biruu

Di lorong rumah sakit itu Alia berlari mencari kamar inap bundanya tanpa memperdulikan baju seragamnya yang masih basah.

“Suster, pasien atas nama Yasmin di kamar berapa?”

“Kamar melati dua kak.”

“Makasih sus.”

“Neng Alia!” Panggil Nurdin, tetangga Alia.

“Mang Nurdin, bunda Alia gimana?”

“Bunda kamu masih diperiksa sama dokter neng, kayanya bentar lagi selesai.”

“Kok bunda bisa pingsan?”

“Tadi mamang mau ke kebun terus lewat depan rumah kamu, Bu Yasmin udah pingsan. Terus mamang sama warga yang lain bantuin ke rumah sakit.”

“Makasih banyak ya mang, Alia gatau harus balas kebaikan kalian dengan cara apa.”

“Ini udah adab dalam bertetangga neng, saling membantu. Kita juga ikhlas ngebantu.”

“Keluarga Bu Yasmin?” Tanya dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu.

“Saya anaknya dok. Bunda saya sakit apa ya?”

“Bu Yasmin menderita leukemia stadium tiga, yang mengakibatkan penderitanya mengalami nyeri pada sendi atau tulangnya, mimisan, pusing, demam dan masih banyak lagi. Mungkin Bu Yasmin tidak pernah memeriksakan penyakitnya dan terlalu memaksakan dirinya untuk bekerja walau tubuhnya sudah tidak mampu. Untuk pengobatannya bisa dilakukan tiap minggu dan jangan sampai putus obat ya. Kalau begitu saya permisi.”

Detik itu juga Alia terjatuh ke lantai dan tak mampu menahan air matanya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.

“Udah separah ini dan bunda ga pernah cerita.”

“Bunda sakit banget ya...” Lirihnya saat melihat bundanya yang tertidur dengan wajah yang pucat.

“Neng yang sabar ya.”

“Alia!”

“Star... Bunda gue...” Lirih Alia.

“B-bunda kenapa Al?”

“Bundanya Alia sakit leukimia neng.” Timpal Nurdin yang membuat Bintang mengeratkan pelukannya pada Alia dan ikut meneteskan air matanya.

“Al, sabar ya. Bunda pasti sembuh kok.”

“Gue gagal jadi anak, harusnya gue aja yang kerja. Gara-gara gue bunda jadi sakit.”

“ALo jangan pernah nyalahin diri sendiri, nanti kalau bunda tau bisa sedih.”

“Assalamualaikum Alia.”

“Ustadzah...”

“Gimana bunda kamu nak?”

“Bunda sakit leukimia ustadzah. Gara-gara Alia.”

“Al...” Timpal Bintang.

“Ya Allah nak.” Lirih ustadzah Aisyah seraya memeluk Alia.

“Ini sudah takdirnya nak, jangan kamu menyalahkan diri kamu. Karena sesungguhnya takdir Allah itu lebih baik daripada rencana kita sebagai hamba-Nya. Bisa saja dengan penyakitnya ini bunda kamu bisa digugurkan dosa-dosanya, dan membuat kita lebih dekat dengan Allah. Tugas kita cukup berdoa dan berusaha nak, agar bunda kamu bisa sembuh lagi.” Ucap ustadzah Aisyah seraya mengelus punggung Alia dengan lembut dan menenangkan gadis itu.

Di lorong rumah sakit itu Alia berlari mencari kamar inap bundanya tanpa memperdulikan baju seragamnya yang masih basah.

“Suster, pasien atas nama Yasmin di kamar berapa?”

“Kamar melati dua kak.”

“Makasih sus.”

“Neng Alia!” Panggil Nurdin, tetangga Alia.

“Mang Nurdin, bunda Alia gimana?”

“Bunda kamu masih diperiksa sama dokter neng, kayanya bentar lagi selesai.”

“Kok bunda bisa pingsan?”

“Tadi mamang mau ke kebun terus lewat depan rumah kamu, Bu Yasmin udah pingsan. Terus mamang sama warga yang lain bantuin ke rumah sakit.”

“Makasih banyak ya mang, Alia gatau harus balas kebaikan kalian dengan cara apa.”

“Ini udah adab dalam bertetangga neng, saling membantu. Kita juga ikhlas ngebantu.”

“Keluarga Bu Yasmin?” Tanya dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu.

“Saya anaknya dok. Bunda saya sakit apa ya?”

“Bu Yasmin menderita leukemia stadium tiga, yang mengakibatkan penderitanya mengalami nyeri pada sendi atau tulangnya, mimisan, pusing, demam dan masih banyak lagi. Mungkin Bu Yasmin tidak pernah memeriksakan penyakitnya dan terlalu memaksakan dirinya untuk bekerja walau tubuhnya sudah tidak mampu. Untuk pengobatannya bisa dilakukan tiap minggu dan jangan sampai putus obat ya. Kalau begitu saya permisi.”

Detik itu juga Alia terjatuh ke lantai dan tak mampu menahan air matanya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.

“Udah separah ini dan bunda ga pernah cerita.”

“Bunda sakit banget ya...” Lirihnya saat melihat bundanya yang tertidur dengan wajah yang pucat.

“Neng yang sabar ya.”

“Alia!”

“Star... Bunda gue...” Lirih Alia.

“B-bunda kenapa Al?”

“Bundanya Alia sakit leukimia neng.” Timpal Nurdin yang membuat Bintang mengeratkan pelukannya pada Alia dan ikut meneteskan air matanya.

“Al, sabar ya. Bunda pasti sembuh kok.”

“Gue gagal jadi anak, harusnya gue aja yang kerja. Gara-gara gue bunda jadi sakit.”

“ALo jangan pernah nyalahin diri sendiri, nanti kalau bunda tau bisa sedih.”

“Assalamualaikum Alia.”

“Ustadzah...”

“Gimana bunda kamu nak?”

“Bunda sakit leukimia ustadzah. Gara-gara Alia.”

“Al...” Timpal Bintang.

“Ya Allah nak.” Lirih ustadzah Aisyah seraya memeluk Alia.

“Ini sudah takdirnya nak, jangan kamu menyalahkan diri kamu. Karena sesungguhnya takdir Allah itu lebih baik daripada rencana kita sebagai hamba-Nya. Bisa saja dengan penyakitnya ini bunda kamu bisa digugurkan dosa-dosanya, dan membuat kita lebih dekat dengan Allah. Tugas kita cukup berdoa dan berusaha nak, agar bunda kamu bisa sembuh lagi.” Ucap ustadzah Aisyah seraya mengelus punggung Alia dengan lembut dan menenangkan gadis itu.

Sore itu, saat Alia sudah bersiap untuk berangkat bekerja ia mendapat pesan dari Bintang untuk cuti sehari dari pekerjaannya dan beristirahat. Namun gadis itu tak bisa jika harus tidak bekerja sehari pun. Ia merasa tak enak hati pada bundanya yang harus bekerja keras walaupun usianya sudah tak muda lagi.

Ia bergegas keluar rumah dan berniat untuk mencari pekerjaan sampingan lainnya, namun tak kunjung ia dapatkan. Kakinya sudah lelah untuk melangkah dan memilih untuk duduk dibawah pohon di sebuah taman. Dan mungkin, takdir sedang berpihak pada gadis itu.

“Dicari, akhwat yang ingin bekerja di pondok pesantren yang bertugas untuk menyiapkan makanan bagi santriwati.”

“Alhamdulillah! Rejeki anak soleha.” Ucapnya begitu girang saat membaca poster itu.

Dengan penuh semangat, ia melangkahkan kakinya menuju alamat pesantren yang tertera di poster itu.

“Permisi, assalamualaikum kak.” Tegurnya.

“Waalaikumsalam, ada apa ya?”

“Ini, saya dapat poster ini di jalan tadi, apa benar disini lagi ada lowongan pekerjaan?”

“Oh, iya iya. Sini saya antar saja ke ustadzah Aisyah, biar kakak bicara sama beliau aja.” Ucap santriwati itu yang dibalas senyuman oleh Alia.

“Assalamualaikum, ustadzah. Ini ada akhwat yang mau bekerja disini.”

“Waalaikumsalam, sini duduk dulu.” Jawab ustadzah Aisyah.

“Jadi, apa kamu ikhlas bekerja disini?” Sambungnya.

“Saya ikhlas banget, apa aja akan saya kerjakan yang penting halal.”

“Maaf tapi, sepertinya kamu ini masih sekolah ya?”

“Iya ustadzah, saya masih sekolah. Kelas tiga SMA.”

“Alasan kamu ingin bekerja?”

“Mau nyari kerja part-time terus bantuin bunda, ustadzah.”

“Maaf nak, tapi bunda kamu kerja apa?”

“Buruh angkat.” Jawaban Alia itu membuat ustadzah Aisyah merasa iba dengan gadis dihadapannya itu.

“Masya Allah anak soleha, kamu boleh kerja disini membantu Bude Murni untuk menyiapkan makanan para santriwati. Tapi kerjanya setelah sekolah ya. Ingat, sekolah kamu lebih penting. Kamu bisa bekerja mulai besok.”

“Beneran ustadzah?! Makasih banyak...” Ucap Alia yang dibalas dengan senyuman oleh ustadzah Aisyah.

“Kalau gitu saya izin pamit dulu ustadzah, takutnya bunda nyariin.”

“Hati-hati ya nak, salam untuk bunda kamu.”

“Insya Allah ustadzah, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Alhamdulillah udah dapet kerjaan sampingan lagi, beliin bunda red velvet cake lagi ah.” Monolognya pada dirinya sendiri saat sedang berjalan menyusuri trotoar kota.

“Kak, seperti biasa.”

“Red velvet cake satu sama Iced americano venti one,no water,no sugar,extra four shots espresso satu. Bener kan?”

“Bener banget!”

“Ditunggu ya kak.”


“Eh eh liat tuh, pantes gapernah bener ternyata mamanya aja ga bener hahaha.”

Byurrr!!!

“Hahaha kasian banget.”

“MAKSUD LO APA ANJING!” Teriak Alia saat seluruh badannya basah karena diguyur air dari lantai dua sekolahnya.

“Eh, anak beasiswa mau ngelawan lo?!”

“Kok bisa sih dia dapet beasiswa? Oh atau jangan-jangan lo nyogok donatur pake...”

“Jaga ya omongan lo! Lo kira gue bakal diem aja?Never, girl.” Ucap Alia seraya menangkup pipi Fanya dengan kuat sehingga membuat gadis itu meringis dan menghempas tangan Alia.

“Brengsek! Liat aja apa yang bakal gue lakuin.” Ucap Fanya sebelum meninggalkan Alia disana.

“Woy! Ah gue telat!”

“Al lo gapapa?” Tanya Bintang yang baru saja datang dan berlari ke arah Alia.

“Gapapa.”

“Tapi baju lo basah.”

“Nih, pake.” Ucap Gabriel yang datang entah dari mana dan memberikan jaketnya pada Alia.

“Gue ga butuh, ayo Star.”

“Sok jual mahal, padahal udah ga ada harganya.” Lirih Gabriel.

Plak!!

“COWO BRENGSEK! LO KIRA GUE GA DENGER LO BILANG APA BARUSAN HA?! SINI LO!” Saat itu juga emosi Alia meluap dan menjadi tontonan siswa siswi disana.

“Eh eh ada apa ini? Alia, kamu kenapa basah kuyup begini?”

“Kalian juga kenapa rame-rame disini? Sudah sana ke kelas masing-masing!” Ucap Dini, salah satu guru di sekolah Alia.

“Al, udah gausah didengerin. Kita ke uks aja yuk sekalian keringin baju lo.” Ucap Bintang sembari menuntun Alia menuju uks, namun saat di pertengahan jalan mereka berhenti karena ponsel milik Alia berdering.

Drttt... Drtt....

“Halo, dengan siapa?” Tanya Alia.

“Saya Mang Nurdin neng.”

“Oh, Mang Nurdin kenapa ya?”

“Neng, Bu Yasmin masuk rumah sakit. Tadi pingsan di teras rumah, terus idungnya keluar darah.”

“Sekarang bunda dimana mang?!”

“Di rumah sakit pelita jaya neng.”

“Saya kesana sekarang, makasi ya mang.”

“Kenapa Al? Bunda kenapa?”

“Bunda masuk rumah sakit star, gue harus kesana sekarang. Tolong izinin gue sama Bu Dian ya star.”

“Iya, hati-hati. Nanti gue nyusul ya.”

Sore itu, saat Alia sudah bersiap untuk berangkat bekerja ia mendapat pesan dari Bintang untuk cuti sehari dari pekerjaannya dan beristirahat. Namun gadis itu tak bisa jika harus tidak bekerja sehari pun. Ia merasa tak enak hati pada bundanya yang harus bekerja keras walaupun usianya sudah tak muda lagi.

Ia bergegas keluar rumah dan berniat untuk mencari pekerjaan sampingan lainnya, namun tak kunjung ia dapatkan. Kakinya sudah lelah untuk melangkah dan memilih untuk duduk dibawah pohon di sebuah taman. Dan mungkin, takdir sedang berpihak pada gadis itu.

“Dicari, akhwat yang ingin bekerja di pondok pesantren yang bertugas untuk menyiapkan makanan bagi santriwati.”

“Alhamdulillah! Rejeki anak soleha.” Ucapnya begitu girang saat membaca poster itu.

Dengan penuh semangat, ia melangkahkan kakinya menuju alamat pesantren yang tertera di poster itu.

“Permisi, assalamualaikum kak.” Tegurnya.

“Waalaikumsalam, ada apa ya?”

“Ini, saya dapat poster ini di jalan tadi, apa benar disini lagi ada lowongan pekerjaan?”

“Oh, iya iya. Sini saya antar saja ke ustadzah Aisyah, biar kakak bicara sama beliau aja.” Ucap santriwati itu yang dibalas senyuman oleh Alia.

“Assalamualaikum, ustadzah. Ini ada akhwat yang mau bekerja disini.”

“Waalaikumsalam, sini duduk dulu.” Jawab ustadzah Aisyah.

“Jadi, apa kamu ikhlas bekerja disini?” Sambungnya.

“Saya ikhlas banget, apa aja akan saya kerjakan yang penting halal.”

“Maaf tapi, sepertinya kamu ini masih sekolah ya?”

“Iya ustadzah, saya masih sekolah. Kelas tiga SMA.”

“Alasan kamu ingin bekerja?”

“Mau nyari kerja part-time terus bantuin bunda, ustadzah.”

“Maaf nak, tapi bunda kamu kerja apa?”

“Buruh angkat.” Jawaban Alia itu membuat ustadzah Aisyah merasa iba dengan gadis dihadapannya itu.

“Masya Allah anak soleha, kamu boleh kerja disini membantu Bude Murni untuk menyiapkan makanan para santriwati. Tapi kerjanya setelah sekolah ya. Ingat, sekolah kamu lebih penting. Kamu bisa bekerja mulai besok.”

“Beneran ustadzah?! Makasih banyak...” Ucap Alia yang dibalas dengan senyuman oleh ustadzah Aisyah.

“Kalau gitu saya izin pamit dulu ustadzah, takutnya bunda nyariin.”

“Hati-hati ya nak, salam untuk bunda kamu.”

“Insya Allah ustadzah, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Alhamdulillah udah dapet kerjaan sampingan lagi, beliin bunda red velvet cake lagi ah.” Monolognya pada dirinya sendiri saat sedang berjalan menyusuri trotoar kota.

“Kak, seperti biasa.”

“Red velvet cake satu sama Iced americano venti one,no water,no sugar,extra four shots espresso satu. Bener kan?”

“Bener banget!”

“Ditunggu ya kak.”


“Eh eh liat tuh, pantes gapernah bener ternyata mamanya aja ga bener hahaha.”

Byurrr!!!

“Hahaha kasian banget.”

“MAKSUD LO APA ANJING!” Teriak Alia saat seluruh badannya basah karena diguyur air dari lantai dua sekolahnya.

“Eh, anak beasiswa mau ngelawan lo?!”

“Kok bisa sih dia dapet beasiswa? Oh atau jangan-jangan lo nyogok donatur pake...”

“Jaga ya omongan lo! Lo kira gue bakal diem aja?Never, girl.” Ucap Alia seraya menangkup pipi Fanya dengan kuat sehingga membuat gadis itu meringis dan menghempas tangan Alia.

“Brengsek! Liat aja apa yang bakal gue lakuin.” Ucap Fanya sebelum meninggalkan Alia disana.

“Woy! Ah gue telat!”

“Al lo gapapa?” Tanya Bintang yang baru saja datang dan berlari ke arah Alia.

“Gapapa.”

“Tapi baju lo basah.”

“Nih, pake.” Ucap Gabriel yang datang entah dari mana dan memberikan jaketnya pada Alia.

“Gue ga butuh, ayo Star.”

“Sok jual mahal, padahal udah ga ada harganya.” Lirih Gabriel.

Plak!!

“COWO BRENGSEK! LO KIRA GUE GA DENGER LO BILANG APA BARUSAN HA?! SINI LO!” Saat itu juga emosi Alia meluap dan menjadi tontonan siswa siswi disana.

“Eh eh ada apa ini? Alia, kamu kenapa basah kuyup begini?”

“Kalian juga kenapa rame-rame disini? Sudah sana ke kelas masing-masing!” Ucap Dini, salah satu guru di sekolah Alia.

“Al, udah gausah didengerin. Kita ke uks aja yuk sekalian keringin baju lo.”

#Kenapa Aku?

Sore itu, saat Alia sudah bersiap untuk berangkat bekerja ia mendapat pesan dari Bintang untuk cuti sehari dari pekerjaannya dan beristirahat. Namun gadis itu tak bisa jika harus tidak bekerja sehari pun. Ia merasa tak enak hati pada bundanya yang harus bekerja keras walaupun usianya sudah tak muda lagi.

Ia bergegas keluar rumah dan berniat untuk mencari pekerjaan sampingan lainnya, namun tak kunjung ia dapatkan. Kakinya sudah lelah untuk melangkah dan memilih untuk duduk dibawah pohon di sebuah taman. Dan mungkin, takdir sedang berpihak pada gadis itu.

“Dicari, akhwat yang ingin bekerja di pondok pesantren yang bertugas untuk menyiapkan makanan bagi santriwati.”

“Alhamdulillah! Rejeki anak soleha.” Ucapnya begitu girang saat membaca poster itu.

Dengan penuh semangat, ia melangkahkan kakinya menuju alamat pesantren yang tertera di poster itu.

“Permisi, assalamualaikum kak.” Tegurnya.

“Waalaikumsalam, ada apa ya?”

“Ini, saya dapat poster ini di jalan tadi, apa benar disini lagi ada lowongan pekerjaan?”

“Oh, iya iya. Sini saya antar saja ke ustadzah Aisyah, biar kakak bicara sama beliau aja.” Ucap santriwati itu yang dibalas senyuman oleh Alia.

“Assalamualaikum, ustadzah. Ini ada akhwat yang mau bekerja disini.”

“Waalaikumsalam, sini duduk dulu.” Jawab ustadzah Aisyah.

“Jadi, apa kamu ikhlas bekerja disini?” Sambungnya.

“Saya ikhlas banget, apa aja akan saya kerjakan yang penting halal.”

“Maaf tapi, sepertinya kamu ini masih sekolah ya?”

“Iya ustadzah, saya masih sekolah. Kelas tiga SMA.”

“Alasan kamu ingin bekerja?”

“Mau nyari kerja part-time terus bantuin bunda, ustadzah.”

“Maaf nak, tapi bunda kamu kerja apa?”

“Buruh angkat.” Jawaban Alia itu membuat ustadzah Aisyah merasa iba dengan gadis dihadapannya itu.

“Masya Allah anak soleha, kamu boleh kerja disini membantu Bude Murni untuk menyiapkan makanan para santriwati. Tapi kerjanya setelah sekolah ya. Ingat, sekolah kamu lebih penting. Kamu bisa bekerja mulai besok.”

“Beneran ustadzah?! Makasih banyak...” Ucap Alia yang dibalas dengan senyuman oleh ustadzah Aisyah.

“Kalau gitu saya izin pamit dulu ustadzah, takutnya bunda nyariin.”

“Hati-hati ya nak, salam untuk bunda kamu.”

“Insya Allah ustadzah, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Alhamdulillah udah dapet kerjaan sampingan lagi, beliin bunda red velvet cake lagi ah.” Monolognya pada dirinya sendiri saat sedang berjalan menyusuri trotoar kota.

“Kak, seperti biasa.”

“Red velvet cake satu sama Iced americano venti one,no water,no sugar,extra four shots espresso satu. Bener kan?”

“Bener banget!”

“Ditunggu ya kak.”


“Eh eh liat tuh, pantes gapernah bener ternyata mamanya aja ga bener hahaha.”

Byurrr!!!

“Hahaha kasian banget.”

“MAKSUD LO APA ANJING!” Teriak Alia saat seluruh badannya basah karena diguyur air dari lantai dua sekolahnya.

“Eh, anak beasiswa mau ngelawan lo?!”

“Kok bisa sih dia dapet beasiswa? Oh atau jangan-jangan lo nyogok donatur pake...”

“Jaga ya omongan lo! Lo kira gue bakal diem aja?Never, girl.” Ucap Alia seraya menangkup pipi Fanya dengan kuat sehingga membuat gadis itu meringis dan menghempas tangan Alia.

“Brengsek! Liat aja apa yang bakal gue lakuin.” Ucap Fanya sebelum meninggalkan Alia disana.

“Woy! Ah gue telat!”

“Al lo gapapa?” Tanya Bintang yang baru saja datang dan berlari ke arah Alia.

“Gapapa.”

“Tapi baju lo basah.”

“Nih, pake.” Ucap Gabriel yang datang entah dari mana dan memberikan jaketnya pada Alia.

“Gue ga butuh, ayo Star.”

“Sok jual mahal, padahal udah ga ada harganya.” Lirih Gabriel.

Plak!!

“COWO BRENGSEK! LO KIRA GUE GA DENGER LO BILANG APA BARUSAN HA?! SINI LO!” Saat itu juga emosi Alia meluap dan menjadi tontonan siswa siswi disana.

“Eh eh ada apa ini? Alia, kamu kenapa basah kuyup begini?”

“Kalian juga kenapa rame-rame disini? Sudah sana ke kelas masing-masing!” Ucap Dini, salah satu guru di sekolah Alia.

“Al, udah gausah didengerin. Kita ke uks aja yuk sekalian keringin baju lo.”

Dengan langkah yang sedikit dipercepat, Alia bergegas menuju rumah Bintang, walau dengan perasaan aneh mengapa sahabatnya itu memberi aturan waktu saat ia ingin berkunjung kesana? Biasanya tidak seperti ini.

Tok...tok...

“Star!! Main yu!!”

“Gue lagi sakit.”

“Bercanda, sensi amat.”

“Masuk, Al.” Ucap Bintang.

“Jadi gimana? Kok bisa tiba-tiba muncul gitu sih? Kok dia bisa tau lo sekolah disana? Bukannya-” Pertanyaan Bintang dipotong oleh Alia sehingga membuat gadis yang sedikit pucat itu tersenyum cengengesan.

“Lo sebenarnya sakit ga sih? Giliran ada cerita gini aja lo semangat. Nih gue bawain buah, lo makan ya.” Ucap Alia yang meletakkan keranjang buah di meja nakas milik Bintang.

“Makasih ayang... Repot-repot bawain gue buah.” Timpal Bintang seraya memeluk Alia dengan erat.

“S-sesek star...” Lirih Alia.

“Maap maap, gue sayang banget sama lo soalnya. Kan lo doang sahabat deket gue.” Ucap Bintang.

“Lebay lo.”

“Libiy li. Jadi gimana ceritanya?”

“Lo liat kan di akun base sekolah? Yang anak baru itu? Ternyata yang sendernya maksud tuh Gabriel. Gue beneran ga nyangka bisa ketemu lagi sama cowo brengsek itu.” Ucap Alia dengan nada yang meninggi dan tangannya sedikit meremas selimut Bintang.

“Demi apa?! Kalo gue udah sekolah bakal gue kasih pelajaran tu cowo! Sumpah Al, jangan berhenti gue.”

“Aduh udah gue gatau, mau nikah aja rasanya...”

“Hati-hati, ntar diamini malaikat tau rasa lo.”

Di tengah riuhnya suasana kota kala itu, Alia berjalan menuju toko swalayan milik keluarga Bintang, tempatnya bekerja part-time.

Namun saat ia mempercepat langkahnya agar bisa tepat waktu, alas sepatu terlepas dan membuatnya hampir tersandung.

“Akhhh!! Yah... Sepatu gue.” Lirihnya saat mengambil alas sepatunya yang terlepas.

Saat itu juga ia melepaskan kedua sepatu usangnya dan memasukkan sepatu itu kedalam tas miliknya.

“Eh, Alia...” Tegur Sarah, seorang pegawai di toko itu.

“Kak Sarah, udah dari tadi kak? Maaf ya Alia telat, abis jenguk Bintang.”

“Baru juga kok, iya gapapa kita juga abis jenguk si Bintang kemarin kamunya pulang duluan.”

“Al, kok ga pake sendal atau sepatu?”

“Oh, ini kak kaki aku lagi luka jadi aku lepas sepatunya. Aku pake kok tapi aku lepas, cuma sekarang pake sendal yang disiapin buat karyawan aja. Nanti kalo pulang aku pake lagi sepatunya.”

“Oh gitu, jangan lupa dipakein salep ya, Al.”

“Iya kak, tenang aja.”

Percakapan itu terhenti saat seorang pelanggan memasuki toko itu, pelanggan yang membuat tubuh Alia membeku seketika.

“Gabriel...” Batin Alia.

Pria itu menatap sekilas ke arah Alia, dengan tatapan yang sulit diartikan membuat gadis itu ingin pergi saja dari sana.

Tak!! Suara botol kaleng soda itu membuat Alia tersadar dari lamunannya.

“I-ini aja?” Tanya Alia dengan lirih.

“Iya.” Jawab Gabriel.

“Totalnya-”

“Nih, ambil aja kembaliannya.” kata Gabriel memotong ucapan Alia.

“Please back to me, doobie.” Bisik Gabriel pada Alia sebelum meninggalkan tempat itu.

“Al... Kamu gapapa?” Tanya Sarah yang baru saja kembali dari toilet.

“Gapapa kak.” Jawab Alia seraya tersenyum menutupi rasa takutnya.


“Bunda... Aku pulang.” Ucap Alia saat memasuki rumahnya yang sederhana itu.

“UDAH GUE BILANG, KALO ADA DUIT KASIH KE GUE! UDAH TAU UTANG BANYAK!” Suara itu membuat Alia segera berlari menuju sumber suara.

“Ayah?!” Teriak Alia saat melihat Hendri, ayahnya yang terlihat sangat kacau.

“Bunda? Bunda gapapa? Ayah kenapa sih?!”

“Minggir, ini urusan orang tua!” Bentak Hendri dan melepas genggaman Alia pada Yasmin yang terduduk di lantai.

“Ayah!”

“Eh! Gara-gara beliin kamu sepatu, duit buat bayar hutang abis tau ga?!” Bentak Hendri.

“Maksud ayah?”

“Duit buat bayar hutang habis cuma buat beli sepatu itu!” Ucap Hendri yang berjalan ke arah kotak sepatu yang terletak diantara buku-buku pelajaran milik Alia.

“Ga guna kalian semua!” Bentak Hendri seraya merusak sepatu itu dengan cutter.

“Ayah jangan!!”

“Mas! Cukup ya! Aku beli sepatu ini pakai usaha aku sendiri! Dan kamu ga ada hak untuk merebut hak Alia.”

“Ayah lagi mabuk! Udah Yah!” Alia dan Yasmin berusaha untuk merebut sepatu itu dari Hendri.

“Ayah...”

“Argh!!” Hendri melepaskan cutter dan sepatu itu lalu meninggalkan Alia dan Yasmin.

Brak!!! Suara pintu yang ditutup Hendri dengan sangat kencang membuat keduanya terkejut.

“Bunda gapapa kan? Ada yang sakit?” Tanya Alia.

“Ngga, bunda gapapa kak. Ini, seperti yang bunda beliin buat kamu. Maaf ya ngga sebagus sepatu teman-teman kamu.” Kata Yasmin seraya mengambil sepatu yang tergeletak di lantai itu.

“Bun... Aku ga butuh sepatu untuk sekarang, sepatu aku masih bagus kok. Kenapa bunda pake uang bunda cuma untuk ini?”

“Bunda ga tega, bunda merasa gagal jadi orang tua karena ga bisa memenuhi kebutuhan anak sendiri yang sejatinya adalah tanggung jawab bunda selaku orang tua.”

“Jangan pernah berpikir kaya gitu lagi ya Bun, Alia udah merasa cukup kok. Yang Alia butuh cuma bunda yang sehat, bunda yang selalu ada di samping Alia kapanpun itu.”

“Maafin bunda ya kak...”

“Maafin Alia juga ya Bun...”

Dengan langkah yang sedikit dipercepat, Alia bergegas menuju rumah Bintang, walau dengan perasaan aneh mengapa sahabatnya itu memberi aturan waktu saat ia ingin berkunjung kesana? Biasanya tidak seperti ini.

Tok...tok...

“Star!! Main yu!!”

“Gue lagi sakit.”

“Bercanda, sensi amat.”

“Masuk, Al.” Ucap Bintang.

“Jadi gimana? Kok bisa tiba-tiba muncul gitu sih? Kok dia bisa tau lo sekolah disana? Bukannya-” Pertanyaan Bintang dipotong oleh Alia sehingga membuat gadis yang sedikit pucat itu tersenyum cengengesan.

“Lo sebenarnya sakit ga sih? Giliran ada cerita gini aja lo semangat. Nih gue bawain buah, lo makan ya.” Ucap Alia yang meletakkan keranjang buah di meja nakas milik Bintang.

“Makasih ayang... Repot-repot bawain gue buah.” Timpal Bintang seraya memeluk Alia dengan erat.

“S-sesek star...” Lirih Alia.

“Maap maap, gue sayang banget sama lo soalnya. Kan lo doang sahabat deket gue.” Ucap Bintang.

“Lebay lo.”

“Libiy li. Jadi gimana ceritanya?”

“Lo liat kan di akun base sekolah? Yang anak baru itu? Ternyata yang sendernya maksud tuh Gabriel. Gue beneran ga nyangka bisa ketemu lagi sama cowo brengsek itu.” Ucap Alia dengan nada yang meninggi dan tangannya sedikit meremas selimut Bintang.

“Demi apa?! Kalo gue udah sekolah bakal gue kasih pelajaran tu cowo! Sumpah Al, jangan berhenti gue.”

“Aduh udah gue gatau, mau nikah aja rasanya...”

“Hati-hati, ntar diamini malaikat tau rasa lo.”

Di tengah riuhnya suasana kota kala itu, Alia berjalan menuju toko swalayan milik keluarga Bintang, tempatnya bekerja part-time.

Namun saat ia mempercepat langkahnya agar bisa tepat waktu, alas sepatu terlepas dan membuatnya hampir tersandung.

“Akhhh!! Yah... Sepatu gue.” Lirihnya saat mengambil alas sepatunya yang terlepas.

Saat itu juga ia melepaskan kedua sepatu usangnya dan memasukkan sepatu itu kedalam tas miliknya.

“Eh, Alia...” Tegur Sarah, seorang pegawai di toko itu.

“Kak Sarah, udah dari tadi kak? Maaf ya Alia telat, abis jenguk Bintang.”

“Baru juga kok, iya gapapa kita juga abis jenguk si Bintang kemarin kamunya pulang duluan.”

“Al, kok ga pake sendal atau sepatu?”

“Oh, ini kak kaki aku lagi luka jadi aku lepas sepatunya. Aku pake kok tapi aku lepas, cuma sekarang pake sendal yang disiapin buat karyawan aja. Nanti kalo pulang aku pake lagi sepatunya.”

“Oh gitu, jangan lupa dipakein salep ya, Al.”

“Iya kak, tenang aja.”

Percakapan itu terhenti saat seorang pelanggan memasuki toko itu, pelanggan yang membuat tubuh Alia membeku seketika.

“Gabriel...” Batin Alia.

Pria itu menatap sekilas ke arah Alia, dengan tatapan yang sulit diartikan membuat gadis itu ingin pergi saja dari sana.

Tak!! Suara botol kaleng soda itu membuat Alia tersadar dari lamunannya.

“I-ini aja?” Tanya Alia dengan lirih.

“Iya.” Jawab Gabriel.

“Totalnya-”

“Nih, ambil aja kembaliannya.” kata Gabriel memotong ucapan Alia.

“Please back to me, doobie.” Bisik Gabriel pada Alia sebelum meninggalkan tempat itu.

“Al... Kamu gapapa?” Tanya Sarah yang baru saja kembali dari toilet.

“Gapapa kak.” Jawab Alia seraya tersenyum menutupi rasa takutnya.


“Bunda... Aku pulang.” Ucap Alia saat memasuki rumahnya yang sederhana itu.

“UDAH GUE BILANG, KALO ADA DUIT KASIH KE GUE! UDAH TAU UTANG BANYAK!” Suara itu membuat Alia segera berlari menuju sumber suara.

“Ayah?!” Teriak Alia saat melihat Hendri, ayahnya yang terlihat sangat kacau.

“Bunda? Bunda gapapa? Ayah kenapa sih?!”

“Minggir, ini urusan orang tua!” Bentak Hendri dan melepas genggaman Alia pada Yasmin yang terduduk di lantai.

“Ayah!”

“Eh! Gara-gara beliin kamu sepatu, duit buat bayar hutang abis tau ga?!” Bentak Hendri.

“Maksud ayah?”

“Duit buat bayar hutang habis cuma buat beli sepatu itu!” Ucap Hendri yang berjalan ke arah kotak sepatu yang terletak diantara buku-buku pelajaran milik Alia.

“Ga guna kalian semua!” Bentak Hendri seraya merusak sepatu itu dengan cutter.

“Ayah jangan!!”

“Mas! Cukup ya! Aku beli sepatu ini pakai usaha aku sendiri! Dan kamu ga ada hak untuk merebut hak Alia.”

“Ayah lagi mabuk! Udah Yah!” Alia dan Yasmin berusaha untuk merebut sepatu itu dari Hendri.

“Ayah...”

“Argh!!” Hendri melepaskan cutter dan sepatu itu lalu meninggalkan Alia dan Yasmin.

Brak!!! Suara pintu yang ditutup Hendri dengan sangat kencang membuat keduanya terkejut.

“Bunda gapapa kan? Ada yang sakit?” Tanya Alia.

“Ngga, bunda gapapa kak. Ini, seperti yang bunda beliin buat kamu. Maaf ya ngga sebagus sepatu teman-teman kamu.” Kata Yasmin seraya mengambil sepatu yang tergeletak di lantai itu.

“Bun... Aku ga butuh sepatu untuk sekarang, sepatu aku masih bagus kok. Kenapa bunda pake uang bunda cuma untuk ini?”

“Bunda ga tega, bunda merasa gagal jadi orang tua karena ga bisa memenuhi kebutuhan anak sendiri yang sejatinya adalah tanggung jawab bunda selaku orang tua.”

“Jangan pernah berpikir kaya gitu lagi ya Bun, Alia udah merasa cukup kok. Yang Alia butuh cuma bunda yang sehat, bunda yang selalu ada di samping Alia kapanpun itu.”

“Maafin bunda ya kak...”

“Maafin Alia juga ya Bun...”

Untuk sebagian remaja seusianya, mungkin hari libur mereka manfaatkan untuk berlibur bersama keluarga, pacar atau teman-temannya. Namun tidak bagi gadis dengan rambut yang sedikit bergelombang itu. Ia memilih untuk bekerja di toko swalayan milik keluarga sahabatnya, Bintang.

“Buat ngeringanin beban bunda.” Katanya.

“Star! Maaf ya gue telat lima menit.” Ucapnya saat tiba di depan toko yang cukup besar dan lengkap itu.

“Gapapa, santai aja. Yuk masuk dulu, nanti gue kenalin sama pekerja yang lain.” Jawab Bintang yang dibalas anggukan oleh Alia.

“Boleh minta perhatiannya sebentar?” Ucap Bintang pada para pekerja disana.

“Kenalin ini Alia. Alia ini temen saya, dan akan bergabung untuk bekerja disini dengan kalian mulai hari ini. Tolong dibimbing ya kalau masih ada yang belum paham.” Sambungnya.

“Mohon bimbingannya ya kak.” Ucap Alia seraya menunduk dan tersenyum pada para pekerja senior disana.

“Selamat bergabung Alia.” Ucap mereka pada Alia sembari tersenyum pada gadis itu.

“Kalau gitu gue tinggal ya Al, gue harus bimbel soalnya. Nanti gue kesini lagi kok.” Kata Bintang.

“Iya, makasih ya star.”

“Santai, gue pamit ya.”

“Bye...”


Matahari sudah memerah dan mengubah warna langit sore itu menjadi sangat indah dengan cahayanya. Alia bergegas membereskan tas nya dan mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian yang ia pakai sebelumnya.

“Kak, Alia pamit ya.” Ucapnya pada pekerja yang mengganti shift nya.

“Hati-hati ya.”

“Iya, semangat ya kak kerjanya.” Kata Alia sebelum meninggalkan tempat kerjanya itu.

Ia tersenyum dan sedikit bersenandung kecil saat berjalan di trotoar kota yang sangat ramai kala itu. Riuh kendaraan dan para pejalan kaki yang sepertinya merupakan para pekerja kantoran yang baru saja menyelesaikan pekerjaan mereka juga berlalu lalang di trotoar.

Ia memberhentikan langkahnya saat melewati sebuah cafe klasik yang menarik perhatiannya itu. Melangkahkan kakinya memasuki cafe itu dan mencium aroma khas dari roti yang baru saja selesai dipanggang.

“Wangi.” Lirihnya.

“Selamat datang kak, mau pesan apa?”

“Red velvet cake satu sama iced americano venti one,no water,no sugar,extra four shota espresso satu.” Ucap Alia pada barista tersebut.

“Kak? Ini beneran?” Tanya barista itu saat mendengar pesanan Alia.

“Iya, emangnya kenapa ya kak?”

“Ini pahit banget loh, kakak ga takut apa?”

“Gapapa, udah biasa.”

“O-oke, sebentar ya. Atas nama siapa kak?”

“Alia.”

***

“Bunda... Alia pulang.” Ucap gadis itu saat memasuki rumahnya.

“Bunda?”

“Iya! Bunda di dapur nih!” Ucap Yasmin yang sedikit berteriak saat mendengar suara anak semata wayangnya itu.

“Wangi banget! Bunda masak apa?” Tanya Alia seraya memeluk bundanya dari belakang.

“Hari ini bunda masak kangkung tumis sama jamur pedas manis kesukaan anak bunda yang cantik ini.” Jawab Yasmin seraya mengelus kepala Alia di pundaknya.

“Bunda emang bunda terbaik di dunia! Makasih bunda.” Ucap Alia dan mencium pipi Yasmin.

“Bun, aku beliin red velvet cake juga nih.”

“Wah... Makasih ya sayang. Mandi dulu gih sebelum makan, kamu bau banget.”

“Mana ada! Aku wangi gini dibilang bau.”

Yasmin tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Alia “Iya, tapi kalau habis beraktivitas harus bersihin badan. Biar kuman-kuman ga nempel di kulit kamu.”

“Oke bunda! Aku mandi bentar ya.”

Aghh!

Lirih Yasmin saat Alia sudah tak terlihat di pandangannya lagi. Wanita itu memegang dadanya karena merasa sesak, tak lama kemudian ia merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya. Benar saja, ia mimisan lagi.

Dengan cepat ia mencoba mengatur napasnya dan membersihkan darah yang mengalir dari hidungnya agar Alia tak melihat keadaan itu.

Pundak gue selalu ada untuk orang yang juga selalu meminjamkan bahunya saat gue ga mampu lagi menahan air mata.

Saat kedua remaja itu sedang menikmati makanannya, mereka dikejutkan dengan notifikasi ponsel Ataya yang terus berbunyi dan menampilkan nama Karin disana.

“Bim, Karin ngechat gue.” Ucap Ataya seraya membaca pesan dari Karin.

“Kenapa? Bilang apa dia?”

“Mama lo…”

“Shit!” Umpat Bima saat mengecek ponselnya yang ternyata mati karena lowbat.

Detik itu juga Bima berhenti mengunyah makanannya dan memakai jaketnya “Aya, kali ini pulang naik angkot dulu gapapa?” Tanya Bima dengan wajah cemasnya.

“Gue ikut, Bim.”

“Tapi-“

“Gue ikut.”

“Hufttt… Yaudah ayo.”

Diperjalanan, mereka hanya diam dan saling bertengkar dengan isi kepalanya masing-masing. Sore itu, angin benar-benar berhembus begitu kencang sehingga membuat Ataya memeluk dirinya sendiri karena kedinginan. Bima yang melihat itu dari kaca spionnya, seketika memberhentikan motornya dan melepaskan jaketnya.

“Lho? Kenapa berhenti Bim? Ayo buruan.”

“Pake.” Ucap Bima sembari memberikan jaketnya pada Ataya.

“Gausah Bim, pake aja.”

“Aya, pake.”

“Bima, gausah. Ayo buruan, kasian Mama lo sama Karin.” Jawaban Ataya itu membuat Bima mendecak dan memakaikan jaketnya itu pada Ataya.

“Kalau gue bilang pake, pake Aya.” Bisik Bima di telinga Ataya.

“Ayo buruan naik.”

***

“Kak Bim!!” Teriak Karin saat melihat Bima yang telah tiba di halaman rumahnya.

“Mama!”

“JAHAT! JAHAT! KENAPA HARUS WANITA ITU?! JAHAT!!” Wanita paruh baya itu terus mencoba untuk melukai dirinya dengan memukul kepalanya dengan tangan dan menjambak rambutnya sendiri. Namun Karin dan Bima berusaha untuk memeluknya dan menahan tangannya.

“Ma, udah ma. Jangan lukai diri mama. Udah ya…” Ucap Bima seraya memeluk mamanya.

“Kenapa harus perempuan itu?! Bima…”

“Iya ma… Udah ya, mama jangan gini lagi. Bima sayang sama mama.” Pria itu mengelus pundak mamanya dan menenangkan wanita itu.

“Mama udah makan dek?” Tanya Bima pada Karin.

“Udah, tapi baru makan dikit makanannya dilempar. Obatnya juga belum diminum.” Jawab Karin seraya menoleh ke arah pecahan piring dan gelas yag masih berisi makanan mamanya.

Bima menghela napasnya, ini bukan kali pertama ia harus menenangkan mamanya seperti ini, tapi mau bagaimana lagi?

“Ma, istirahat ya? Bima antar ke kamar.” Ucap Bima saat melihat mamanya sudah mulai tenang.

“Bima, jangan tinggalin mama ya nak…” Ucap mamanya seraya memandang lekat-lekat anaknya itu.

“Iya ma, ngga. Bima disini untuk mama.” Bima tersenyum dan mengelus rambut mamanya.

*** Bima terduduk lemas di teras rumahnya, memandang langit yang malam itu penuh dengan bintang. Ia menghela napasnya seraya menundukkan kepalanya dan memeluk lututnya.

“Bim…” Ucap Ataya seraya menepuk pundak Bima.

Bima terlinjak kaget saat Ataya duduk disampingnya “ Aya? Maaf maaf gue jadi telat nganter lo balik. Gue antar sekarang?”

“Bima, lo nangis?!”

“Ha? Mana ada?” Pria itu membalikkan badannya dan menghapus sedikit air yang menetes dari matanya yang indah.

“Bohong.”

“Maaf.” “Bim, sini.” Ucap Ataya seraya menepuk pundaknya.

“Nangis aja Bim, jangan lo pendam sendiri. Jangan lukai diri lo dengan memendam rasa sedih itu sendirian. Bahu gue selalu ada untuk lo, untuk orang yang juga selalu minjemin bahunya untuk gue.” Sambungnya.

Malam itu, Bima meluapkan semua kesedihannya di bahu Ataya. Gadis itu mengelus punggung Bima yang sedikit bergetar. Tepat setelahnya, terdapat bintang jatuh yang menghiasi langit malam itu.

“Aya, gue anter pulang ya.” Ucap Bima saat ia merasa sudah mulai tenang.

“Lo udah gapapa emang? Maaf ya Bim, harusnya tadi gue ga ikut.”

“Udah, gapapa. Ayo gue anter pulang, udah malam nih ntar bunda lo nyariin anak manjanya ini.”

“Gue ga manja ya!” Kalimat itu membuat Bima mengacak-acak rambut Ataya, katanya gemas.

“Makasih ya, lo selalu ada untuk gue. Disaat orang-orang malu berteman sama gue karena gue miskin dan juga kondisi mama gue yang sekarang mungkin mereka tambah menjauh.” Ucap Bima seraya menundukkan kepalanya.

“Bim, kok lo ngomong gitu sih? Heh, mereka itu bukan malu Bim, mereka tuh iri sama lo karena apa? Karena lo itu siswa berprestasi, mandiri terus baik banget. Iyalah mereka kan gabisa nyamain diri mereka sama lo. Jangan sedih lagi ya, kalo capek ada gue disini.”

“Senyum dong! Giliran gue yang sedih aja lo nyuruh senyum mulu.” Ucap Ataya seraya menyenggol lengan Bima.

Bima tersenyum mendengar kalimat yang Ataya ucapkan, tersenyum begitu manis.

Pundak gue selalu ada untuk orang yang juga selalu meminjamkan bahunya saat gue ga mampu lagi menahan air mata.

Saat kedua remaja itu sedang menikmati makanannya, mereka dikejutkan dengan notifikasi ponsel Ataya yang terus berbunyi dan menampilkan nama Karin disana.

“Bim, Karin ngechat gue.” Ucap Ataya seraya membaca pesan dari Karin.

“Kenapa? Bilang apa dia?”

“Mama lo…”

“Shit!” Umpat Bima saat mengecek ponselnya yang ternyata mati karena lowbat.

Detik itu juga Bima berhenti mengunyah makanannya dan memakai jaketnya “Aya, kali ini pulang naik angkot dulu gapapa?” Tanya Bima dengan wajah cemasnya.

“Gue ikut, Bim.”

“Tapi-“

“Gue ikut.”

“Hufttt… Yaudah ayo.”

Diperjalanan, mereka hanya diam dan saling bertengkar dengan isi kepalanya masing-masing. Sore itu, angin benar-benar berhembus begitu kencang sehingga membuat Ataya memeluk dirinya sendiri karena kedinginan. Bima yang melihat itu dari kaca spionnya, seketika memberhentikan motornya dan melepaskan jaketnya.

“Lho? Kenapa berhenti Bim? Ayo buruan.”

“Pake.” Ucap Bima sembari memberikan jaketnya pada Ataya.

“Gausah Bim, pake aja.”

“Aya, pake.”

“Bima, gausah. Ayo buruan, kasian Mama lo sama Karin.” Jawaban Ataya itu membuat Bima mendecak dan memakaikan jaketnya itu pada Ataya.

“Kalau gue bilang pake, pake Aya.” Bisik Bima di telinga Ataya.

“Ayo buruan naik.” Sambungnya.

***

“Kak Bim!!” Teriak Karin saat melihat Bima yang telah tiba di halaman rumahnya.

“Mama!”

“JAHAT! JAHAT! KENAPA HARUS WANITA ITU?! JAHAT!!” Wanita paruh baya itu terus mencoba untuk melukai dirinya dengan memukul kepalanya dengan tangan dan menjambak rambutnya sendiri. Namun Karin dan Bima berusaha untuk memeluknya dan menahan tangannya.

“Ma, udah ma. Jangan lukai diri mama. Udah ya…” Ucap Bima seraya memeluk mamanya.

“Kenapa harus perempuan itu?! Bima…”

“Iya ma… Udah ya, mama jangan gini lagi. Bima sayang sama mama. Jangan dipikirin lagi ya, mama berhak bahagia. Tunjukin ke mereka kalau mama, aku dan Karin bisa bahagia tanpa papa.” Pria itu mengelus pundak mamanya dan menenangkan wanita itu.

“Mama udah makan dek?” Tanya Bima pada Karin.

“Udah, tapi baru makan dikit makanannya dilempar. Obatnya juga belum diminum.” Jawab Karin seraya menoleh ke arah pecahan piring dan gelas yag masih berisi makanan mamanya.

Bima menghela napasnya, ini bukan kali pertama ia harus menenangkan mamanya seperti ini, tapi mau bagaimana lagi?

“Ma, istirahat ya? Bima antar ke kamar.” Ucap Bima saat melihat mamanya sudah mulai tenang.

“Bima, jangan tinggalin mama ya nak…” Ucap mamanya seraya memandang lekat-lekat anaknya itu.

“Iya ma, ngga. Bima disini untuk mama.” Bima tersenyum dan mengelus rambut mamanya.

*** Bima terduduk lemas di teras rumahnya, memandang langit yang malam itu penuh dengan bintang. Ia menghela napasnya seraya menundukkan kepalanya dan memeluk lututnya.

“Bim…” Ucap Ataya seraya menepuk pundak Bima.

Bima terlinjak kaget saat Ataya duduk disampingnya “Aya? Maaf maaf gue jadi telat nganter lo balik. Gue antar sekarang?”

“Bima, lo nangis?!”

“Ha? Mana ada?” Pria itu membalikkan badannya dan menghapus sedikit air yang menetes dari matanya yang indah.

“Bohong.”

“Maaf.”

“Bim, sini.” Ucap Ataya seraya menepuk pundaknya.

“Nangis aja Bim, jangan lo pendam sendiri. Jangan lukai diri lo dengan memendam rasa sedih itu sendirian. Bahu gue selalu ada untuk lo, untuk orang yang juga selalu minjemin bahunya untuk gue.” Sambungnya.

Malam itu, Bima meluapkan semua kesedihannya di bahu Ataya. Gadis itu mengelus punggung Bima yang sedikit bergetar. Tepat setelahnya, terdapat bintang jatuh yang menghiasi langit malam itu.

“Aya, gue anter pulang ya.” Ucap Bima saat ia merasa sudah mulai tenang.

“Lo udah gapapa emang? Maaf ya Bim, harusnya tadi gue ga ikut.”

“Udah, gapapa. Ayo gue anter pulang, udah malam nih ntar bunda lo nyariin anak manjanya ini.”

“Gue ga manja ya!” Kalimat itu membuat Bima mengacak-acak rambut Ataya, katanya gemas.

“Makasih ya, Din. Makasih udah selalu disamping gue, disaat orang-orang malu berteman sama gue karena gue miskin dan juga kondisi mama gue yang sekarang, lo masih mau temenan sama gue.” Ucap Bima.

“Bima, lo ngapain berpikiran kaya gitu? Mereka yang memperlakukan lo kaya gitu karena mereka iri, iyalah jelas secara kan lo itu siswa berprestasi dan mereka ga bisa nyamain diri mereka dengan diri lo. Jangan gini dong, Bima yang gue kenal ga cengeng gini deh perasaan.”

“Senyum dong, kalo gue lagi sedih aja lo suruh senyum terus.”

Detik itu juga Bima tersenyum, sangat indah dan membuat gadis disampingnya juga ikut tersenyum.