biruu

“Allah never promised this life would be easy, but He did promised that He would be with you every step of the way.”

Sepulangnya mereka dari pantai, malam itu mereka memutuskan untuk berbelanja kebutuhan rumah dan berencana ingin memasak bersama setelah ini. Namun setelah tiba di rumah, mereka dikejutkan dengan keberadaan Sandra. Mama Bintang yang sedang menunggu mereka di teras rumah dengan sebuah kotak kecil ditangannya.

“Mama? Dari tadi ya? Kenapa ga nelpon Alia aja?” Tanya Alia yang memanggil wanita itu dengan sebutan ‘mama’ karena memang mereka sudah se-dekat itu.

“Ngga kok, mama baru aja dateng.”

“Yaudah yuk masuk aja, ma.”

“Ya Allah… Rumah kalian bagus sekali nak.”

“Alhamdulillah ma. Oiya duduk dulu ya, Alia buatin minum dulu.”

“Gausah nak, mama cuma sebentar. Jadi tujuan mama datang kesini karena mau ngucapin terima kasih untuk kalian karena udah membantu penangkapan pelaku pembunuhan Bintang, mama ga tau lagi gimana kalau ga ada kalian. Harriz, Alia, Terima kasih ya sudah membantu mama.” Ucap Sandra yang menjelaskna tujuannya datang ke rumah Harriz dan Alia malam itu dengan seseukan mengingat kepergian putri semata wayangnya.

“Itu sudah kewajiban kami ma, Bintang udah Alia anggap sebagai adik Alia. Lagian… Ini semua juga karena Alia ma.” Jawab gadis itu seraya menundukkan kepalanya.

“Ngga, ini sudah takdir nak. Jangan pernah menyalahkan diri sendiri diatas takdir yang sudah Allah tetapkan.” Jawab Sandra.

“Mama masih ada kamu, jangan bosen-bosen ya main ke rumah mama.”

“Iya ma, Alia akan usahain untuk selalu jengukin mama.”

“Oh iya, tadi sebelum kalian datang mama lihat kotak ini di meja depan. Disini ngga ada nama pengirim, tapi di surat kecil ini tertulis untuk tuan Harriz.” Ucap Sandra seraya memberikan kotak itu pada Harriz.

“Terima kasih, mungkin ini dari klien.” Jawab Harriz saat menerima kotak itu.

“Yaudah kalau gitu mama pamit ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, hati-hati ma.”

“Kak, aku mau buat coklat panas dulu ya.”

“Iya, nanti saya nyusul.”

Perlahan Harriz membuka kotak kecil itu, hanya ada sebuah flashdisk berwarna merah disana.

“Ini apa?” Ia terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri, namun perlahan ia membuka laptopnya dan betapa terkejutnya ia melihat apa isi dari flashdisk itu.

Prang!!!

Gelas yang Alia bawa terjatuh dan pecah menjadi berkeping-keping sehingga membuat Harriz terkejut dengan suara itu.

“K-kak…” Gadis itu perlahan mendekati Harriz dan berlutut dihadapannya.

“Kak... That's not what i want.”

“Aku dipaksa kak...”

Harriz mengusap wajahnya dan membuang napasnya dengan kasar, tangannya mengepal dan segara pergi mengambil kunci mobilnya.

“Kak!!”

Alia masih terduduk didepan kaca meja riasnya, memandang wajahnya yang memperlihatkan kelopak matanya yang membengkak dan bagian bawah matanya yang hitam.

Perasaan Harriz seperti teriris melihat keadaan Alia yang kacau. Tubuh Alia terlonjak saat seseorang tiba-tiba memeluknya dari arah belakang. Gadis itu kembali memperhatikan pantulan wajahnya dari cermin.

“Kak…” Lirih Alia saat melihat Harriz yang juga nampak pada pantulan cermin miliknya, tubuhnya menghangat ketika Harriz mempererat pelukannya dan menyembunyikan wajahnya tengkuk leher Alia.

“Jangan menangis lagi ya.” Ucap Harriz dengan suara yang bergetar. Alia yang sadar jika Harriz menangis karena bajunya basah.

Terdengar sesegukan kecil dari Harriz yang membuat Alia merasa terkejut, ini pertama kalinya ia melihat Harriz menangis. Alia membalikkan tubuhnya dan mengangkat kepala Harriz dengan kedua tangannya,benar saja, mata pria itu memerah dan pipinya terlihat basah. Tapi kenapa pria itu menangis? Prtanyaan itu terus muncul dipikiran Alia.

Gadis itu menghapus air mata Harriz dengan lembut sembari tersenyum, senyuman yang selalu menjadi favorit Harriz.

“Kenapa nangis?” Tanya Alia yang menuntun Harriz untuk duduk di kasur dan melakukan deep talk.

Pria itu tak menjawab pertanyaannya, ia justru menggelengkan kepalanya, “Ya Allah, gemes banget suamiku.” Batin Alia seraya memeluk suaminya itu.

“Kak, kamu lucu kalau lagi nangis gini…” Bisik Alia di telinga Harriz.

“Maaf ya kak.” Tambahnya.

“Jangan sedih lagi ya.” Jawab Harriz seraya menghapus air matanya.

“Iya, Alia minta maaf ya.” Ucap gadis itu dan kembali memeluk Harriz.

Harriz menggenggam tangan Alia dan mengambil kunci mobilnya, entah ia ingin membawa gadis itu kemana, “ Kak, kita mau kemana?” Tanya Alia.

“Pantai, kamu suka pantai dan sunset kan.”

“Selain pantai dan sunset, aku juga suka sama…”

“Siapa?” Tanya Harriz yang membuat alis tebalnya saling bertaut dan menoleh ke arah Alia.

“Prince. Pantai, senja dan Prince akan selalu menjadi favorit Alia.” Ucap gadis itu seraya menyandarkan kepalanya di bahu Harriz dan menikmati matahari senja saat perjalanan menuju pantai.

***

“Kak, serius ini?”

“Kenapa? Tidak suka?”

“Kok aku baru tau sih ada tempat seindah ini?!!”

“Makasih udah ngajak Alia kesini ya kak!!” Ucap gadis itu.

Harriz tersenyum seraya mengambil kamera analog miliknya dan memotret Alia yang terlihat sagat bahagia sore itu, merasa seperti semua masalah dan kesedihannya telah menghilang.

“Kak, duduk disitu yuk.” Ajak Alia pada Harriz untuk duduk di tepi pantai dengan pasir putih yang lembut itu.

Seraya menikmati udara pantai dan melihat cahaya merah yang mulai terbentang diufuk barat, kedua insan itu dikejutkan dengan sepasang kekasih yang juga berada di sana.

“Sayang! Kamu tau ga, dapetin kamu tuh kaya lagi bersin tau.” Ucap kekasihnya.

“Hah? Maksud kamu aku ini debu?!”

“Bukan. Dapetin kamu tuh kaya bersin, Alhamdulillah.”

“Aaaaa kamu bisa aja!!”

“Aku mau gombal lagi.”

“Sok.”

“Ga jadi.”

“Ha?”

“Kamu cocoknya diseriusin, bukan cuma digombalin.”

“Nikah yuk.”

“Besok aku ke rumah kamu sama mama papa ya.”

“So sweet banget sih!!!”

“Moon!!!” Teriak Bintang saat melihat Alia yang sedang menunggunya di bangku taman fakultas Alia. Gadis itu terlihat mengenakan white Coat, terlihat sangat cantik dengan balutan hijab berwana coklat susu.

“Star!!” Sapa Alia saat melihat kedatangan sahabatnya itu.

“Lo udah lama nungguin gue?”

“Udah setahun gue nunggu tau ga!”

“Maaf moon.”

“Gue bercanda, gausah nangis.”

“Ngapain juga gue nangis, wleee.” Ujar Bintang seraya menjulurkan lidahnya ke arah Alia.

Kedua gadis itu saling mengejar satu sama lain, terlihat sangat bahagia dan tak ada beban apapun, ini adalah kali pertama mereka kejar-kejaran setelah sekian lama tak bertemu.

“Gue capek moon!” Ucap Bintang sembari mengatur napasnya.

“Gue juga!”

“Yaudah langsung ke tempat latihan aja yuk.” Ucap Alia.

“Yuk, gue penasaran deh pengen lihat Key latihan.” Jawab Bintang. Ya, mereka memang saling kenal semenjak Alia pindah sekolah waktu itu, Bintang juga menjadi akrab dengan Keyla dan Adisti.

***

“Wah, tempat latihannya gede juga ya star.” Ujar Bintang saat tiba di tempat latihan Keyla.

“Itu Key.”

“Key!!”

“Alia! Bintang!” Sapa Keyla.

“Gue kangen key!!” Ucap Bintang seraya memeluk Keyla.

“Aku juga kangen!”

“Keyla, udah waktunya latihan.” Panggil seseorang yang juga mengenakan pakaian untuk latihan memanah seperti Keyla.

“Aku kesana dulu ya Bintang, Alia .”

“Iya, semangat key!!”

Kedua gadis itu sangat asyik melihat orang-orang yang ramai berlatih memanah sampai saat dimana Alia merasa haus dan ingin meninggalkan tempat itu. Dengan sedikit rasa kecewa, Bintang juga ikut meninggalkan tempat itu.

“Ayolah moon, gue masih pengen disini.”

“Gue aus star, kalo gamau ikut tunggu disini aja.”

“Ga ah, gue ikut lo aja.”

“Eh kita buat video gitu yuk.”

“Oke, lo di belakang, gue di depan.”

“Lo jalan mundur, terus gue pegangin tangan lo ya star.”

“Iya bawel.”

Alia sedang asik mengambil gambar tangannya dan tangan Bintang, namun saat bintang berhenti dan memeluk badannya dari belakang, sehingga membuat orang-orang disana menjerit melihat apa yang terjadi. Bintang terkena anak panah, gadis itu mencoba menyelamatkan Alia saat ia melihat Keyla mengarahkan anak panahnya pada sahabatnya itu.

“STAR!!” Jerit Alia saat melihat Bintang yang sudah berlumuran darah.

“Mba tolongin teman saya! Tolong!!” Teriak Alia.

***

“Star, bangun anjir! Ga lucu woy!” Ucap Alia saat Bintang didorong menggunakan brankar. Terlihat dokter yang masih menyumbat aliran darah yang terus mengalir dari punggung Bintang.

“Tunggu disini ya mba, biar dokter yang menangani pasien.” Ucap seorang perawat sebelum menutup pintu ruang operasi.

“Kenapa harus Bintang sih!! Kenapa bukan gue aja!”

“Humairah!” Panggil Harriz.

“Kak, Bintang kak!!” Ucap Alia seraya memeluk tubuh Harriz.

“Jangan menangis ya, Bintang pasti sembuh. Bintang kan kuat seperti kamu.” Ucap Harriz yang mencoba untuk menenangkan Alia, ia mengusap punggung wanita itu dengan lembut.

“Alia!” Panggil Dion, Leon dan Adisti yang baru saja tiba disana.

“Bintang gimana Al?” Tanya Adisti.

Alia tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya seraya menunduk.

Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang operasi sembari melepas surgical gloves dari tangannya yang penuh dengan darah.

Dokter itu tak mengatakan apapun, ia hanya menggelengkan kepalanya menandakan bahwa Bintang sudah tak ada.

“Dokter jangan bercanda dong! Sahabat saya kuat tau! Dia ga mungkin pergi!!” Tangisnya pecah saat itu juga.

“Anak panah yang melesat di bagian dada Bintang juga menembus Epikardium sehingga jantungnya bocor, kalau saja pasien cepat dibawa ke rumah sakit mungkin masih bisa diselamatkan, mungkin ini adalah takdir yang Maha Kuasa. Tugas kita sekarang hanyalah berdoa untuk sahabatmu.” Ucap dokter tersebut yang menjelaskan tentang kematian Bintang.

Tubuh Alia lemas, gadis itu terjatuh di lantai dan tak sanggup lagi menahan air mata dan amarahnya.

“Keyla!! Lo pembunuh sahabat gue!!!”

***

“Alia udah dong, jangan nangis terus nanti Bintang juga sedih kalau lihat kamu nangis kaya gini.” Ucap Adisti yang menenangkan Alia.

“Sayang, sudah ya. Ikhlaskan kepergian Bintang.” Ucap Harriz yang juga ikut menenangkan Alia.

“Star, bunda udah ninggalin gue. Sekarang lo juga?”

“Nak, ikhlaskan Bintang ya. Ini tadi dia sempat menitipkan ini sama mama, katanya oleh-oleh untuk sahabatnya yang paling cantik. Mama kasih kalau Bintang udah ga di rumah lagi, mama kira udah ga di rumah yang dia maksud adalah saat dia udah balik ke rumah neneknya lagi. Ternyata ini maksud Bintang yang sebenarnya.” Ucap Sandra, mama Bintang yang mencoba menahan tangisnya di depan makam putri satu-satunya itu.

“Gue ga butuh oleh-oleh lo star, gue cuma butuh lo...”

“Kemarin katanya mau gue temenin buat beli hijab baru, ayo gue temenin star...” Alia masih saja menangis mengingat semua yang dikatakan oleh Bintang beberapa waktu lalu sebelum kepergiannya.

“Ini juga ada bunga mawar putih, lo nyuruh gue beli ini kemarin buat gue tabur di makam lo ternyata...”

Tak lama setelah mendapat pesan dari Gabriel, wajah Alia berubah seketika. Entah alasan apa yang harus ia katakan pada Harris kali ini, sungguh saat melihat wajah suaminya itu ia merasa sangat berdosa karena sudah membohonginya beberapa kali. Ia hanya tak ingin Harriz kecewa saat mengetahui masa lalunya.

“Pesan dari siapa?” Tanya Harriz saat melihat perubahan pada wajah Alia.

“Dari grup HIMA, katanya ada perubahan poker.” Jawab gadis itu dengan nada bicara yang terbata-bata sehingga membuat Harriz menautkan alisnya.

“Aku izin ke kampus lagi ya kak.” Sambungnya.

“Ini dihabiskan dulu.”

“Aku buru-buru kak, boleh ya?”

“Yasudah, nanti pulangnya saya jemput ya.”

“Gausah nanti aku naik bus aja.” Ujar Alia seraya mencium punggung tangan dan telapak tangan Harriz sebelum akhirnya ia meninggalkan pria itu dengan sejuta pertanyaan di kepalanya.

Harriz menghela napasnya, ia merasa ada sesuatu yang aneh dari istrinya itu. Tapi entahlah, perasaannya tak enak setelah melihat wajah Alia yang seketika berubah saat mendapatkan pesan yang katanya dari grupnya itu.

***

Alia berlari menuju rooftop gedung fakultasnya, rasanya ia ingin menghilang saja dari dunia ini agar tak bertemu orang seperti Gabriel. Ia tak henti-hentinya mengumpat untuk pria itu seakan merasa jika umpatannya itu bisa membuat Gabriel lenyap.

Napasnya terengah-engah setelah membuka pintu rooftop itu, disana sudah terdapat Gabriel dengan senyum andalannya.

“Welcome, doobie.”

“Bacot, buruan lo mau ngomongin apa.”

“Selama putus dari gue, lo jadi cewe kasar ternyata.”

“Udah ya, kalau ga penting gue pergi sekarang!”

“Jangan buru-buru sayang. We can take our time here.” Ucap Gabriel seraya merangkul Alia. Dan tanpa ia sadari ada seseorang yang telah mengambil gambar mereka.

“Ya Allah… Apa lagi ini.” Batin Alia.

Gadis itu berusaha melepaskan rangkulan Gabriel namun tenaganya tak cukup kuat untuk melepas rangkulan pria itu.

“Lepasin gue brengsek!” Alia mwncoba untuk memberontak, namun Gabriel menghempaskan tubuhnya dengan keras hingga membentur dinding.

“Banyak omong lo! Bisa diem ga sih?! Turutin apa kata gue!” Bentak Gabriel.

Alia mencoba melawan rasa sakit pada tubuhnya, tanpa ia sadari darah telah mengucur di sudut bibirnya. Ia bangkit dan menarik kerah baju Gabriel dan menapar pria itu dengan sisa tenaga yang ia punya.

“ADA HAK APA LO PERLAKUIN GUE KAYA GINI BRENGSEK!!” Bentak Alia.

“Lo!!” Gabriel menunjuk wajah gadis itu dengan wajah yang penuh emosi seraya manarik dagu Alia agar lebih dekat dengannya.

“Lo milih stay disini atau gue kasih flashdisk ini ke suami lo sekarang!” Ucap Gabriel seraya memperlihatkan flashdisk berwarna merah ditangannya.

“GUE BENCI SAMA LO GABRIEL!!!!” Jerit Alia saat melihat flashdisk itu.

Gabriel tersenyum merasa bahwa ia sudah menang kali ini. Ia mensejajarkan tubuhnya dengan Alia yang terduduk di lantai seraya menutup telinganya.

“Kerudung lo can-” Gabriel hendak mengelus kepala Alia, namun segera ditepis oleh gadis itu, matanya memerah menahan tangisnya ia menatap Gabriel dengan tatapan kebencian.

Gabriel masih tersenyum dan menarik kepala Alia dan membisikkan sesuatu.

“Mulai besok, turuti apa mau gue sebelum flashdisk ini sampai dengan selamat di tangan suami lo itu” Bisik Gabriel sebelum akhirnya ia meninggalkan Alia yang masih terduduk lemas, rasa sakit akibat benturan itu benar-benar membuat semua bagian tubuhnya terasa sangat ngilu. Namun ia mencoba untuk berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan sisa tenaga yang ia punya.

Tak lama setelah mendapat pesan dari Gabriel, wajah Alia berubah seketika. Entah alasan apa yang harus ia katakan pada Harris kali ini, sungguh saat melihat wajah suaminya itu ia merasa sangat berdosa karena sudah membohonginya beberapa kali. Ia hanya tak ingin Harriz kecewa saat mengetahui masa lalunya.

“Pesan dari siapa?” Tanya Harriz saat melihat perubahan pada wajah Alia.

“Dari grup HIMA, katanya ada perubahan poker.” Jawab gadis itu dengan nada bicara yang terbata-bata sehingga membuat Harriz menautkan alisnya.

“Aku izin ke kampus lagi ya kak.” Sambungnya.

“Ini dihabiskan dulu.”

“Aku buru-buru kak, boleh ya?”

“Yasudah, nanti pulangnya saya jemput ya.”

“Gausah nanti aku naik bus aja.” Ujar Alia seraya mencium punggung tangan dan telapak tangan Harriz sebelum akhirnya ia meninggalkan pria itu dengan sejuta pertanyaan di kepalanya.

Harriz menghela napasnya, ia merasa ada sesuatu yang aneh dari istrinya itu. Tapi entahlah, perasaannya tak enak setelah melihat wajah Alia yang seketika berubah saat mendapatkan pesan yang katanya dari grupnya itu.

***

Alia berlari menuju rooftop gedung fakultasnya, rasanya ia ingin menghilang saja dari dunia ini agar tak bertemu orang seperti Gabriel. Ia tak henti-hentinya mengumpat untuk pria itu seakan merasa jika umpatannya itu bisa membuat Gabriel lenyap.

Napasnya terengah-engah setelah membuka pintu rooftop itu, disana sudah terdapat Gabriel dengan senyum andalannya.

“Welcome, doobie.”

“Bacot, buruan lo mau ngomongin apa.”

“Selama putus dari gue, lo jadi cewe kasar ternyata.”

“Udah ya, kalau ga penting gue pergi sekarang!”

“Jangan buru-buru sayang. We can take our time here.” Ucap Gabriel seraya merangkul Alia. Dan tanpa ia sadari ada seseorang yang telah mengambil gambar mereka.

“Ya Allah… Apa lagi ini.” Batin Alia.

Gadis itu berusaha melepaskan rangkulan Gabriel namun tenaganya tak cukup kuat untuk melepas rangkulan pria itu.

“Lepasin gue brengsek!” Alia mwncoba untuk memberontak, namun Gabriel menghempaskan tubuhnya dengan keras hingga membentur dinding.

“Banyak omong lo! Bisa diem ga sih?! Turutin apa kata gue!” Bentak Gabriel.

Alia mencoba melawan rasa sakit pada tubuhnya, tanpa ia sadari darah telah mengucur di pelipisnya. Ia bangkit dan menarik kerah baju Gabriel dan menapar pria itu dengan sisa tenaga yang ia punya.

“ADA HAK APA LO PERLAKUIN GUE KAYA GINI BRENGSEK!!” Bentak Alia.

“Lo!!” Gabriel menunjuk wajah gadis itu dengan wajah yang penuh emosi seraya manarik dagu Alia agar lebih dekat dengannya.

“Lo milih stay disini atau gue kasih flashdisk ini ke suami lo sekarang!” Ucap Gabriel seraya memperlihatkan flashdisk berwarna merah ditangannya.

“GUE BENCI SAMA LO GABRIEL!!!!” Jerit Alia saat melihat flashdisk itu.

Gabriel tersenyum merasa bahwa ia sudah menang kali ini. Ia mensejajarkan tubuhnya dengan Alia yang terduduk di lantai seraya menutup telinganya.

“Kerudung lo can-” Gabriel hendak mengelus kepala Alia, namun segera ditepis oleh gadis itu, matanya memerah menahan tangisnya ia menatap Gabriel dengan tatapan kebencian.

Gabriel masih tersenyum dan menarik kepala Alia dan membisikkan sesuatu.

“Mulai besok, turuti apa mau gue sebelum flashdisk ini sampai dengan selamat di tangan suami lo itu” Bisik Gabriel sebelum akhirnya ia meninggalkan Alia yang masih terduduk lemas, rasa sakit akibat benturan itu benar-benar membuat semua bagian tubuhnya terasa sangat ngilu. Namun ia mencoba untuk berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan sisa tenaga yang ia punya.

“Jadi, bagaimana? Apa semua sudah setuju dengan program kerja yang sudah disusun beserta divisi masing-masing? Kalau ada yang ingin menambahkan, saya persilakan.” Ucap dewan pertimbangan organisasi yang juga mengikuti rapat kerja siang itu.

“Jadi bagaimana? Ada yang ingin memberi saran atau sebagainya?” Tambahnya.

“Cukup kak.” Timpal seorang mahasiswi yang juga mengikuti rapat kerja itu.

“Baik, dengan demikian, rapat kerja himpunan mahasiswa NCIT university ditutup, terima kasih.”

“Makasih kak.”

Setelah keluar dari ruang rapat, Alia memilih untuk membeli americano kesukaannya di cafe dekat kampusnya.

“Kak, americano 8 shot espresso satu.” Ucap Alia.

“Atas nama siapa kak?” Tanya barista tersebut.

“Ganti saja, Caramel Macchiato dua.” Suara itu sontak membuat Alia terkejut dan menoleh ke sumber suara itu, suara yang sangat ia kenal.

“Baik, atas nama siapa kak?”

“Humairah.”

“Bagus banget nama pacarnya kak. Ditunggu ya.”

“Istri saya.” Timpal Harriz.

“Hehe maaf kak, soalnya masih muda banget keliatannya. Saya buatkan pesanannya dulu ya kak.” Ucap barista itu sebelum meninggalkan dua orang yang masih berdiri itu.

“Kenapa minum americano lagi?” Tanya Harriz seraya menoleh ke arah Alia.

“Gapapa, lagi pengen aja.” Ketus Alia.

“Duduk dulu, kamu tidak capek berdiri?”

Alia memilih berjalan duluan didepan Harriz dan mencari tempat duduk tepat disamping jendela.

Saat gadis itu ingin menidurkan kepalanya dimeja, tangan Harriz sudah berada disana menjadi tumpuan untuk Alia.

“Secapek itu?” Tanya Harriz.

Alia hanya menganggukkan kepalanya.

“Kak, tangan kamu wangi banget ya.”

“Biasa saja.”

“Kok bisa tau Alia ada disini?”

“Lihat di aplikasi.”

“Ya terus ngapain disamperin kak, kan masih jam kerja.”

“Kangen.” Jawab Harriz seraya mengelus kepala Alia dengan lembut.

“Ntar juga ketemu lagi.”

“Atas nama Humairah.” Panggil barista itu.

Harriz mencoba berdiri dan ingin mengambil pesanannya itu, namun dicegah oleh Alia.

“Aku aja kak.”

“Saya saja.”

“Nama kamu Humairah?” Jawaban Alia itu sukses membuat Harriz kembali duduk di kursinya.

“Kak.” Panggil barista tersebut saat Alia mengambil pesanannya.

“Iya kenapa?”

“Suaminya ganteng banget, dapet yang kaya gitu dimana ya?” Tanya barista itu dengan wajah polosnya.

“Saya beli di toko online mba.” Jawab Alia seraya meninggalkan barista itu.

“Kak nama tokonya apa!!!” Teriakan barista itu tak dihiraukan oleh Alia, sehingga membuat heran para pengunjung.

“Jadi, bagaimana? Apa semua sudah setuju dengan program kerja yang sudah disusun beserta divisi masing-masing? Kalau ada yang ingin menambahkan, saya persilakan.” Ucap dewan pertimbangan organisasi yang juga mengikuti rapat kerja siang itu.

“Jadi bagaimana? Ada yang ingin memberi saran atau sebagainya?” Tambahnya.

“Cukup kak.” Timpal seorang mahasiswi yang juga mengikuti rapat kerja itu.

“Baik, dengan demikian, rapat kerja himpunan mahasiswa NCIT university ditutup, terima kasih.”

“Makasih kak.”

Setelah keluar dari ruang rapat, Alia memilih untuk membeli americano kesukaannya di cafe dekat kampusnya.

“Kak, americano 8 shot espresso satu.” Ucap Alia.

“Atas nama siapa kak?” Tanya barista tersebut.

“Ganti saja, Caramel Macchiato dua.” Suara itu sontak membuat Alia terkejut dan menoleh ke sumber suara itu, suara yang sangat ia kenal.

“Baik, atas nama siapa kak?”

“Humairah.”

“Bagus banget nama pacarnya kak. Ditunggu ya.”

“Istri saya.” Timpal Harriz.

“Hehe maaf kak, soalnya masih muda banget keliatannya. Saya buatkan pesanannya dulu ya kak.” Ucap barista itu sebelum meninggalkan dua orang yang masih berdiri itu.

“Kenapa minum americano lagi?” Tanya Harriz seraya menoleh ke arah Alia.

“Gapapa, lagi pengen aja.” Ketus Alia.

“Duduk dulu, kamu tidak capek berdiri?”

Alia memilih berjalan duluan didepan Harriz dan mencari tempat duduk tepat disamping jendela.

Saat gadis itu ingin menidurkan kepalanya dimeja, tangan Harriz sudah berada disana menjadi tumpuan untuk Alia.

“Secapek itu?” Tanya Harriz.

Alia hanya menganggukkan kepalanya.

“Kak, tangan kamu wangi banget ya.”

“Biasa saja.”

“Kok bisa tau Alia ada disini?”

“Lihat di aplikasi.”

“Ya terus ngapain disamperin kak, kan masih jam kerja.”

“Kangen.” Jawab Harriz seraya mengelus kepala Alia dengan lembut.

“Ntar juga ketemu lagi.”

“Atas nama Humairah.” Panggil barista itu.

Harriz mencoba berdiri dan ingin mengambil pesanannya itu, namun dicegah oleh Alia.

“Aku aja kak.”

“Saya saja.”

“Nama kamu Humairah?” Jawaban Alia itu sukses membuat Harriz kembali duduk di kursinya.

“Kak.” Panggil barista tersebut saat Alia mengambil pesanannya.

“Iya kenapa?”

“Suaminya ganteng banget, dapet yang kaya gitu dimana ya?” Tanya barista itu dengan wajah polosnya.

“Saya beli di toko online mba.” Jawab Alia seraya meninggalkan barista itu.

“Jadi, bagaimana? Apa semua sudah setuju dengan program kerja yang sudah disusun beserta divisi masing-masing? Kalau ada yang ingin menambahkan, saya persilakan.” Ucap dewan pertimbangan organisasi yang juga mengikuti rapat kerja siang itu.

“Jadi bagaimana? Ada yang ingin memberi saran atau sebagainya?” Tambahnya.

“Cukup kak.” Timpal seorang mahasiswi yang juga mengikuti rapat kerja itu.

“Baik, dengan demikian, rapat kerja himpunan mahasiswa NCIT university ditutup, terima kasih.”

“Makasih kak.”

Setelah keluar dari ruang rapat, Alia memilih untuk membeli americano kesukaannya di cafe dekat kampusnya.

“Kak, americano 8 shot espresso satu.” Ucap Alia.

“Atas nama siapa kak?” Tanya barista tersebut.

“Ganti saja, Caramel Macchiato dua.” Suara itu sontak membuat Alia terkejut dan menoleh ke sumber suara itu, suara yang sangat ia kenal.

“Baik, atas nama siapa kak?”

“Humairah.”

“Bagus banget nama pacarnya kak. Ditunggu ya.”

“Istri saya.” Timpal Harriz.

“Hehe maaf kak, soalnya masih muda banget keliatannya. Saya buatkan pesanannya dulu ya kak.” Ucap barista itu sebelum meninggalkan dua orang yang masih berdiri itu.

“Kenapa minum americano lagi?” Tanya Harriz seraya menoleh ke arah Alia.

“Gapapa, lagi pengen aja.” Ketus Alia.

“Duduk dulu, kamu tidak capek berdiri?”

Alia memilih berjalan duluan didepan Harriz dan mencari tempat duduk tepat disamping jendela.

Saat gadis itu ingin menidurkan kepalanya dimeja, tangan Harriz sudah berada disana menjadi tumpuan untuk Alia.

“Secapek itu?” Tanya Harriz.

Alia hanya menganggukkan kepalanya.

“Kak, tangan kamu wangi banget ya.”

“Biasa saja.”

“Kok bisa tau Alia ada disini?”

“Lihat di aplikasi.”

“Ya terus ngapain disamperin kak, kan masih jam kerja.”

“Kangen.” Jawab Harriz seraya mengelus kepala Alia dengan lembut.

“Ntar juga ketemu lagi.”

“Atas nama Humairah.” Panggil barista itu.

Harriz mencoba berdiri dan ingin mengambil pesanannya itu, namun dicegah oleh Alia.

“Aku aja kak.”

“Saya saja.”

“Nama kamu Humairah?” Jawaban Alia itu sukses membuat Harriz kembali duduk di kursinya.

“Kak.” Panggil barista tersebut saat Alia mengambil pesanannya.

“Iya kenapa?”

“Suaminya ganteng banget, dapet yang kaya gitu dimana ya?” Tanya barista itu dengan wajah polosnya.

“Saya beli di toko online mba.” Jawab Alia seraya meninggalkan barista itu.

Di sebuah bangunan tua terbengkalai namun masih memiliki struktur bangunan yang masih ituh itu, menjadi tempat dimana dua orang sedang menyusun sebuah rencana. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka sehingga memiliki pemikiran yang seperti itu.

“harus banget ya?”

“Ya itu terserah lo aja sih, kalau lo bener-bener cinta sama Alia, gue harap lo siap untuk ngelakuin ini semua.”

“Tapi bukannya lo-”

“Stttt, cukup. Gue Cuma butuh dua jawaban dari lo, lanjutin atau berhenti sampai disini.”

Gabriel terlihat menghela napasnya dengan kasar. Namun bagaimanapun akhirnya nanti, ia harus memiliki Alia.

“Woy! Jangan bengong aja dong!”

“Oke, lanjutin rencana gila lo itu.”

“Seriusan lo?”

“Iya.”

“Oke deal. Jadi kapan kita mulai?”

“Terserah lo aja, as soon as possible.”

“Gue suka gaya lo.”

“Munafik ya lo ternyata, penampilan dikampus sama aslinya ternyata beda.”

“Lebih munafik mana kalo dibandingin sama lo?”

“Kayanya lo deh.”

“Hahahahaha….” Tawa mereka bergema di tempat itu, mungkin jika ada orang-orang yang lewat, mereka akan mengira bahwa yang tertawa itu bukanlah manusia.

Raka masih tak menyangka dengan fakta yang baru saja ia ketahui. Gadis yang selama ini ia cintai telah menjadi milik orang lain?

“ARKHHHH KENAPA GUE BEGO BANGET ANJING!!! KENAPA GA DARI DULU GUE NYATAIN PERASAAN GUE SAMA ALIA!! KENAPA!!” Raka, pria itu terlihat berbeda saat setelah ia melepas kacamatanya dan mengacak-acak rambutnya. Terlihat jauh lebih tampan, namun apakah hatinya juga?

Hembusan angin membuatnya benar-benar ingin meluapkan semua emosinya di rooftop pagi itu.

“Wow, so cool. Jadi lo suka sama Alia ternyata.” Ucap seseorang yang sedang duduk di sofa seraya menghisap sebatang rokok ditangannya.

Raka sontak berbalik dan terkejut melihat orang yang berada di sana.

“Sejak kapan lo disini?” Tanya Raka.

“Lo gausah tau. Nih nyebat dulu biar tenang.” Ucap seseorang tersebut sembari melemparkan bungkus rokok pada Raka.

“Thanks.” Jawabnya seraya menyalakan korek dan membakar puntung rokok itu.

“Lo ga tau ya kalau Alia udah nikah?”

“Gatau.”

“Lo se suka itu emang?”

“Iyalah.”

“Mau gue bantuin buat dapetin dia ga?”

“Gue gamau ngerusak hubungan orang. Gue akan nyoba buat move on.” Ucap Raka seraya menghisap puntung rokoknya.

“Cupu lo.” Ucap pria tersebut.

“Kalau lo berubah pikiran, bilang aja ke gua.” Sambungnya sebelum akhirnya ia pergi dari tempat itu.

Pria itu berlalu pergi meninggalkan Raka seorang diri, membuat pria itu kembali mengacak-acak rambutnya kesal. “Alia Humairah. Sorry, gue terlalu terobsesi untuk bisa dapetin hati lo. Gue emang cupu, tapi gue penasaran siapa laki-laki yang udah lebih dulu dari gue.”

“Gue harus move on atau terus mencintai lo, Alia?” Lirihnya.

“Arkkhhhhh!!” Ia memegang dadanya, rasa itu kembali datang dan membawa rasa yang begitu sakit ia rasakan.

Ia merogoh tasnya dan mengambil beberapa obat pil yang selalu ia bawa. Darah perlahan mengalir dari hidungnya, seketika kepalanya pusing namun ia mencoba untuk menepis rasa sakit itu dengan menampar pipinya.

Plak!

“Bodoh!”

Plak!

“Penyakitan!”

Saat ia ingin menampar pipinya untuk kesekian kalinya, seseorang menahan tangannya.

“Raka! Stop!” Ucap seorang gadis yang datang dan memeluk Raka dengan erat.

“Lepasin gue bangsat!” Bentak Raka yang mencoba melepaskan pelukan gadis itu.

“Raka, gue sayang sama lo…”

“Pergi dari sini.” Ucap Raka.

“Jangan nyakitin diri lo karena cewe itu ka, lo masih punya gue. Gue sayang sama lo, jadi tolong sayangi diri lo juga.”

“PERGI!!”

“I love you now and forever, Raka.” Lirih gadis itu saat berada diambang pintu rooftop dan melihat ke arah Raka yang masih terduduk lemah di sofa itu.