

“Iya ma, ngga. Bima disini untuk mama.” Bima tersenyum dan mengelus rambut mamanya.

*** Bima terduduk lemas di teras rumahnya, memandang langit yang malam itu penuh dengan bintang. Ia menghela napasnya seraya menundukkan kepalanya dan memeluk lututnya.

“Bim…” Ucap Ataya seraya menepuk pundak Bima.

Bima terlinjak kaget saat Ataya duduk disampingnya “ Aya? Maaf maaf gue jadi telat nganter lo balik. Gue antar sekarang?”

“Bima, lo nangis?!”

“Ha? Mana ada?” Pria itu membalikkan badannya dan menghapus sedikit air yang menetes dari matanya yang indah.

“Bohong.”

“Maaf.” “Bim, sini.” Ucap Ataya seraya menepuk pundaknya.

“Nangis aja Bim, jangan lo pendam sendiri. Jangan lukai diri lo dengan memendam rasa sedih itu sendirian. Bahu gue selalu ada untuk lo, untuk orang yang juga selalu minjemin bahunya untuk gue.” Sambungnya.

Malam itu, Bima meluapkan semua kesedihannya di bahu Ataya. Gadis itu mengelus punggung Bima yang sedikit bergetar. Tepat setelahnya, terdapat bintang jatuh yang menghiasi langit malam itu.

“Aya, gue anter pulang ya.” Ucap Bima saat ia merasa sudah mulai tenang.

“Lo udah gapapa emang? Maaf ya Bim, harusnya tadi gue ga ikut.”

“Udah, gapapa. Ayo gue anter pulang, udah malam nih ntar bunda lo nyariin anak manjanya ini.”

“Gue ga manja ya!” Kalimat itu membuat Bima mengacak-acak rambut Ataya, katanya gemas.

“Setelah gue teliti gula yang ada di es teh ini, senyuman lo lebih manis, Ay.”


Ataya menghela nafasnya setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Cakra, entah sampai kapan pria itu akan membuka hatinya untuk Ataya.

“Huftt... Walaupun lo cuek gini, kok rasa sayang gue ga bisa ilang ya ke Cakra?” Gumamnya sembari mengemas buku-bukunya ke dalam tas dan segera menuju ke lapangan futsal sekolahnya siang itu.

Namun sialnya saat ia melewati lapangan basket kepalanya terkena lemparan bola basket yang meleset dari ring hingga membuatnya terasa sedikit pusing.

“Woy! Lempar bolanya kesini!” Teriak seseorang yang menyuruhnya untuk melempar bola itu kembali ke lapangan. Orang itu adalah Cakra.

“Lo ga denger gue bilang apa?!”

“Iya iya bentar Cakra, kepala ku pusing.” Jawab Ataya.

“Lebay lo.” Ucap Cakra dengan entengnya.

“Heh Cakra jangan gitu sama cewe.” Timpal Farhan, sahabat Cakra.

Ataya meraih bola itu dan melemparnya ke lapangan itu, namun pria dengan hidung mancung itu masih saja berdecak.

“Lemah banget sih!” Ucap Cakra setelah Ataya menghilang dari pandangannya.

“Jangan gitu Ra, ntar lo suka lagi sama si Taya.” Ucap Farhan.

“Najis!” Ketus Cakra.

***

“Bima!” Panggil Ataya saat melihat sahabatnya itu duduk di bangku yang berada di samping lapangan futsal.

“Udah selesai tugas lo?” Tanya Bima saat ia menerima air mineral yang dilemparkan oleh Ataya.

“Udah, baru aja.” Jawabnya seraya mengelus kepalanya yang masih terasa pusing karena terkena benturan bola basket tadi.

“Lo kenapa? Pusing?” Tanya Bima.

“Ngga, gapapa.” Jawab Ataya. Ia tak mau memberi tau Bima jika kepalanya terkena benturan bola basket, apalagi itu perbuatan Cakra. Sejak SMP, Bima dan Cakra memang sudah berselisih entah karena alasan apa.

“Jangan boong.”

“Gue ga boong Bima.”

“Yaudah, bentar lagi gue selesai latihan. Lo gapapa kan nunggu bentar?”

“Gapapa, gue udah kebal kalo nungguin lo latihan.”

“Gue nunggu disini ya.”

“Mau lo diatas gawang juga gapapa.”

Setelah warna langit mulai berubah menjadi sedikit orange, Bima menyudahi latihannya bersama timnya. Keringat yang bercucuran dan membuat rambutnya basah semakin menambah ketampanannya, sehingga membuat para siswi yang menonton di pinggir lapangan ikut menjerit dan memotret pemandangan indah di depan mereka.

“Bima ganteng banget!!!”

“Pacar gue!!”

“Kak Bima!! Dapet salam dari mama!!”

“Fans lo tuh.” Ucap Ataya seraya menyenggol lengan Bima.

“Apaan sih.” Ujar Bima sembari mengelap keringatnya dengan handuk kecil pemberian Ataya. Walaupun berkeringat, namun pria itu masih saja wangi, mungkin ia mandi dengan kembang tujuh rupa.

“Balik yuk.” Ucap Bima dan menarik tangan Ataya menuju parkiran sekolah yang sudah cukup sepi, hanya ada beberapa motor disana, motor milik Cakra salah satunya.

“Bim, tunggu bentar ya gue kebelet.” Ucap Ataya saat mereka baru saja sampai di parkiran.

“Yaudah gue tunggu disini ya.”

Gadis itu berlari menuju wc yang berada di dekat ruang ganti yang pintunya sedikit terbuka, namun betapa terkejutnya ia saat melihat keadaan Cakra yang begitu kacau di dalam sana.

“Cakra!” Ia menjerit saat melihat Cakra ingin melukai tangannya dengan pisau cutter yang digenggamnya.

“Arghh! Pergi lo!!” Bentak Cakra dan mendorong tubuh Ataya hingga membentur dinding saking kuatnya dorongan Cakra.

“Jangan lukai diri lo Cakra! Kalo lo kenapa-napa gimana?!”

“Apa hubungannya sama lo?! Mau gue mati sekalipun gaakan ada hubungannya sama lo. Pergi!!”

“Cakra... Jangan...”

“Pergi atau-”

“Aya!!” Teriak Bima saat melihat Ataya dan Cakra dalam ruangan itu.

“Eh lo apain Ataya?!” Bentak Bima.

“Pergi lo berdua!!”

“Cakra...”

“Aya! Ayo pulang.” Ucap Bima sembari menarik tangan Ataya untuk menjauh dari ruangan itu.

Sesampainya di parkiran, Ataya melepas genggaman Bima dengan kasar.

“Bima! Lo apa-apaan sih?! Kalo Cakra kenapa-napa gimana?!”

“Bego! Mau sampai kapan lo bego karena cinta?!”

“Gaada urusannya sama lo.” Jawaban Ataya itu sukses membuat Bima berdecak.

“Mau sampai kapan lo kaya gini ay?” Batin Bima.

“Maaf.” Lirih Bima sembari memakai helmnya.

“Makanya cari cewe biar ga ngurusin hubungan gue mulu.” Ucap Ataya seraya menaiki motor Bima.

“Males, ga tertarik.”

“Dih ga normal lo ya?”

“Mau fokus belajar dulu. Gue bukan lo yang tiap hari ngebucin tapi cintanya bertepuk sebelah tangan.” Ucapan Bima itu sukses mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari Ataya.

“Sakit woy!”

“Ya lagian lo kalo ngomong nyelekit banget!”

“Maaf.”

“Bim...”

“Apa?”

“Kedai mie ayam mas Tejo kelewatan.”

“KENAPA LO GA BILANG?!”


“Mas Tejo, mie ayam dua kaya biasa ya.” Ucap Ataya saat memesan mie ayam langganannya itu.

“Berdua mulu, kalian pacaran ya?” Tanya mas Tejo seraya melihat Ataya dan Bima secara bergantian.

“Ngga.”

“Iya.”

“Heh! Enak aja. Engga mas, dia mah bodyguard saya.”

“Padahal cocok kalo pacaran.”

“Ga. Udah mas buruan saya laper nih.”

Tak lama menunggu, pesanan mereka datang dan membuat gadis itu yang tadinya murung kembali ceria karena mie ayam favoritnya.

“Ay, setelah gue teliti, gula yang ada di es teh ini kalo dibandingin sama senyuman lo, kayanya es teh ini kalah.”

“Bima!!!”

“Humairah, kita main game, mau?”

“Game apa kak? Gausah aneh-aneh.”

“Saya mau sembunyi, tapi kamu ngga perlu nyari saya.”Ucap Harriz seraya mengelus perut Alia.

“Sehat-sehat ya, nak.” Sambungnya.

“Dih, game apaan itu. Ngga, gamau.”

“Saya pergi ya.”

“Kak!!”

Drtt…Drtttt…

Ponsel Alia berdering menandakan sebuah panggilan dari seseorang untuknya, tertera nama Haikal disana, membangunkannya darimimpi buruknya, ia mengelap kerinat dingin yang bercucuran di pelipisnya. Tapi ada apa pria itu menelponnya selarut ini?

“Assalamualaikum, kenapa Kal?”

Tak terdengar jawaban dari Haikal, hanya isakan kecil yang terdengar. Ada apa sebenarnya?

“Haikal, lo kenapa?”

“Al,kita ke bandara ya.”

“Lah? Ngapain? Ngga, ngapain anjir apa kata orang ntar. Lo gila ya? Kalo kak Harriz tau lo bisa kena amuk ya!”

“Kita mau ketemu Harriz.”

“Maksud lo?”

“Gue di depan, buruan Al.”Gadis itu melangkah dengan malas, rasa kantuk masih menyelimutinya. Ia hanya mencuci wajahnya dan memakai setelan pemberian Harriz sebelum pria pergi ke luar kota.

“Loh? Kal? Mata lo sembab gitu, abis putus sama pacar ya?” Pertanyaan Alia hanya dijawab gelengan oleh Haikal, pria itu melajukan mobilnya dengan cepat menuju arah bandara. Entah mengapa, jalan raya malam itu terasa begitu sepi dan hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Langit mulai menampakkan cahaya kilat namun tak berbunyi, pohon-pohon tertiup angin dengan kencangnya.

“Ayo, Al.” Ucap Haikal.

Setibanya di bandara, ia terkejut dengan banyaknya orang-orang.Mereka menangis? Menjerit? Ia masih tak mengerti, ada apa sebenarnya?

“Alia!!” Panggil Amira yang baru saja tiba di bandara bersama kedua orang tua Harriz. Tapi mengapa mereka juga menangis?

“Kal, kenapa semuanya nangis sih? Ini juga kenapa banyak banget yang ada bi bandara? Ada lonjakan penumpang ya? Apa mereka juga ikut terharu karena kak Harriz pulang?” Tanya Alia. Haikal hanya memijat pelipisnya seraya menahan air matanya mendengar pertanyaan Alia.

“Kak Amira! Kenapa nangis? Umi sama Abi kenapa nangis?” Tanya Alia. Ustadz Hafiz menengok ke arah Haikal dan membuat pria itu menggeleng seraya meneteskan air matanya.

Amira memeluk Alia dan berbisik di telinga gadis itu, “Kamu harus sabar ya dek, ikhlasin Harriz.” Lirih Amira.

“Kak, aku ngga ngerti loh ini. Kak Harriz semalam bilang udah di bandara dan janji bakal pulang. Alia juga udah nyiapin hadiah nih di kotak ini.” Ucap Alia seraya mengeluarkan kotak kecil dari saku sweaternya, sweater pemberian Harriz.

Tangis mereka pecah seketika, perasaan Alia mulai tak enak. Ia berharap apa yang ada di benaknya itu salah.

“Kepada seluruh keluarga korban jatuhnya pesawat Boeing 657 dengan tujuan Palembang-Jakarta dimohon untuk bersabar sejenak dan menunggu informasi selanjutnya dari pihak maskapai.” Ucap staff yang dapat didengar dari pengeras suara yang ada di bandara.

“Kak, itu bukan pesawat kak Harriz kan? Umi iya kan? Abi, kak Harriz naik pesawat yang lain kan?” Tanya Alia. Gadis itu mencoba untuk berpikir positif, namun air matanya tak dapat berbohong.

“Kak…” Lirihnya dan membuat kotak kecil yang ia genggam terjatuh begitu saja beriringan dengan jatuhnya air matanya.

“Nak, papa kamu ga pergi kok. Papa mungkin masih ada tugas lain yang belum selesai, ini bukan pesawat papa kamu, bukan.” Ucapnya seraya mengelus perutnya yang masih rata.

Kedua orang tua Harriz tak sanggup melihat keadaan menantunya yang mencoba kuat dihadapan mereka. Seketika Alia menghapus air matanya dan menyalakan ponsel yang ia genggam. Ia mencoba untuk menelpon Harriz, berharap pria itu mengangkat telponnya. Namun apa yang ia harapkan ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang baru saja ia dapatkan.

Ia menarik napasnya dalam-dalam dan mengucapkan dalam hatinya “Aku yakin, kamu bakal dateng kak. Aku akan selalu nunggu, anak kamu nungguin papanya.”

Amira menggenggam tangan Alia dengan erat, ia masih meneteskan air matanya. “Dek, kita ketemu Harriz ya.” Ucap Amira.

“Kak, Umi, Abi, Haikal, Kak Harriz tuh masih di Palembang. Pulangnya baru besok.”

Mereka tak menjawab Alia, mereka hanya melangkah di tempat dimana para keluarga korban berkumpul. Rasanya untuk berjalan saja mereka tak sanggup.

“Kak, aku tau di setiap pertemuan pasti ada kata selamat tinggal, tapi kalau untuk kamu, aku ga mau ada kata selamat tinggal.” Lirih Alia.

“Nak, sini duduk dekat umi…”

“Umi, kak Harriz ga akan ninggalin Alia sendiri. Dia udah janji semalam, katanya ada hadiah buat Alia juga.”

“Nak dengerin umi, kamu percaya dengan Qada dan Qadar kan? Kamu harus ingat satu hal, kalau takdir dan ketetapan Allah itu yang terbaik. Allah mengirimkan Harriz untuk kamu karena takdir dan Allah mengambil Harriz kembali karena takdir. Umi tau, untuk mengikhlaskan itu sulit, tapi Allah ngga akan menguji kita diluar dari batas kemampuan kita.”

“Tapi baru sebentar umi, baru sebentar waktu Alia untuk hidup sama Kak Harriz. Alia mau lebih lama lagi.” Ucapnya.

“Umi tau ini berat, tapi ikhlaskan Harriz nak.” Mendengar itu, dada Alia terasa sesak, ia memegang dadanya dan mencoba menahan tangisnya namun gagal. Air matanya tumpah dengan sendirinya, menandakan betapa hancurnya perasaannya malam itu.

“Semesta gue terlalu menyakitkan.”

Bersamaan dengan itu, hujan turun dengan derasnya, seperti mengerti dengan perasaan mereka yang merindu dengan orang yang mereka cintai.

“Mas, gimana teman saya?”

“Atas nama siapa mas temannya?” Tanya petugas bandara itu pada Haikal.

“Prince Harriz.”

“Penumpang atas nama Prince Harriz belum diketahui. Beberapa korban masih dalam pencarian juga. Mohon doanya agar seluruh penumpang bisa cepat ditemukan.” Ucap petugas tersebut.

Hilang sudah pertahanan Haikal. Ia terduduk lemah disana, secepat ini Harriz meninggalkan mereka?

“Harriz, lo beneran udah pergi?”

© Xxaabiiruu

Sebuah mobil melaju cukup kencang menyusuri jalanan yang cukup sepi malam itu. Pengendaranya yang bercucuran keringat karena rasa traumanya yang masih menempel di ingatannya.

“Assalamualaikum, Alia...” Ucapnya seraya mengetuk pintu rumah yang ditujunya rumah Alia.

“Waalaikumsalam. Fanya?! Lo kenapa anjir?! Masuk masuk.” Alia yang melihat keadaan Fanya malam itu merasa sangat terkejut karena penampilan saudaranya itu terlihat sangat kacau. Matanya yang memerah dan bengkak serta pakaiannya yang kusut. Apa yang terjadi pada gadis itu?

“Fanya... Lo kenapa?” Tak menjawab pertanyaan Alia, Fanya justru memeluk Alia dengan erat dan menangis dipelukan saudaranya itu.

“Hey, lo kenapa? Jangan bikin gue panik dong.”

“Gue hancur Al... Gaada lagi alasan gue untuk hidup.” Jawab Fanya dengan suara yang terbata-bata.

“Jangan bilang berita yang ada di base kampus itu...”

“Gue harus gimana Alia...”

“Gabriel?” Fanya hanya mengangguk dan masih menangis dipelukan Alia.

“Brengsek lo Gabriel!!!”

“Lo tenang dulu ya, atur nafas. Gue ambilin air dulu.”

Tubuh gadis itu masih gemetar dan mencoba menenangkan dirinya dengan memeluk lututnya dengan erat.

Sedangkan di dapur, sembari mengambil air putih untuk Fanya, Alia sedang bertengkar dengan isi kepalanya. Bagaimana caranya agar Gabriel bisa benar-benar sadar dengan apa yang telah ia lakukan?

“Ck! Bener-bener lo Gabriel!”

“Fanya, lo tenang dulu ya. I know it’s hurt, gue bakalan bantu lo gimanapun caranya biar Gabriel nyesel dengan apa yang udah dia perbuat. I’ll always here for you, cuz you’re my sister.” Ucap Alia seraya memeluk Fanya.

“Thank you so much, I really really regred about all of my deed to you. I’m sorry, Al.” Lirih Fanya.

*** “Humairah, kita main game, mau?”

“Game apa kak? Gausah aneh-aneh.”

“Saya mau sembunyi, tapi kamu ngga perlu nyari saya.”Ucap Harriz seraya mengelus perut Alia.

“Sehat-sehat ya, nak.” Sambungnya.

“Dih, game apaan itu. Ngga, gamau.”

“Saya pergi ya.”

“Kak!!”

Drtt…Drtttt…

Ponsel Alia berdering menandakan sebuah panggilan dari seseorang untuknya, tertera nama Haikal disana, membangunkannya darimimpi buruknya, ia mengelap kerinat dingin yang bercucuran di pelipisnya. Tapi ada apa pria itu menelponnya selarut ini?

“Assalamualaikum, kenapa Kal?”

Tak terdengar jawaban dari Haikal, hanya isakan kecil yang terdengar. Ada apa sebenarnya?

“Haikal, lo kenapa?”

“Al,kita ke bandara ya.”

“Lah? Ngapain? Ngga, ngapain anjir apa kata orang ntar. Lo gila ya? Kalo kak Harriz tau lo bisa kena amuk ya!”

“Kita mau ketemu Harriz.”

“Maksud lo?”

“Gue di depan, buruan Al.”Gadis itu melangkah dengan malas, rasa kantuk masih menyelimutinya. Ia hanya mencuci wajahnya dan memakai setelan pemberian Harriz sebelum pria pergi ke luar kota.

“Loh? Kal? Mata lo sembab gitu, abis putus sama pacar ya?” Pertanyaan Alia hanya dijawab gelengan oleh Haikal, pria itu melajukan mobilnya dengan cepat menuju arah bandara. Entah mengapa, jalan raya malam itu terasa begitu sepi dan hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Langit mulai menampakkan cahaya kilat namun tak berbunyi, pohon-pohon tertiup angin dengan kencangnya.

“Ayo, Al.” Ucap Haikal.

Setibanya di bandara, ia terkejut dengan banyaknya orang-orang.Mereka menangis? Menjerit? Ia masih tak mengerti, ada apa sebenarnya?

“Alia!!” Panggil Amira yang baru saja tiba di bandara bersama kedua orang tua Harriz. Tapi mengapa mereka juga menangis?

“Kal, kenapa semuanya nangis sih? Ini juga kenapa banyak banget yang ada bi bandara? Ada lonjakan penumpang ya? Apa mereka juga ikut terharu karena kak Harriz pulang?” Tanya Alia. Haikal hanya memijat pelipisnya seraya menahan air matanya mendengar pertanyaan Alia.

“Kak Amira! Kenapa nangis? Umi sama Abi kenapa nangis?” Tanya Alia. Ustadz Hafiz menengok ke arah Haikal dan membuat pria itu menggeleng seraya meneteskan air matanya.

Amira memeluk Alia dan berbisik di telinga gadis itu, “Kamu harus sabar ya dek, ikhlasin Harriz.” Lirih Amira.

“Kak, aku ngga ngerti loh ini. Kak Harriz semalam bilang udah di bandara dan janji bakal pulang. Alia juga udah nyiapin hadiah nih di kotak ini.” Ucap Alia seraya mengeluarkan kotak kecil dari saku sweaternya, sweater pemberian Harriz.

Tangis mereka pecah seketika, perasaan Alia mulai tak enak. Ia berharap apa yang ada di benaknya itu salah.

“Kepada seluruh keluarga korban jatuhnya pesawat Boeing 657 dengan tujuan Palembang-Jakarta dimohon untuk bersabar sejenak dan menunggu informasi selanjutnya dari pihak maskapai.” Ucap staff yang dapat didengar dari pengeras suara yang ada di bandara.

“Kak, itu bukan pesawat kak Harriz kan? Umi iya kan? Abi, kak Harriz naik pesawat yang lain kan?” Tanya Alia. Gadis itu mencoba untuk berpikir positif, namun air matanya tak dapat berbohong.

“Kak…” Lirihnya dan membuat kotak kecil yang ia genggam terjatuh begitu saja beriringan dengan jatuhnya air matanya.

“Nak, papa kamu ga pergi kok. Papa mungkin masih ada tugas lain yang belum selesai, ini bukan pesawat papa kamu, bukan.” Ucapnya seraya mengelus perutnya yang masih rata.

Kedua orang tua Harriz tak sanggup melihat keadaan menantunya yang mencoba kuat dihadapan mereka. Seketika Alia menghapus air matanya dan menyalakan ponsel yang ia genggam. Ia mencoba untuk menelpon Harriz, berharap pria itu mengangkat telponnya. Namun apa yang ia harapkan ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang baru saja ia dapatkan.

Ia menarik napasnya dalam-dalam dan mengucapkan dalam hatinya “Aku yakin, kamu bakal dateng kak. Aku akan selalu nunggu, anak kamu nungguin papanya.”

Amira menggenggam tangan Alia dengan erat, ia masih meneteskan air matanya. “Dek, kita ketemu Harriz ya.” Ucap Amira.

“Kak, Umi, Abi, Haikal, Kak Harriz tuh masih di Palembang. Pulangnya baru besok.”

Mereka tak menjawab Alia, mereka hanya melangkah di tempat dimana para keluarga korban berkumpul. Rasanya untuk berjalan saja mereka tak sanggup.

“Kak, aku tau di setiap pertemuan pasti ada kata selamat tinggal, tapi kalau untuk kamu, aku ga mau ada kata selamat tinggal.” Lirih Alia.

“Nak, sini duduk dekat umi…”

“Umi, kak Harriz ga akan ninggalin Alia sendiri. Dia udah janji semalam, katanya ada hadiah buat Alia juga.”

“Nak dengerin umi, kamu percaya dengan Qada dan Qadar kan? Kamu harus ingat satu hal, kalau takdir dan ketetapan Allah itu yang terbaik. Allah mengirimkan Harriz untuk kamu karena takdir dan Allah mengambil Harriz kembali karena takdir. Umi tau, untuk mengikhlaskan itu sulit, tapi Allah ngga akan menguji kita diluar dari batas kemampuan kita.”

“Tapi baru sebentar umi, baru sebentar waktu Alia untuk hidup sama Kak Harriz. Alia mau lebih lama lagi.” Ucapnya.

“Umi tau ini berat, tapi ikhlaskan Harriz nak.” Mendengar itu, dada Alia terasa sesak, ia memegang dadanya dan mencoba menahan tangisnya namun gagal. Air matanya tumpah dengan sendirinya, menandakan betapa hancurnya perasaannya malam itu.

“Semesta gue terlalu menyakitkan.”

© Xxaabiiruu

Sebuah mobil melaju cukup kencang menyusuri jalanan yang cukup sepi malam itu. Pengendaranya yang bercucuran keringat karena rasa traumanya yang masih menempel di ingatannya.

“Assalamualaikum, Alia...” Ucapnya seraya mengetuk pintu rumah yang ditujunya rumah Alia.

“Waalaikumsalam. Fanya?! Lo kenapa anjir?! Masuk masuk.” Alia yang melihat keadaan Fanya malam itu merasa sangat terkejut karena penampilan saudaranya itu terlihat sangat kacau. Matanya yang memerah dan bengkak serta pakaiannya yang kusut. Apa yang terjadi pada gadis itu?

“Fanya... Lo kenapa?” Tak menjawab pertanyaan Alia, Fanya justru memeluk Alia dengan erat dan menangis dipelukan saudaranya itu.

“Hey, lo kenapa? Jangan bikin gue panik dong.”

“Gue hancur Al... Gaada lagi alasan gue untuk hidup.” Jawab Fanya dengan suara yang terbata-bata.

“Jangan bilang berita yang ada di base kampus itu...”

“Gue harus gimana Alia...”

“Gabriel?” Fanya hanya mengangguk dan masih menangis dipelukan Alia.

“Brengsek lo Gabriel!!!”

“Lo tenang dulu ya, atur nafas. Gue ambilin air dulu.”

Tubuh gadis itu masih gemetar dan mencoba menenangkan dirinya dengan memeluk lututnya dengan erat.

Sedangkan di dapur, sembari mengambil air putih untuk Fanya, Alia sedang bertengkar dengan isi kepalanya. Bagaimana caranya agar Gabriel bisa benar-benar sadar dengan apa yang telah ia lakukan?

“Ck! Bener-bener lo Gabriel!”

“Fanya, lo tenang dulu ya. I know it’s hurt, gue bakalan bantu lo gimanapun caranya biar Gabriel nyesel dengan apa yang udah dia perbuat. I’ll always here for you, cuz you’re my sister.” Ucap Alia seraya memeluk Fanya.

“Thank you so much, I really really regred about all of my deed to you. I’m sorry, Al.” Lirih Fanya.

*** “Humairah, kita main game, mau?”

“Game apa kak? Gausah aneh-aneh.”

“Saya mau sembunyi, tapi kamu ngga perlu nyari saya.” Ucap Harriz seraya mengelus perut Alia.

“Dih, game apaan itu. Ngga, gamau.”

“Saya pergi ya.”

“Kak!!”

Drtt…Drtttt…

Ponsel Alia berdering menandakan sebuah panggilan dari seseorang untuknya, tertera nama Haikal disana, membangunkannya darimimpi buruknya, ia mengelap kerinat dingin yang bercucuran di pelipisnya. Tapi ada apa pria itu menelponnya selarut ini?

“Assalamualaikum, kenapa Kal?”

Tak terdengar jawaban dari Haikal, hanya isakan kecil yang terdengar. Ada apa sebenarnya?

“Haikal, lo kenapa?”

“Al,kita be bandara ya.”

“Lah? Ngapain? Ngga, ngapain anjir apa kata orang ntar. Lo gila ya? Kalo kak Harriz tau lo bisa kena amuk ya!”

“Kita mau ketemu Harriz.”

“Maksud lo?”

“Gue di depan, buruan Al.” Gadis itu melangkah dengan malas, rasa kantuk masih menyelimutinya. Ia hanya mencuci wajahnya dan memakai setelan pemberian Harriz sebelum pria pergi ke luar kota.

“Loh? Kal? Mata lo sembab gitu, abis putus sama pacar ya?” Pertanyaan Alia hanya dijawab gelengan oleh Haikal, pria itu melajukan mobilnya dengan cepat menuju arah bandara. Entah mengapa, jalan raya malam itu terasa begitu sepi dan hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Langit mulai menampakkan cahaya kilat namun tak berbunyi, pohon-pohon tertiup angin dengan kencangnya.

“Ayo, Al.” Ucap Haikal.

Setibanya di bandara, ia terkejut dengan banyaknya orang-orang.Mereka menangis? Menjerit? Ia masih tak mengerti, ada apa sebenarnya?

“Alia!!” Panggil Amira yang baru saja tiba di bandara bersama kedua orang tua Harriz. Tapi mengapa mereka juga menangis?

“Kal, kenapa semuanya nangis sih? Ini juga kenapa banyak banget yang ada bi bandara? Ada lonjakan penumpang ya? Apa mereka juga ikut terharu karena kak Harriz pulang?” Tanya Alia. Haikal hanya memijat pelipisnya seraya menahan air matanya mendengar pertanyaan Alia.

“Kak Amira! Kenapa nangis? Umi sama Abi kenapa nangis?” Tanya Alia. Ustadz Hafiz menengok ke arah Haikal dan membuat pria itu menggeleng seraya meneteskan air matanya.

Amira memeluk Alia dan berbisik di telinga gadis itu, “Kamu harus sabar ya dek, ikhlasin Harriz.” Lirih Amira.

“Kak, aku ngga ngerti loh ini. Kak Harriz semalam bilang udah di bandara dan janji bakal pulang. Alia juga udah nyiapin hadiah nih di kotak ini.” Ucap Alia seraya mengeluarkan kotak kecil dari saku sweaternya, sweater pemberian Harriz.

Tangis mereka pecah seketika, perasaan Alia mulai tak enak. Ia berharap apa yang ada di benaknya itu salah.

“Kepada seluruh keluarga korban jatuhnya pesawat Boeing 657 dengan tujuan Palembang-Jakarta dimohon untuk bersabar sejenak dan menunggu informasi selanjutnya dari pihak maskapai.” Ucap staff yang dapat didengar dari pengeras suara yang ada di bandara.

“Kak, itu bukan pesawat kak Harriz kan? Umi iya kan? Abi, kak Harriz naik pesawat yang lain kan?” Tanya Alia. Gadis itu mencoba untuk berpikir positif, namun air matanya tak dapat berbohong.

“Kak…” Lirihnya dan membuat kotak kecil yang ia genggam terjatuh begitu saja beriringan dengan jatuhnya air matanya.

“Nak, papa kamu ga pergi kok. Papa mungkin masih ada tugas lain yang belum selesai, ini bukan pesawat papa kamu, bukan.” Ucapnya seraya mengelus perutnya yang masih rata.

Kedua orang tua Harriz tak sanggup melihat keadaan menantunya yang mencoba kuat dihadapan mereka. Seketika Alia menghapus air matanya dan menyalakan ponsel yang ia genggam. Ia mencoba untuk menelpon Harriz, berharap pria itu mengangkat telponnya. Namun apa yang ia harapkan ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang baru saja ia dapatkan.

Ia menarik napasnya dalam-dalam dan mengucapkan dalam hatinya “Aku yakin, kamu bakal dateng kak. Aku akan selalu nunggu, anak kamu nungguin papanya.”

Amira menggenggam tangan Alia dengan erat, ia masih meneteskan air matanya. “Dek, kita ketemu Harriz ya.” Ucap Amira.

“Kak, Umi, Abi, Haikal, Kak Harriz tuh masih di Palembang. Pulangnya baru besok.”

Mereka tak menjawab Alia, mereka hanya melangkah di tempat dimana para keluarga korban berkumpul. Rasanya untuk berjalan saja mereka tak sanggup.

“Kak, aku tau di setiap pertemuan pasti ada kata selamat tinggal, tapi kalau untuk kamu, aku ga mau ada kata selamat tinggal.” Lirih Alia.

“Nak, sini duduk dekat umi…”

“Umi, kak Harriz ga akan ninggalin Alia sendiri. Dia udah janji semalam, katanya ada hadiah buat Alia juga.”

“Nak dengerin umi, kamu percaya dengan Qada dan Qadar kan? Kamu harus ingat satu hal, kalau takdir dan ketetapan Allah itu yang terbaik. Allah mengirimkan Harriz untuk kamu karena takdir dan Allah mengambil Harriz kembali karena takdir. Umi tau, untuk mengikhlaskan itu sulit, tapi Allah ngga akan menguji kita diluar dari batas kemampuan kita.”

“Tapi baru sebentar umi, baru sebentar waktu Alia untuk hidup sama Kak Harriz. Alia mau lebih lama lagi.” Ucapnya.

“Umi tau ini berat, tapi ikhlaskan Harriz nak.” Mendengar itu, dada Alia terasa sesak, ia memegang dadanya dan mencoba menahan tangisnya namun gagal. Air matanya tumpah dengan sendirinya, menandakan betapa hancurnya perasaannya malam itu.

“Semesta gue terlalu menyakitkan.”


© Xxaabiiruu

Tiba sudah Harriz di tempat tujuannya. Melangkahkan kakinya menuju hotel tempatnya menginap untuk beberapa hari selama menjalanimkunjungan kerja.

“Sepi, tidak ada Humairah.”Batinnya.

Drttt…Drttt…

Suara ponsel itu membuatnya sedikit terkejut, pasalnya pikirannya saat ini sedang tertuju pada wanita yang begitu ia cintai.

“Assalamualaikum, kak, udah nyampe?”

“Waalaikumsalam, sudah. Ini baru tiba di hotel, kamu baik-baik saja kan?”

“Iya, kamu istirahat ya. Denger suara kamu aja udah cukup buat aku tenang kak. Semangat ya kerjanya.”

“Semangat juga ya kuliahnya, oleh sayang.”

“Jangan panggil sayang.”

“Kenapa? Salah kah?” Tanya Harriz dengan wajahnya yang sedikit bingung walau tak dapat dilihat oleh Alia. Andai saja ia bersama dengan Alia, mungkin pipinya akan habis karena cubitan dari istrinya itu.

“Ga salah kak ga salah, tapi kalo keseringan hati aku jadi ga karuan!”

“Pasti muka kamu sekarang merah.”

“Mana ada. Ngga ya! Udah ah mau nugas dulu. Semangat kerjanya suami, jangan lirik cewe lain ya!”

“Semangat juga nugasnya, istri.”

Setelah perbincangan singkat itu, Harriz mengambil laptopnya untuk sekedar mengerjakan pekerjaannya yang lain. Di sisi lain, Alia sedang menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa pusing dengan beberapa tugas-tugas akhirnya. Namun, karena tak ingin rasa stresnya berkepanjangan, ia memutuskan untuk mengambil kunci mobil Harriz dan pergi ke suatu tempat yang sudah lama tak ia kunjungi.

Gadis itu memberhentikan mobilnya di sebuah toko bunga yang selalu ia datangi sebelum pergi ke tempat tujuannya itu.

“Pak, bunganya kaya biasa ya.” Ucapnya saat berada di toko bunga langganannya.

“Neng dokter ya? Udah lama ngga kesini neng.” Ucap pemilik toko itu sembari menyiapkan pesanan Alia.

“Belum jadi dokter pak, Inshaa Allah bentar lagi hehe.”

“Keren ya neng, pasti orang tuanya bangga. Salam ya buat ibu bapak.” Ucapan pemilik toko itu membuat Alia tersenyum lirih.

“Iya pak, nanti saya salamin.”

“Ini neng bunganya. Ini buat siapa? Pacarnya ya?”

“Buat bunda saya pak.”

“Bundanya ulang tahun neng?” Mendengar pertanyaan itu, Alia mengeleng singkat dan tersenyum.

“Buat ngehias makam bunda saya pak.”

“Astagfirullah, saya gatau neng. Maafin bapak ya.”

“Gapapa pak, saya permisi dulu ya. Ini uangnya.”

“Kelebihan neng.”

“Gapapa, buat bapak aja.”

“Alhamdulillah. Semoga rejekinya lancar ya neng.”

“Aamiin. Makasi pak, saya permisi. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Langkah demi langkahnya habis hingga ia tiba di tempat tujuannya sore itu. Meletakkan bunga segar yang baru saja ia beli diatas makam yang sudah ditumbuhi oleh rumput-rumput kecil itu.

“Assalamualaikum, bunda.” Lirihnya.

“Udah lama ya. Maaf Alia jarang ngunjungin makam bunda, Alia bener-bener gabisa ngatur waktu. Jujur, aku capek banget. Setelah beranjak dewasa, ada aja masalah yang datang. Tapi bunda tenang aja, aku tetep bahagia kok. Udah ada kak Harriz, ada umi, abi, kak Amira juga. Bunda tau ga, nih, bentar lagi bunda punya cucu tau, tapi Kak Harriz belum tau. Ini baru bunda yang tau, kak Harriz ntar aja abis dia balik dari Palembang. Seneng tau bun, ternyata gini ya rasanya jadi ibu, ya walaupun anak Alia belum lahir.”

“Bunda, makasih ya untuk semuanya. Semua pesan-pesan yang bunda kasih ke Alia akan selalu Alia inget. Bunda adalah bunda terbaik di dunia, oh iya bun aku juga bentar lagi mau koas. Ga sabar, bentar lagi mau jadi dokter. Ini semua berkat doa dari bunda selama ini. Alia sayang bunda selamanya. Oh iya, tadi bapak yang punya toko bunga nitip salam buat bunda katanya.”

Setelah cukup lama berada di makam bundanya, ia beranjak ke makam di sebelahnya lagi. Makam sahabatnya, Bintang.

“Hai Star. Lo kangen ga? Kangen sih pasti, lo kan orangnya kangenan bentar-bentar nelpon bentar-bentar vidcall. Tapi sekarang gaada lagi deh yang tiba-tiba vidcall gue kalo lagi nugas. Lo tadi nguping ya percakapan gue sama bunda? Bentar lagi lo punya ponakan nyet, andai aja lo masih ada pasti lo orang yang paling exited denger kabar ini. Gue sayang sama lo star, sayang banget. Tapi gue gabisa lama-lama disini, gue pamit ya nyet.”

Sebelum meninggalkan tempat itu, ia kembali menengok ke makam bundanya sebelum mengucapkan salam perpisahan untuk kedua orang yang ia sayangi itu. “Aku pamit ya bunda. Nyet, gue balik dulu ya. Assalamualaikum.”

Malam itu, Alia sedang membantu Harriz untuk mengemas kopernya karena sebentar lagi ia akan berangkat menuju kota Palembang untuk melakukan kunjungan kerja.

“Kak, beneran lima hari doang kan?” Tanya Alia sembari merapikan barang-barang Harriz.

“Iya sayangku cintaku.” Jawab Harriz seraya mencubit pipi Alia.

“Ah! Sakit kak.”

“Kamu tambah gembul gini.”

“Kenapa? Tambah jelek ya?!” Jawab Alia dengan nada ketus.

“Tidak, cantiknya nambah, enak dipeluk.”

“Dikira gue guling apa?” Lirih Alia yang masih bisa didengar oleh lelaki berparas manis itu.

“Kamu bukan guling, kamu istri saya.” Timpal Harriz.

“Awas ya kamu ngelirik cewe lain disana.”

“Untuk apa? Saya sudah punya kamu. Itu sudah cukup.”

“Oh iya, Haikal ikut kak?”

“Tidak, yang ikut hanya Janu.”

“Janu yang ototnya gede itu ya?”

“Kok kamu tau kalau ototnya gede?”

“Lihat fotonya di hp kamu waktu nge gym bareng kamu.”

“Bisa saja.”

“Udah nih, kamu berangkatnya jam tiga subuh kan?”

“Iya, masih bisa istirahat sebentar.”

“Setelah kunjungan kerja kamu selesai, aku mau ngasih kamu kejutan.”

“Kejutan apa?”

“Rahasia dong.”

*** Setibanya di bandara, Harriz berpamitan dengan Alia dan juga kedua orang tuanya yang ada disana. Tak lupa juga dengan Haikal dan Amira.

“Umi, Abi, Harriz pamit ya.”

“Iya nak, jangan lupa kasih kabar ya. Baik-baik disana.”

“Iya umi.”

“Hati-hati ya nak.”

“Iya abi.” Jawab Harriz seraya mencium tangan kedua orang tuanya.

“Bos! Save flight ya. Jangan lupa oleh-olehnya.”

“Mau apa kamu?”

“Restu aja. Iya ga, Ra?” Ucap Hikal kepada Harriz yang membuat Amira merasa malu.

“Kerja yang baik dulu.”

“Siap itu mah.”

Tiba saatnya ia pada Alia. Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca, rasanya sangat aneh saat ia akan ditinggal Harriz kali ini.

“Cepet pulang.” Rengek Alia seraya memeluk tubuh Harriz dan menyembunyikan wajahnya di dada suaminya itu.

“Iya sayang iya. Kamu jaga diri ya, jangan telat makan, shalat tepat waktu, jangan begadang, banyak-banyak minum air putih jangan minum kopi terus ya.”

“Kamu juga. Jangan begadang mulu, awas aja kalo sakit.”

“Iya. Aku berangkat ya.” Ucap Harriz sembari menjulurka tangannya pada Alia yang langsung diraih oleh gadis itu kemudian menciumnya.

“Tumben pake aku kamu?”

“Sekali-kali.”

“Halah, udah sana nanti ditinggal pesawat.”

“Jangan menangis ya kalau saya tidak ada.”

“Ga akan. Aku kan ga cengeng.” Ucap Alia yang dibalas senyuman oleh Harriz.

“Alia!”

“Raka? Kenapa?”

“Aku… Boleh ngomong bentar?” Ucap Raka seraya memperbaiki kacamatanya yang sedikit turun.

“Boleh, mau ngomongin apa?”

“Kamu udah tau kan kalo Gabriel dibebasin? Hati-hati ya, Alia.”

“Siapa yang ngebebasin Gabriel? Lo tau Ka?”

“Fa-”

“Raka! Kelas woy!” Panggil seorang teman Raka yang sedang membawa beberapa buku tebal di tangannya.

“Sebentar!”

“Fa? Siapa Ka?”

“Fanya. Hati-hati ya Alia, aku harap dia ngga berbuat macam-macam ke kamu.”

“Fanya…” Batin Alia.

“Aku permisi ya, mau ke kelas dulu.”

“Iya, semangat Raka!”

Saat sedang terhanyut dalam pikirannya sendiri, Alia dikejutkan dengan kedatangan Leon dan Dion, si kembar yang sangat berisik.

“ALIA!”

“Astaga! Eh kembar, bisa ga lain kali gausah bikin kaget gini. Kalo gue jantungan gimana coba!”

“Ya maap, soalnya kita liat dari tadi lo ngelamun. Mikirin apa sih?” Tanya Leon, dan Dion yang mengangguk di sampingnya.

“Gaada. Udah ya, gue mau ke taman.”

“Ikut.”

“Ga.”

***

“Gabriel! Sini lo bangsat!!”

Bugh!!

“Anjing! Apa-apaan sih lo?!”

“Apa?! Lo yang apa-apaan!”

Bugh!

“Lo udah nyakitin orang yang gua sayang! Gua kan udah bilang biarin dia bahagia dengan pilihannya!! ”

“Tapi gue juga cinta sama dia!”

“Brengsek!”

“Udah gua bantuin malah gini balesan lo!”

“Gua emang cinta sama dia, tapi dengan ngeliat dia bahagia itu udah cukup El!!.”

“Bodoh!” Umpat Gabriel sebelum akhirnya ia meninggalkan Raka di rooftop itu dengan keadaan babak belur ditambah dengan hujan yang turun cukup deras. Pria itu menangis tanpa suara, sendirian.

“Gue harap lo bahagia terus, Alia.” Batin Raka.

***

“Fanya!” Panggil Alia ketika melihat saudari tirinya itu sedang berjalan sembari memainkan ponselnya dikoridor gedung fakultasnya.

“Apa?” Ketus Fanya.

“Gue mau ngomong bentar.”

“Ga, gue gaada waktu. Lagi sibuk.”

“Bentar doang.”

“Ck, buruan.”

“Lo- Bebasin Gabriel? Kenapa?”

“Dia pacar gue, gue sayang sama dia. Wajar lah kalo gue bebasin dia.”

“Pake duit ayah?”

“P A P A. Bukan AYAH! Ya emang kenapa? Orang dia ga salah, yang salah tuh temen lo si Keyla!”

“Jangan percaya sama Gabriel Fanya.”

“Apa sih lo. Ga suka ya kalo mantan lo itu sekarang jadi pacar gue? Makanya jadi cewe jangan suka selingkuh kalo masih ada hubungan.”

“Wah ga bener nih. Dia boong Fanya. Jauhin dia, gue mohon.”

“Kenapa? Bilang sama gue alasannya apa?!”

“Gue udah kasih lo peringatan, gue harap lo bisa jaga diri.” Ucap Alia dan meninggalkan Fanya yang masih bertanya-tanya, ada apa dengan Alia?

FLASHBACK HARI PENANGKAPAN KEY DAN GABRIEL

Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah rumah kosong yang telah lama terbengkalai, terlihat dua orang di dalam mobil itu sedang merasa sangat cemas.

“El, cepetin dikit dong! Gue gamau masuk penjara anjir!”

“Bisa diem ga lo?! Ini semua gara-gara lo tau ga?!!”

“Kok gara-gara gue sih!”

“Ya lo mikir lah bego! Rencana awal kan ga kaya gini!!”

“Gue udah gedek ya sama si Alia makanya gue kaya gini! Malah temennya yang kena!!”

“LO-”

“GABRIEL!!”

DOR!!

Suara tembakan itu membuat jantung keduanya berdetak sangat kencang karena terkejut dengan keberadaan beberapa polisi yang sudah berada disana.

“Angkat tangan!!”

“Pak! Saya ga salah, ni cewe yang ngajakin saya berbuat keji.”

“Kamu lagi kamu lagi. Sudah berapa kali kamu membuat kasus kriminal begini! Cepat masuk!!” Ucap polisi tersebut saat memborgol tangan Gabriel dan Keyla.

Setibanya di kantor polisi, disana sudah ada Fanya yang terlihat begitu cemas menunggu Gabriel.

“Pak, bebaskan pacar saya ya. Saya siap membayar uang tebusan, berapapun itu.”

“Mohon maaf, pelaku harus menjalani hukuman sesuai dengan perbuatannya.”

“Tapi-”

“Nanti saja saat sidang.”

“Sayang, it’s ok.” Ucap Gabriel

Tanpa mereka sadari, Keyla tersenyum seringai mendengar mereka.

Flashback end

***

“Ayang!!” Ucap Alia seraya memeluk tubuh Harriz dari arah samping saat pria itu sedang menonton tv di ruang tengah rumah mereka.

“Kenapa sayang? Hmmm?” Tanya Harriz seraya mendekap tubuh Alia dan mengusap rambut wanita itu.

“Gapapa, pengen peluk aja. Kamu wangi banget ya, wangi vanilla.”

“Jadi manja ya sekarang…”

“Daripada manja sama suami orang, mending sama kamu.” Harriz hanya tertawa menanggapi jawaban istrinya, ia merasa gemas kemudian mencubit hidung Alia hingga merah.

“Aduh! Sakit. Aku baru tau kalo kamu suka nonton pororo juga.”

“Karena kamu suka.”

“Ah bisa aja.” Tak lama setelah perbincangan ringan itu, suara adzan pun terdengar sehingga mereka memutuskan untuk shalat berjamaah kali ini.

Saat Alia ingin memakai mukenahnya, Harriz memanggilnya dan memakaikan mukanah putih itu pada Alia.

“Cantik.”

“Ih apa sih.”

Setelah salam, Alia mencium tangan Harriz sperti biasa, kemudian disusul dengn kecupan di kening gadis itu.

“Kak, aku mau ngaji. Tapi bacaanku belum sempurna.”

“Sini, kita belajar sama-sama.” Ucap Harriz yang membuat Alia tersenyum.

Namun saat Alia salah mengucapkan satu huruf, sudah menjadi kebaisaan Harriz mengatakan;

“Yang benar itu seperti ini, sayang.”

“Ah, iya.” Jawab Alia.

Harriz membaca surah An-Nisa dengan suara indahnya dan Alia yang bersandar di pundaknya. Mendengar suara indah Harriz saat melantunkan ayat suci. Malam itu, ditengah derasnya suara hujan, mereka masih setia duduk beralaskan sejadah.

Setibanya di rumah, Alia juga dikejutkan dengan mobil Harriz yang juga sudah terparkir di garasi rumahnya.

“Dia dari mana sih?!” Batin Alia.

Gadis itu segera masuk dan mencari keberadaan Harriz. Ternyata pria itu sudah berada di ruang tv seraya memakan martabak manis rasa coklat keju yang baru saja ia beli.

“Kak, darimana aja sih?” Tanya Alia seraya duduk disamping pria itu.

“Beli martabak manis, kamu suka yang rasa coklat keju kan?” Tanya Harriz sembari tersenyum dan menawarkan sepotong martabak manis yang masih hangat itu pada Alia.

“Beli sih beli, tapi tadi muka kamu kaya lagi kerasukan reog. Aku jadi takut kamu kenapa-napa.” Ucap Alia sembari melahap martabak yang ditawarkan oleh Harriz.

“Kamu suka?”

“Suka, enak banget. Pasti belinya di mas Tejo.”

“Kurang tau, tapi tadi di tempatnya banyak yang antri.”

“Itu mas Tejo kak!!”

“Iya tidak perlu teriak, coklatnya sampai menyembur di pipi saya.” Ucap Harriz seraya membersihkan pipinya.

“Hehe maaf, btw tadi kamu liat apaan? Kok sampai segitunya?”

“Aku... Kamu bisa jelaskan? Ini... Ada... Kamu lihat sendiri. Jujur saya ingin sekali marah, tapi harus bagaimana? Itu juga bukan kemauan kamu. Sakit? Sangat sakit Alia, ketika melihat orang yang saya cintai, orang yang sangat saya jaga seperti halnya berlian telah direnggut paksa mahkotanya oleh orang asing. Saat saya melihat sikap kamu berubah beberapa waktu lalu, saya berjanji untuk memberi mencari orang yang sudah membuat kamu seperti itu, dan kemarin saya mendapatkan jawabannya. Dan orang itu sudah mendapatkan ganjaran dari perbuatannya. Kamu tidak harus menjelaskan semuanya, karena saya sudah mendapat jawabannya.” Ucap Harriz seraya menundukkan kepalanya dan memijat pelipisnya.

Namun tak lama setelah ia menjelaskan semuanya, ia mendengar isak tangis disampingnya. Dan benar saja, Alia, gadis itu sepertinya merasa bersalah sudah menutupi semua masa lalunya dari orang se sabar Harriz.

“Kenapa ga marah? Kenapa ga benci sama Alia? Kak marah dong jadi orang jangan terlalu sabar!!”

“Saya tidak punya alasan untuk marah, itu adalah bagian dari masa lalu yang bahkan tidak pernah kamu inginkan. Dan saya bangga sama kamu Karena kamu masih bisa bertahan sampai detik ini.”

“Kak maaf ya Alia ga jujur, Alia malu dan takut untuk cerita. Alia takut kalau kakak akan benci sama Alia. Jujur, aku ternyata seberuntung itu dapetin kamu, kamu terlalu sabar kak. Alia harap kamu bisa terus membimbing Alia, untuk menjadi suami, guru, teman, ayah, sekaligus pengganti bunda.”

“Sini.” Ucap Harriz seraya merentangkan tangannya untuk memeluk Alia.

Gadis itu memeluk Harriz dengan erat. Hangat, itu yang ia rasakan saat berada dalam dekapan suaminya itu. Entah kebaikan apa dan doa apa yang pernah bundanya lakukan di masa lalu sehingga ia bisa mendapatkan suami seperti Harriz.

“Kamu pantas untuk dicintai, kamu berharga dan selamanya kamu akan menjadi wanita saya. Terlepas bagaimana masa lalu kamu, saya tidak mempermasalahkan itu karena kamu adalah bentuk dari doa-doa saya, kamu bidadari yang Allah berikan untuk saya, bidadari yang selalu saya minta di setiap sujud saya. Semua hal tentang kamu adalah candu bagi saya Alia. Senyuman kamu, candaan kamu, dan semuanya tentang kamu adalah candu. Saya memang sebahagia itu jika menyangkut kamu.” Ucap Harriz seraya mengusap punggung Alia dengan lembut dan mencium pucuk kepala gadis itu berkali-kali.

“I love you forever, Humairah.”

'Deg!!'

Jantung Alia berdetak kencang karena kalimat itu. Mungkin bisa dihitung jari untuk kalimat itu keluar dari bibir Harriz, namun setiap kali ia mengucapkannya, jantung Alia selalu berdegup kencang. Apa benar ia sudah jatuh sedalam ini pada Harriz?

“I'll always love you now, and forever too kak.” Lirih Alia.

“Malam ini kita shalat tahajjud lagi ya.” Ucap Harriz. Masih dengan posisi yang sama, mengelus punggung Alia.

“Iya.”


Malam itu, Alia dan Harriz berdoa dengan khusyuk seakan-akan tak ada yang bisa mengganggu ketenangan mereka dalam berbicara dengan Tuhannya. Kedua insan itu memiliki doanya sendiri dan mempunyai caranya sendiri saat menyampaikan semua isi hati mereka.

Selesai dengan kegiatan spiritualnya, Harriz berbaring di paha Alia dan melakukan kegiatan favoritnya, memandang wajah Alia.

Mungkin orang-orang bertanya, apa mereka belum siap untuk menjadi orang tua? Dan barangkali, mereka akan mendapatkan jawaban itu beberapa minggu kedepan. Ya malam itu adalah malam yang tak akan mereka lupakan...

“Gue harap kita bisa kaya gini kak, selamanya.”

Setibanya di rumah, Alia juga dikejutkan dengan mobil Harriz yang juga sudah terparkir di garasi rumahnya.

“Dia dari mana sih?!” Batin Alia.

Gadis itu segera masuk dan mencari keberadaan Harriz. Ternyata pria itu sudah berada di ruang tv seraya memakan martabak manis rasa coklat keju yang baru saja ia beli.

“Kak, darimana aja sih?” Tanya Alia seraya duduk disamping pria itu.

“Beli martabak manis, kamu suka yang rasa coklat keju kan?” Tanya Harriz sembari tersenyum dan menawarkan sepotong martabak manis yang masih hangat itu pada Alia.

“Beli sih beli, tapi tadi muka kamu kaya lagi kerasukan reog. Aku jadi takut kamu kenapa-napa.” Ucap Alia sembari melahap martabak yang ditawarkan oleh Harriz.

“Kamu suka?”

“Suka, enak banget. Pasti belinya di mas Tejo.”

“Kurang tau, tapi tadi di tempatnya banyak yang antri.”

“Itu mas Tejo kak!!”

“Iya tidak perlu teriak, coklatnya sampai menyembur di pipi saya.” Ucap Harriz seraya membersihkan pipinya.

“Hehe maaf, btw tadi kamu liat apaan? Kok sampai segitunya?”

“Aku... Kamu bisa jelaskan? Ini... Ada... Kamu lihat sendiri. Jujur saya ingin sekali marah, tapi harus bagaimana? Itu juga bukan kemauan kamu. Sakit? Sangat sakit Alia, ketika melihat orang yang saya cintai, orang yang sangat saya jaga seperti halnya berlian telah direnggut paksa mahkotanya oleh orang asing. Saat saya melihat sikap kamu berubah beberapa waktu lalu, saya berjanji untuk memberi mencari orang yang sudah membuat kamu seperti itu, dan kemarin saya mendapatkan jawabannya. Dan orang itu sudah mendapatkan ganjaran dari perbuatannya. Kamu tidak harus menjelaskan semuanya, karena saya sudah mendapat jawabannya.” Ucap Harriz seraya menundukkan kepalanya dan memijat pelipisnya.

Namun tak lama setelah ia menjelaskan semuanya, ia mendengar isak tangis disampingnya. Dan benar saja, Alia, gadis itu sepertinya merasa bersalah sudah menutupi semua masa lalunya dari orang se sabar Harriz.

“Kak maaf ya Alia ga jujur, Alia malu dan takut untuk cerita. Alia takut kalau kakak akan benci sama Alia. Jujur, aku ternyata seberuntung itu dapetin kamu, kamu terlalu sabar kak. Alia harap kamu bisa terus membimbing Alia, untuk menjadi suami, guru, teman, ayah, sekaligus pengganti bunda.”

“Sini.” Ucap Harriz seraya merentangkan tangannya untuk memeluk Alia.

Gadis itu memeluk Harriz dengan erat. Hangat, itu yang ia rasakan saat berada dalam dekapan suaminya itu. Entah kebaikan apa dan doa apa yang pernah bundanya lakukan di masa lalu sehingga ia bisa mendapatkan suami seperti Harriz.

“Kamu pantas untuk dicintai, kamu berharga dan selamanya kamu akan menjadi wanita saya. Terlepas bagaimana masa lalu kamu, saya tidak mempermasalahkan itu karena kamu adalah bentuk dari doa-doa saya, kamu bidadari yang Allah berikan untuk saya, bidadari yang selalu saya minta di setiap sujud saya. Semua hal tentang kamu adalah candu bagi saya Alia. Senyuman kamu, candaan kamu, dan semuanya tentang kamu adalah candu. Saya memang sebahagia itu jika menyangkut kamu.” Ucap Harriz seraya mengusap punggung Alia dengan lembut dan mencium pucuk kepala gadis itu berkali-kali.

“I love you forever, Humairah.”

'Deg!!'

Jantung Alia berdetak kencang karena kalimat itu. Mungkin bisa dihitung jari untuk kalimat itu keluar dari bibir Harriz, namun setiap kali ia mengucapkannya, jantung Alia selalu berdegup kencang. Apa benar ia sudah jatuh sedalam ini pada Harriz?

“I'll always love you now, and forever too kak.” Lirih Alia.

“Malam ini kita shalat tahajjud lagi ya.” Ucap Harriz. Masih dengan posisi yang sama, mengelus punggung Alia.

“Iya.”


Malam itu, Alia dan Harriz berdoa dengan khusyuk seakan-akan tak ada yang bisa mengganggu ketenangan mereka dalam berbicara dengan Tuhannya. Kedua insan itu memiliki doanya sendiri dan mempunyai caranya sendiri saat menyampaikan semua isi hati mereka.

Selesai dengan kegiatan spiritualnya, Harriz berbaring di paha Alia dan melakukan kegiatan favoritnya, memandang wajah Alia.

Mungkin orang-orang bertanya, apa mereka belum siap untuk menjadi orang tua? Dan barangkali, mereka akan mendapatkan jawaban itu beberapa minggu kedepan. Ya malam itu adalah malam yang tak akan mereka lupakan...