Semesta gue terlalu menyakitkan
Sebuah mobil melaju cukup kencang menyusuri jalanan yang cukup sepi malam itu. Pengendaranya yang bercucuran keringat karena rasa traumanya yang masih menempel di ingatannya.
“Assalamualaikum, Alia...” Ucapnya seraya mengetuk pintu rumah yang ditujunya rumah Alia.
“Waalaikumsalam. Fanya?! Lo kenapa anjir?! Masuk masuk.” Alia yang melihat keadaan Fanya malam itu merasa sangat terkejut karena penampilan saudaranya itu terlihat sangat kacau. Matanya yang memerah dan bengkak serta pakaiannya yang kusut. Apa yang terjadi pada gadis itu?
“Fanya... Lo kenapa?” Tak menjawab pertanyaan Alia, Fanya justru memeluk Alia dengan erat dan menangis dipelukan saudaranya itu.
“Hey, lo kenapa? Jangan bikin gue panik dong.”
“Gue hancur Al... Gaada lagi alasan gue untuk hidup.” Jawab Fanya dengan suara yang terbata-bata.
“Jangan bilang berita yang ada di base kampus itu...”
“Gue harus gimana Alia...”
“Gabriel?” Fanya hanya mengangguk dan masih menangis dipelukan Alia.
“Brengsek lo Gabriel!!!”
“Lo tenang dulu ya, atur nafas. Gue ambilin air dulu.”
Tubuh gadis itu masih gemetar dan mencoba menenangkan dirinya dengan memeluk lututnya dengan erat.
Sedangkan di dapur, sembari mengambil air putih untuk Fanya, Alia sedang bertengkar dengan isi kepalanya. Bagaimana caranya agar Gabriel bisa benar-benar sadar dengan apa yang telah ia lakukan?
“Ck! Bener-bener lo Gabriel!”
“Fanya, lo tenang dulu ya. I know it’s hurt, gue bakalan bantu lo gimanapun caranya biar Gabriel nyesel dengan apa yang udah dia perbuat. I’ll always here for you, cuz you’re my sister.” Ucap Alia seraya memeluk Fanya.
“Thank you so much, I really really regred about all of my deed to you. I’m sorry, Al.” Lirih Fanya.
*** “Humairah, kita main game, mau?”
“Game apa kak? Gausah aneh-aneh.”
“Saya mau sembunyi, tapi kamu ngga perlu nyari saya.”Ucap Harriz seraya mengelus perut Alia.
“Sehat-sehat ya, nak.” Sambungnya.
“Dih, game apaan itu. Ngga, gamau.”
“Saya pergi ya.”
“Kak!!”
Drtt…Drtttt…
Ponsel Alia berdering menandakan sebuah panggilan dari seseorang untuknya, tertera nama Haikal disana, membangunkannya darimimpi buruknya, ia mengelap kerinat dingin yang bercucuran di pelipisnya. Tapi ada apa pria itu menelponnya selarut ini?
“Assalamualaikum, kenapa Kal?”
Tak terdengar jawaban dari Haikal, hanya isakan kecil yang terdengar. Ada apa sebenarnya?
“Haikal, lo kenapa?”
“Al,kita ke bandara ya.”
“Lah? Ngapain? Ngga, ngapain anjir apa kata orang ntar. Lo gila ya? Kalo kak Harriz tau lo bisa kena amuk ya!”
“Kita mau ketemu Harriz.”
“Maksud lo?”
“Gue di depan, buruan Al.”Gadis itu melangkah dengan malas, rasa kantuk masih menyelimutinya. Ia hanya mencuci wajahnya dan memakai setelan pemberian Harriz sebelum pria pergi ke luar kota.
“Loh? Kal? Mata lo sembab gitu, abis putus sama pacar ya?” Pertanyaan Alia hanya dijawab gelengan oleh Haikal, pria itu melajukan mobilnya dengan cepat menuju arah bandara. Entah mengapa, jalan raya malam itu terasa begitu sepi dan hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Langit mulai menampakkan cahaya kilat namun tak berbunyi, pohon-pohon tertiup angin dengan kencangnya.
“Ayo, Al.” Ucap Haikal.
Setibanya di bandara, ia terkejut dengan banyaknya orang-orang.Mereka menangis? Menjerit? Ia masih tak mengerti, ada apa sebenarnya?
“Alia!!” Panggil Amira yang baru saja tiba di bandara bersama kedua orang tua Harriz. Tapi mengapa mereka juga menangis?
“Kal, kenapa semuanya nangis sih? Ini juga kenapa banyak banget yang ada bi bandara? Ada lonjakan penumpang ya? Apa mereka juga ikut terharu karena kak Harriz pulang?” Tanya Alia. Haikal hanya memijat pelipisnya seraya menahan air matanya mendengar pertanyaan Alia.
“Kak Amira! Kenapa nangis? Umi sama Abi kenapa nangis?” Tanya Alia. Ustadz Hafiz menengok ke arah Haikal dan membuat pria itu menggeleng seraya meneteskan air matanya.
Amira memeluk Alia dan berbisik di telinga gadis itu, “Kamu harus sabar ya dek, ikhlasin Harriz.” Lirih Amira.
“Kak, aku ngga ngerti loh ini. Kak Harriz semalam bilang udah di bandara dan janji bakal pulang. Alia juga udah nyiapin hadiah nih di kotak ini.” Ucap Alia seraya mengeluarkan kotak kecil dari saku sweaternya, sweater pemberian Harriz.
Tangis mereka pecah seketika, perasaan Alia mulai tak enak. Ia berharap apa yang ada di benaknya itu salah.
“Kepada seluruh keluarga korban jatuhnya pesawat Boeing 657 dengan tujuan Palembang-Jakarta dimohon untuk bersabar sejenak dan menunggu informasi selanjutnya dari pihak maskapai.” Ucap staff yang dapat didengar dari pengeras suara yang ada di bandara.
“Kak, itu bukan pesawat kak Harriz kan? Umi iya kan? Abi, kak Harriz naik pesawat yang lain kan?” Tanya Alia. Gadis itu mencoba untuk berpikir positif, namun air matanya tak dapat berbohong.
“Kak…” Lirihnya dan membuat kotak kecil yang ia genggam terjatuh begitu saja beriringan dengan jatuhnya air matanya.
“Nak, papa kamu ga pergi kok. Papa mungkin masih ada tugas lain yang belum selesai, ini bukan pesawat papa kamu, bukan.” Ucapnya seraya mengelus perutnya yang masih rata.
Kedua orang tua Harriz tak sanggup melihat keadaan menantunya yang mencoba kuat dihadapan mereka. Seketika Alia menghapus air matanya dan menyalakan ponsel yang ia genggam. Ia mencoba untuk menelpon Harriz, berharap pria itu mengangkat telponnya. Namun apa yang ia harapkan ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang baru saja ia dapatkan.
Ia menarik napasnya dalam-dalam dan mengucapkan dalam hatinya “Aku yakin, kamu bakal dateng kak. Aku akan selalu nunggu, anak kamu nungguin papanya.”
Amira menggenggam tangan Alia dengan erat, ia masih meneteskan air matanya. “Dek, kita ketemu Harriz ya.” Ucap Amira.
“Kak, Umi, Abi, Haikal, Kak Harriz tuh masih di Palembang. Pulangnya baru besok.”
Mereka tak menjawab Alia, mereka hanya melangkah di tempat dimana para keluarga korban berkumpul. Rasanya untuk berjalan saja mereka tak sanggup.
“Kak, aku tau di setiap pertemuan pasti ada kata selamat tinggal, tapi kalau untuk kamu, aku ga mau ada kata selamat tinggal.” Lirih Alia.
“Nak, sini duduk dekat umi…”
“Umi, kak Harriz ga akan ninggalin Alia sendiri. Dia udah janji semalam, katanya ada hadiah buat Alia juga.”
“Nak dengerin umi, kamu percaya dengan Qada dan Qadar kan? Kamu harus ingat satu hal, kalau takdir dan ketetapan Allah itu yang terbaik. Allah mengirimkan Harriz untuk kamu karena takdir dan Allah mengambil Harriz kembali karena takdir. Umi tau, untuk mengikhlaskan itu sulit, tapi Allah ngga akan menguji kita diluar dari batas kemampuan kita.”
“Tapi baru sebentar umi, baru sebentar waktu Alia untuk hidup sama Kak Harriz. Alia mau lebih lama lagi.” Ucapnya.
“Umi tau ini berat, tapi ikhlaskan Harriz nak.” Mendengar itu, dada Alia terasa sesak, ia memegang dadanya dan mencoba menahan tangisnya namun gagal. Air matanya tumpah dengan sendirinya, menandakan betapa hancurnya perasaannya malam itu.
“Semesta gue terlalu menyakitkan.”
© Xxaabiiruu