Mie ayam
“Setelah gue teliti gula yang ada di es teh ini, senyuman lo lebih manis, Ay.”
Ataya menghela nafasnya setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Cakra, entah sampai kapan pria itu akan membuka hatinya untuk Ataya.
“Huftt... Walaupun lo cuek gini, kok rasa sayang gue ga bisa ilang ya ke Cakra?” Gumamnya sembari mengemas buku-bukunya ke dalam tas dan segera menuju ke lapangan futsal sekolahnya siang itu.
Namun sialnya saat ia melewati lapangan basket kepalanya terkena lemparan bola basket yang meleset dari ring hingga membuatnya terasa sedikit pusing.
“Woy! Lempar bolanya kesini!” Teriak seseorang yang menyuruhnya untuk melempar bola itu kembali ke lapangan. Orang itu adalah Cakra.
“Lo ga denger gue bilang apa?!”
“Iya iya bentar Cakra, kepala ku pusing.” Jawab Ataya.
“Lebay lo.” Ucap Cakra dengan entengnya.
“Heh Cakra jangan gitu sama cewe.” Timpal Farhan, sahabat Cakra.
Ataya meraih bola itu dan melemparnya ke lapangan itu, namun pria dengan hidung mancung itu masih saja berdecak.
“Lemah banget sih!” Ucap Cakra setelah Ataya menghilang dari pandangannya.
“Jangan gitu Ra, ntar lo suka lagi sama si Taya.” Ucap Farhan.
“Najis!” Ketus Cakra.
***
“Bima!” Panggil Ataya saat melihat sahabatnya itu duduk di bangku yang berada di samping lapangan futsal.
“Udah selesai tugas lo?” Tanya Bima saat ia menerima air mineral yang dilemparkan oleh Ataya.
“Udah, baru aja.” Jawabnya seraya mengelus kepalanya yang masih terasa pusing karena terkena benturan bola basket tadi.
“Lo kenapa? Pusing?” Tanya Bima.
“Ngga, gapapa.” Jawab Ataya. Ia tak mau memberi tau Bima jika kepalanya terkena benturan bola basket, apalagi itu perbuatan Cakra. Sejak SMP, Bima dan Cakra memang sudah berselisih entah karena alasan apa.
“Jangan boong.”
“Gue ga boong Bima.”
“Yaudah, bentar lagi gue selesai latihan. Lo gapapa kan nunggu bentar?”
“Gapapa, gue udah kebal kalo nungguin lo latihan.”
“Gue nunggu disini ya.”
“Mau lo diatas gawang juga gapapa.”
Setelah warna langit mulai berubah menjadi sedikit orange, Bima menyudahi latihannya bersama timnya. Keringat yang bercucuran dan membuat rambutnya basah semakin menambah ketampanannya, sehingga membuat para siswi yang menonton di pinggir lapangan ikut menjerit dan memotret pemandangan indah di depan mereka.
“Bima ganteng banget!!!”
“Pacar gue!!”
“Kak Bima!! Dapet salam dari mama!!”
“Fans lo tuh.” Ucap Ataya seraya menyenggol lengan Bima.
“Apaan sih.” Ujar Bima sembari mengelap keringatnya dengan handuk kecil pemberian Ataya. Walaupun berkeringat, namun pria itu masih saja wangi, mungkin ia mandi dengan kembang tujuh rupa.
“Balik yuk.” Ucap Bima dan menarik tangan Ataya menuju parkiran sekolah yang sudah cukup sepi, hanya ada beberapa motor disana, motor milik Cakra salah satunya.
“Bim, tunggu bentar ya gue kebelet.” Ucap Ataya saat mereka baru saja sampai di parkiran.
“Yaudah gue tunggu disini ya.”
Gadis itu berlari menuju wc yang berada di dekat ruang ganti yang pintunya sedikit terbuka, namun betapa terkejutnya ia saat melihat keadaan Cakra yang begitu kacau di dalam sana.
“Cakra!” Ia menjerit saat melihat Cakra ingin melukai tangannya dengan pisau cutter yang digenggamnya.
“Arghh! Pergi lo!!” Bentak Cakra dan mendorong tubuh Ataya hingga membentur dinding saking kuatnya dorongan Cakra.
“Jangan lukai diri lo Cakra! Kalo lo kenapa-napa gimana?!”
“Apa hubungannya sama lo?! Mau gue mati sekalipun gaakan ada hubungannya sama lo. Pergi!!”
“Cakra... Jangan...”
“Pergi atau-”
“Aya!!” Teriak Bima saat melihat Ataya dan Cakra dalam ruangan itu.
“Eh lo apain Ataya?!” Bentak Bima.
“Pergi lo berdua!!”
“Cakra...”
“Aya! Ayo pulang.” Ucap Bima sembari menarik tangan Ataya untuk menjauh dari ruangan itu.
Sesampainya di parkiran, Ataya melepas genggaman Bima dengan kasar.
“Bima! Lo apa-apaan sih?! Kalo Cakra kenapa-napa gimana?!”
“Bego! Mau sampai kapan lo bego karena cinta?!”
“Gaada urusannya sama lo.” Jawaban Ataya itu sukses membuat Bima berdecak.
“Mau sampai kapan lo kaya gini ay?” Batin Bima.
“Maaf.” Lirih Bima sembari memakai helmnya.
“Makanya cari cewe biar ga ngurusin hubungan gue mulu.” Ucap Ataya seraya menaiki motor Bima.
“Males, ga tertarik.”
“Dih ga normal lo ya?”
“Mau fokus belajar dulu. Gue bukan lo yang tiap hari ngebucin tapi cintanya bertepuk sebelah tangan.” Ucapan Bima itu sukses mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari Ataya.
“Sakit woy!”
“Ya lagian lo kalo ngomong nyelekit banget!”
“Maaf.”
“Bim...”
“Apa?”
“Kedai mie ayam mas Tejo kelewatan.”
“KENAPA LO GA BILANG?!”
“Mas Tejo, mie ayam dua kaya biasa ya.” Ucap Ataya saat memesan mie ayam langganannya itu.
“Berdua mulu, kalian pacaran ya?” Tanya mas Tejo seraya melihat Ataya dan Bima secara bergantian.
“Ngga.”
“Iya.”
“Heh! Enak aja. Engga mas, dia mah bodyguard saya.”
“Padahal cocok kalo pacaran.”
“Ga. Udah mas buruan saya laper nih.”
Tak lama menunggu, pesanan mereka datang dan membuat gadis itu yang tadinya murung kembali ceria karena mie ayam favoritnya.
“Ay, setelah gue teliti, gula yang ada di es teh ini kalo dibandingin sama senyuman lo, kayanya es teh ini kalah.”
“Bima!!!”