biruu

Saat berada di mobil bersama Harriz dan Amira, ponsel yang dipegang oleh Alia terus bergetar. Setelah mengecek ponselnya, wajah gadis itu langsung berubah drastis.

Amira yang berada di sampingnya tersadar dengan perubahan ekspresi wajah Alia yang sebelumnya terlihat ceria menjadi murung.

“Dek, kamu kenapa murung gini? Tadi ceria.” Ucap Amira hingga membuat Harriz yang berada kursi depan kini melihat ke arah Alia.

Alia tak ingin orang lain mengetahui masalahnya mencoba mengelak dengan apa yang dikatakan oleh Amira.

“Ngga kok kak, Alia gapapa.” Ucap gadis itu sambil tersenyum.

“Gapapa kak, gaada apa-apa.” Sambungnya saat melihat ekspresi Harriz yang terlihat khawatir.

“Maaf lancang, tapi boleh lihat hp nya?” Tanya Harriz.

“Buat apa sih? Gaada apa-apa juga.” Ucap Alia mencoba membela dirinya.

“Alia, sudah berapa kali saya bilang, tidak perlu kamu memikirkan apa yang orang lain bicarakan tentang kamu. Kalau kamu terus mendengar apa yang mereka bilang, gaakan ada habisnya.” Ucap Harriz dengan lembut.

“Bener dek, walaupun kak Amira gatau masalahnya, tapi kakak juga pernah ada di posisi kamu, kakak pernah menjadi bahan omongan teman-teman sekolah kakak, tapi satu hal yang membuat kakak bisa melawannya. Selalu ingat, cintanya Allah lebih besar, kita ga perlu takut tentang omongan manusia yang gaada habisnya. Kamu tau kan, kalau kita sudah mendapat cintanya Allah, satu orangpun yang akan mengusik kita, kita gaakan merasa sedih sedikitpun karena rasa sedih itu sudah tertutupi oleh rasa cinta kita pada Allah.” Ucap Amira.

“Makasih ya kak, semoga di sekolah baru aku nanti orangnya baik-baik. Denger nasihat kakak tadi, aku jadi nyesel selalu bolos pelajaran agama hehe.” Ucap Alia dengan senyumannya yang menampakkan gummy smile.

Harriz yang mendengarnya hanya bisa beristighfar mendengar kelakuan calon istrinya itu “Astaghfirullah.”

“Kamu ga tenang aja, disana orangnya baik semua kok. Kamu ini cantik sekali, lucu juga. Harriz ga salah pilih.”

“Bukan Harriz yang pilih, tapi Allah yang pilih.” Timpal Harriz.

“Iya deh.” Ucap Alia dan Amira.

Kemudia kedua gadis itu kembali bercerita hingga mereka tiba di sekolah Alia yang baru.

“Ini sekolahnya?” Tanya Alia.

“Iya kenapa? Kamu ga suka? Mau cari sekolah yang lebih besar lagi?” Tanya Harriz.

“Heh ini aja udah gede banget, apa ga nyasar ya nanti?” Ucap Alia.

“Tenang aja, nanti kamu akan dibimbing sama guru BK disini.” Ucap Amira.

“Makasih ya kak Harriz, kak Amira. Alia suka banget sama sekolahnya.” Ucap Alia kegirangan. Harriz yang melihat tingkah gadis itu sedikit tersenyum namun dengan cepat ia memasang wajah datar lagi.

“Alia masuk ya kak, assalamualaikum.” Gadis itu mencium tangan Amira, namun saat ingin mencium tangan Harriz, pria itu menyembunyikan tangannya dibalik badannya.

“Belum mahram.” Ucap Harriz.

“Lupa, hehe.”

Malam ini, adalah malam yang ditunggu-tunggu oleh Harriz, bagaimana tidak, malam ini ia akan bertemu dengan gadis cantik yang berada dalam mimpinya itu setelah penantian panjang yang diiringi dengan perbincangan indah kepada sang Maha cinta.

“Assalamualaikum...” Ucap ustadz Hafiz sambil mengetuk pintu rumah Alia.

Tak lama kemudian, gadis cantik dengan kulit putih dan pipi kemerahan muncul dibalik pintu rumahnya. Alia Humairah terlihat anggun dengan gamis biru dongker dan pasmina hitam yang menutupi rambutnya.

“Waalaikumsalam.” Jawabnya setelah membuka pintu rumahnya.

Harriz yang melihat gadis itu langsung menundukkan kepalanya.

” Ya Allah, indah sekali makhluk-Mu ini.” Batinnya.

Begitu juga dengan Alia yang terkagum-kagum melihat pria dengan kemeja hitam di hadapannya itu.

“Ya Allah, ganteng banget ternyata aslinya. Kalo gini sih gue juga mau, tapi harus jual mahal dulu dong.” Batinnya.

“Silahkan masuk ustadz, umi, kak Harriz.” Ucap gadis itu mempersilahkan keluarga ustadz Hafiz untuk masuk kedalam rumahnya yang sederhana.

“Silahkan duduk, saya panggilkan bunda dulu.”


“Bunda, keluarga ustadz Hafiz udah sampai.” Ucap Alia.

“Ini Alia anak bunda?”

“Ya siapa lagi bun, ini Alia.”

“Cantiknya ya Allah...”

“Jangan gitu Bun, jadi malu.”

“Emang cantik, kamu kalau pakai hijab gini anggun banget.”

“Alia usahakan ya Bun.”

“Bunda bangga sama kamu. Ayo kita keluar.”

“Yuk...”

“Assalamualaikum ustadz, ustadz, nak Harriz. Ya Allah ga nyangka saya bisa bertemu langsung dengan keluarga ustadz, biasanya cuma lihat dari jauh saat kajian.” Ucap bunda Alia.

“Alhamdulillah Bu, ini adalah takdir Allah sudah mempertemukan keluarga kita malam ini.”

Setelah berbincang cukup lama, akhirnya ustadz Hafiz menyampaikan tujuannya datang ke rumah Alia malam itu.

“Jadi begini Bu Yasmin, selain bersilaturahmi, kami datang kesini juga ingin melamar nak Alia untuk menjadi istri Harriz.” Ucapan ustadz Hafiz sukses membuat kedua wanita itu terkejut.

“Melamar? Alia?” Tanya Alia yang masih shock.

“Iya nak, bagaimana?”

“Tapi Alia masih SMA umi, Alia juga masih mau melanjutkan pendidikan Alia ke jenjang yang lebih tinggi. Alia mau jadi dokter dulu.”

“Kalau saya terserah Alia aja ustadz, ustadzah. Saya sih setuju saja.”

“Kalau Alia belum siap, saya akan menunggu sampai Alia siap menerima saya.” Timpal Harriz.

” Ya Allah, suaranya aja ganteng. Ini mah persis kaya yang dimimpi gue.” Batin Alia.

“Apa itu tidak memberatkan kak Harriz?”

“Sampai kapanpun saya akan menunggu kamu, sampai benar-benar siap.”

“Alia akan mempertimbangkan keputusan Alia dulu.”

Harriz yang mendengarnya hanya tersenyum lalu menundukkan kepalanya. Entahlah semua yang berhubungan dengan Alia benar-benar membuatnya merasa bahagia.

Tepat disamping jendela sebuah kafe, seorang gadis cantik dengan rambut sebahu yang terurai sedang duduk menikmati jalanan yang agak sepi kendaraan.

Hujan sedikit demi sedikit turun membasahi jalan. Selang beberapa menit kemudian orang yang ia tunggu akhirnya datang. Seorang wanita paruh baya namun masih memiliki wajah yang awet muda, datang ke arahnya dengan senyuman yang sangat indah.

“Assalamualaikum Alia, udah lama nak?” Tanyanya.

“Waalaikumsalam, Alia juga baru sampai umi.” Jawabnya.

“Apa umi langsung aja nih?” Ucap wanita yang ia panggil 'umi' tersebut.

“Iya umi, silahkan. Sepertinya ini hal yang penting “

“Jadi begini nak, beberapa minggu yang lalu anak umi bermimpi menikah dengan gadis yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dan Abi nya bilang, mungkin ini adalah pertanda dari Allah agar ia segera menikah.”

“Dan saat kamu datang di pesantren siang itu, umi bercerita dengan anak umi dan juga suami umi, ustadz Hafiz. Umi cerita lah tentang kamu, nama kamu, dan alasan kamu ingin bekerja di pesantren. Saat umi menyebut nama kamu, Alia, anak umi yang sebelumnya tidak pernah mengirimkan pesan dengan panjang, siang itu bertanya panjang lebar pada umi tentang kamu.”

” Umi belum bilang kalau nama lengkap kamu Alia Humairah, tapi dia langsung bertanya sama umi apa nama kamu Alia Humairah? Lalu umi jawab, iya namanya Alia Humairah. Dan mungkin beginilah jalan takdir kalian yang telah ditetapkan oleh Allah. Nak, kalau kamu tidak keberatan, apa boleh anak umi bertemu dengan kamu? Dia ingin sekali bertemu tapi belum kami perbolehkan karena ingin mencari waktu yang tepat.” Ucap ustadzah Aisyah yang menjelaskan tentang mimpi Harriz pada Alia.

“Gimana ya umi, saya juga bingung. Dan mengenai mimpi, Alia beberapa hari terakhir juga bermimpi demikian. Alia mimpi dipakaikan hijab oleh pria yang belum pernah Alia temui. Sebelum mimpi Alia berakhir, dia menyebut namanya. Prince Harriz?” Pernyataan Alia benar-benar membuat wanita di depannya terkejut. Sesempurna inikah jalan takdir mereka?

” Masya Allah nak, mimpi kalian ini hampir sama tapi anak umi bermimpi saat akad dia menyebutkan namamu didepan penghulu. Dan benar kata kamu, nama anak umi itu Prince Harriz. Nama yang diberikan oleh kakeknya.”

“Apa ini sebuah kebetulan aja umi?” Tanya Alia.

” Nak, ga ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi di dunia ini terjadi karena izin dari Allah. Dan bagaimana tentang mimpi kalian itu, umi serahkan kembali kepada Alia, kalau kamu tidak mau bertemu dengan anak umi, kamu punya hak untuk menolak nak.”

“Alia mau, Alia mau ketemu sama Harriz umi.”

“Bener?”

“Iya umi.”

” Alhamdulillah, makasih ya nak. Sepertinya Harriz akan senang mendengar kabar ini.”

“Iya umi. Gatau kenapa spontan Alia jawabnya mau.”

Setelah perbincangan itu, mereka kembali bercerita satu sama lain. Entahlah, baru saja bertemu namun rasa sayang seperti anak dan ibu sudah melekat pada mereka.

Tepat disamping jendela sebuah kafe, seorang gadis cantik dengan rambut sebahu yang terurai sedang duduk menikmati jalanan yang agak sepi kendaraan.

Hujan sedikit demi sedikit turun membasahi jalan. Selang beberapa menit kemudian orang yang ia tunggu akhirnya datang. Seorang wanita paruh baya namun masih memiliki wajah yang awet muda, datang ke arahnya dengan senyuman yang sangat indah.

“Assalamualaikum Alia, udah lama nak?” Tanyanya.

“Waalaikumsalam, Alia juga baru sampai umi.” Jawabnya.

“Apa umi langsung aja nih?” Ucap wanita yang ia panggil 'umi' tersebut.

“Iya umi, silahkan. Sepertinya ini hal yang penting “

“Jadi begini nak, beberapa minggu yang lalu anak umi bermimpi menikah dengan gadis yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dan Abi nya bilang, mungkin ini adalah pertanda dari Allah agar ia segera menikah.”

“Dan saat kamu datang di pesantren siang itu, umi bercerita dengan anak umi dan juga suami umi, ustadz Hafiz. Umi cerita lah tentang kamu, nama kamu, dan alasan kamu ingin bekerja di pesantren. Saat umi menyebut nama kamu, Alia, anak umi yang sebelumnya tidak pernah mengirimkan pesan dengan panjang, siang itu bertanya panjang lebar pada umi tentang kamu.”

” Umi belum bilang kalau nama lengkap kamu Alia Humairah, tapi dia langsung bertanya sama umi apa nama kamu Alia Humairah? Lalu umi jawab, iya namanya Alia Humairah. Dan mungkin beginilah jalan takdir kalian yang telah ditetapkan oleh Allah. Nak, kalau kamu tidak keberatan, apa boleh anak umi bertemu dengan kamu? Dia ingin sekali bertemu tapi belum kami perbolehkan karena ingin mencari waktu yang tepat.” Ucap ustadzah Aisyah yang menjelaskan tentang mimpi Harriz pada Alia.

“Gimana ya umi, saya juga bingung. Dan mengenai mimpi, Alia beberapa hari terakhir juga bermimpi demikian. Alia mimpi dipakaikan hijab oleh pria yang belum pernah Alia temui. Sebelum mimpi Alia berakhir, dia menyebut namanya. Prince Harriz?” Pernyataan Alia benar-benar membuat wanita di depannya terkejut. Sesempurna inikah jalan takdir mereka?

” Masya Allah nak, mimpi kalian ini hampir sama tapi anak umi bermimpi saat akad dia menyebutkan namamu didepan penghulu. Dan benar kata kamu, nama anak umi itu Prince Harriz. Nama yang diberikan oleh kakeknya.”

“Apa ini sebuah kebetulan aja umi?” Tanya Alia.

” Nak, ga ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi di dunia ini terjadi karena izin dari Allah. Dan bagaimana tentang mimpi kalian itu, umi serahkan kembali kepada Alia, kalau kamu tidak mau bertemu dengan anak umi, kamu punya hak untuk menolak nak.”

“Alia mau, Alia mau ketemu sama Harriz umi.”

“Bener?”

“Iya umi.”

” Alhamdulillah, makasih ya nak. Sepertinya Harriz akan senang mendengar kabar ini.”

“Iya umi. Gatau kenapa spontan Alia jawabnya mau.”

Setelah perbincangan itu, mereka kembali bercerita satu sama lain. Entahlah, baru saja bertemu namun rasa sayang seperti anak dan ibu sudah melekat pada mereka.

Tepat disamping jendela sebuah kafe, seorang gadis cantik dengan rambut sebahu yang terurai sedang duduk menikmati jalanan yang agak sepi kendaraan.

Hujan sedikit demi sedikit turun membasahi jalan. Selang beberapa menit kemudian orang yang ia tunggu akhirnya datang. Seorang wanita paruh baya namun masih memiliki wajah yang awet muda, datang ke arahnya dengan senyuman yang sangat indah.

“Assalamualaikum Alia, udah lama nak?” Tanyanya.

“Waalaikumsalam, Alia juga baru sampai umi.” Jawabnya.

“Apa umi langsung aja nih?” Ucap wanita yang ia panggil 'umi' tersebut.

“Iya umi, silahkan. Sepertinya ini hal yang penting “

“Jadi begini nak, beberapa minggu yang lalu anak umi bermimpi menikah dengan gadis yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dan Abi nya bilang, mungkin ini adalah pertanda dari Allah agar ia segera menikah.”

“Dan saat kamu datang di pesantren siang itu, umi bercerita dengan anak umi dan juga suami umi, ustadz Hafiz. Umi cerita lah tentang kamu, nama kamu, dan alasan kamu ingin bekerja di pesantren. Saat umi menyebut nama kamu, Alia, anak umi yang sebelumnya tidak pernah mengirimkan pesan dengan panjang, siang itu bertanya panjang lebar pada umi tentang kamu.”

” Umi belum bilang kalau nama lengkap kamu Alia Humairah, tapi dia langsung bertanya sama umi apa nama kamu Alia Humairah? Lalu umi jawab, iya namanya Alia Humairah. Dan mungkin beginilah jalan takdir kalian yang telah ditetapkan oleh Allah. Nak, kalau kamu tidak keberatan, apa boleh anak umi bertemu dengan kamu? Dia ingin sekali bertemu tapi belum kami perbolehkan karena ingin mencari waktu yang tepat.” Ucap ustadzah Aisyah yang menjelaskan tentang mimpi Harriz pada Alia.

“Gimana ya umi, saya juga bingung. Dan mengenai mimpi, Alia beberapa hari terakhir juga bermimpi demikian. Alia mimpi dipakaikan hijab oleh pria yang belum pernah Alia temui. Sebelum mimpi Alia berakhir, dia menyebut namanya. Prince Harriz?” Pernyataan Alia benar-benar membuat wanita di depannya terkejut. Sesempurna inikah jalan takdir mereka?

” Masya Allah nak, mimpi kalian ini hampir sama tapi anak umi bermimpi saat akad dia menyebutkan namamu didepan penghulu. Dan benar kata kamu, nama anak umi itu Prince Harriz. Nama yang diberikan oleh kakeknya.”

“Apa ini sebuah kebetulan aja umi?” Tanya Alia.

” Nak, ga ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi di dunia ini terjadi karena izin dari Allah. Dan bagaimana tentang mimpi kalian itu, umi serahkan kembali kepada Alia, kalau kamu tidak mau bertemu dengan anak umi, kamu punya hak untuk menolak nak.”

“Alia mau, Alia mau ketemu sama Harriz umi.”

“Bener?”

“Iya umi.”

” Alhamdulillah, makasih ya nak. Sepertinya Harriz akan senang mendengar kabar ini.”

“Iya umi. Gatau kenapa spontan Alia jawabnya mau.”


Setelah perbincangan itu, mereka kembali bercerita satu sama lain. Entahlah, baru saja bertemu namun rasa sayang seperti anak dan ibu sudah melekat pada mereka.

“Assalamualaikum, Alia?” Ucap ustadzah Aisyah saat memasuki ruang rawat bunda Alia.

“Waalaikumsalam ustadzah, silahkan duduk.” Jawab Alia, saat melihat ustadzah Aisyah memasuki ruangan itu, ia segera mencium tangannya.

“Kamu sendirian jagain bunda kamu?” Tanya ustadzah Aisyah.

“Iya ustadzah.” Jawabnya dengan senyuman yang tak dapat diartikan.

Ustadzah Aisyah yang merupakan sarjana psikologi jelas mengetahui ada yang disembunyikan oleh gadis berparas cantik dihadapannya itu.

“Nak, Alia, ustadzah tau kita baru saja kenal. Tapi anggap ustadzah sebagai ibu kamu juga ya. Kamu bisa cerita apa saja saat kamu memilih memendam semuanya sendiri, itu ngga baik buat kesehatan mental kamu.”

“Dan saya akan selalu siap mendengar semua cerita kamu, masalah apapun yang sedang kamu alami, jangan pernah sungkan untuk bercerita.”

“Makasih banyak ustadzah, tapi Alia gamau merepotkan orang lain dengan bercerita tentang semua masalah Alia.”

“Panggil umi aja mulai sekarang ya. Kamu udah umi anggap sebagai anak sendiri, entah insting apa saat pertama kali kamu memasuki ruangan umi waktu itu, saat umi melihat wajah kamu, umi merasa bahwa ada satu perasaan yang membuat umi menjadi sayang sama kamu nak.”

“Aku merasa gagal sebagai anak, umi. Bunda selalu bekerja banting tulang untuk mencari biaya sekolahku. Tapi kemarin malam, ayahku datang dan merusak sepatu yang dibeli bunda untuk aku pakai ke sekolah.”

“Dan tadi malam, aku mendapat satu fakta bahwa ayahku selama ini bukan ayah kandungku.”

Pernyataan Alia benar-benar membuat perasaan ustadzah Aisyah teriris. Se-sengsara inikah hidup calon menantunya?

“Alia, umi boleh nanya?”

“Iya umi, boleh.”

“Kenapa kamu memilih untuk tidak menggunakan hijab?”

Alia hanya tersenyum miris mendengar pertanyaan ustadzah Aisyah “Sejak kecil aku ga pernah diajarkan tentang agama, bahkan ayah ga pernah mengimami aku dan bunda saat shalat.”

“Dan sampai sekarang, Alia iri melihat teman-teman Alia yang selalu berkumpul dengan keluarganya saat lebaran.”

“Alia berdosa umi, sudah melalaikan kewajiban Alia sebagai muslimah. Alia mau memperbaiki diri, tapi gatau mulai darimana.”

“Alia, Islam menempatkan posisi kita wanita sangat agung. Dan dengan selembar kain sederhana ini, kita bisa terjaga. Baik itu dari kejahatan dunia, dan Inshaa Allah juga kepedihan di akhirat nanti karna kita bisa menjaga diri kita dengan menutup aurat.”

” Selagi kamu mau berubah, Inshaa Allah kamu akan diberikan kemudahan oleh Allah dalam memperbaiki diri. Kita coba ya nak, tenang aja ada umi.”

“Makasih umi. Bantu Alia untuk berubah” Ucap gadis itu seraya memeluk wanita paruh baya didepannya.

“Inshaa Allah, nak.”

“Assalamualaikum, moon?” Ucap Bintang saat memasuki rumah Alia.

“Waalaikumsalam, gue disini.” Jawab Alia yang terduduk di samping tempat tidur sang ibu.

“Bunda sakit apa moon?”

“Gatau star, tadi bunda mimisan dan gue gatau harus apa sekarang.”

“Bawa ke rumah sakit sekarang. Ayo moon, gue telfon ambulans ya.”

“Tapi gue gaada duit buat biaya rumah sakit.”

“Gausah pikirin itu, ada gue, mama sama papa.”

Alia segera memeluk sahabatnya itu, entah apa yang akan terjadi bila tak ada bintang saat itu.

“Makasih banyak ya star, gue berhutang sama lo.”

“Ngga, gaada. Pokonya bunda harus sembuh. Gausah pikirin soal biaya ya.”

“Makasih ya.”


Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dokter yang menangani bunda Alia menghampiri kedua gadis yang terduduk cemas di kursi tunggu rumah sakit itu.

“Dokter, gimana keadaan bunda saya?”

” Bunda kamu menderita leukimia, dan tidak pernah menjalani pengobatan sebelumnya, dan kemungkinan untuk sembuh adalah 40%. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mendengar ucapan dokter, Alia seketika terduduk lemas mengetahui bundanya terkena penyakit mematikan.

“Star Bunda gue star...” Tangisannya pecah dipelukan bintang.

“Sabar moon, kita berdoa aja supaya bunda sembuh ya.” Bintang pun tak kuasa melihat sahabatnya itu ikut menangis.

“Gue gatau harus gimana sekarang...”

“Ada gue moon, jangan takut ya...” Ucap bintang yang mencoba menguatkan sahabatnya.

“Star, makan dulu ya. Lu belum makan dari tadi.” Ucap Bintang. Namun Alia hanya menggelengkan kepalanya, ia benar-benar lemas dan tak berselera untuk makan.

“Star, gue titip bunda bentar boleh?” Ucap Alia.

“Mau kemana lu?” Tanya Bintang.

“Ke tempat ayah.” Kalimat itu membuat Bintang sedikit terkejut.

“Jangan bercanda deh.”

“Gue ga bercanda. Titip bunda ya, star.”

“Hati-hati ya moon.” Ucap Bintang.

” Hati-hati, moon.” Batin Bintang.


Alia berjalan menuju sebuah tempat dimana ayahnya berada, club malam. Ia sedikit was-was saat memasuki tempat yang dipenuhi oleh orang-orang dewasa itu. Bahkan aroma alkohol menyeruak menusuk penciumannya.

Saat mendapati keberadaan sang ayah, ia segera menarik tangannya.

“Ayah, aku mau ngomong sebentar.”

“Apa apaan kamu!! Pergi!” Ucap Hendri dan menepis tangan Alia.

“Ayah, bunda masuk rumah sakit. Bunda sakit parah Yah. Aku gaada biaya untuk pengobatan bunda.”

“Apa urusannya sama gue? Udah sana pergi! Ganggu aja!”

“Ayah, aku mohon..”

“Emangnya uang sewaan lu kurang?” Ucap Hendri dengan senyuman merendahkan anaknya itu.

“AKU BUKAN CEWE KAYA GITU YAH!!”

“YA TERUS?! JANGAN PERNAH PANGGIL GUE DENGAN SEBUTAN AYAH!”

“Asal lo tau, lo bukan anak kandung gue.”

“Bunda lo itu dulunya pekerjaan malam, dan gaada yang tau ayah lo yang sebenarnya siapa.” Ucap Hendri sebelum akhirnya meninggalkan Alia seorang diri.

Rasanya ia ingin mati saja mendengar ucapan dari Hendri. Ia benar-benar membenci lelaki saat ini.

Ditengah gelapnya malam dan hujan yang turun, ia menangis sejadi-jadinya.

“GUA GAAKAN MENIKAH! GUA BENCI SEMUA LAKI-LAKI! PERSETAN SAMA UCAPAN ORANG-ORANG SEMUA LAKI-LAKI SAMA AJA!!” Ia menjerit ditengah derasnya hujan yang seakan mengerti keadaannya malam itu.

“Assalamualaikum, moon?” Ucap Bintang saat memasuki rumah Alia.

“Waalaikumsalam, gue disini.” Jawab Alia yang terduduk di samping tempat tidur sang ibu.

“Bunda sakit apa moon?”

“Gatau star, tadi bunda mimisan dan gue gatau harus apa sekarang.”

“Bawa ke rumah sakit sekarang. Ayo moon, gue telfon ambulans ya.”

“Tapi gue gaada duit buat biaya rumah sakit.”

“Gausah pikirin itu, ada gue, mama sama papa.”

Alia segera memeluk sahabatnya itu, entah apa yang akan terjadi bila tak ada bintang saat itu.

“Makasih banyak ya star, gue berhutang sama lo.”

“Ngga, gaada. Pokonya bunda harus sembuh. Gausah pikirin soal biaya ya.”

“Makasih ya.”


Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dokter yang menangani bunda Alia menghampiri kedua gadis yang terduduk cemas di kursi tunggu rumah sakit itu.

“Dokter, gimana keadaan bunda saya?”

” Bunda kamu menderita leukimia, dan tidak pernah menjalani pengobatan sebelumnya, dan kemungkinan untuk sembuh adalah 40%. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mendengar ucapan dokter, Alia seketika terduduk lemas mengetahui bundanya terkena penyakit mematikan.

“Star Bunda gue star...” Tangisannya pecah dipelukan bintang.

“Sabar moon, kita berdoa aja supaya bunda sembuh ya.” Bintang pun tak kuasa melihat sahabatnya itu ikut menangis.

“Gue gatau harus gimana sekarang...”

“Ada gue moon, jangan takut ya...” Ucap bintang yang mencoba menguatkan sahabatnya.

“Star, makan dulu ya. Lu belum makan dari tadi.” Ucap Bintang. Namun Alia hanya menggelengkan kepalanya, ia benar-benar lemas dan tak berselera untuk makan.

“Star, gue titip bunda bentar boleh?” Ucap Alia.

“Mau kemana lu?” Tanya Bintang.

“Ke tempat ayah.” Kalimat itu membuat Bintang sedikit terkejut.

“Jangan bercanda deh.”

“Gue ga bercanda. Titip bunda ya, star.”

“Hati-hati ya moon.” Ucap Bintang.

” Hati-hati, moon.” Batin Bintang.


Alia berjalan menuju sebuah tempat dimana ayahnya berada, club malam. Ia sedikit was-was saat memasuki tempat yang dipenuhi oleh orang-orang dewasa itu. Bahkan aroma alkohol menyeruak menusuk penciumannya.

Saat mendapati keberadaan sang ayah, ia segera menarik tangannya.

“Ayah, aku mau ngomong sebentar.”

“Apa apaan kamu!! Pergi!” Ucap Hendri dan menepis tangan Alia.

“Ayah, bunda masuk rumah sakit. Bunda sakit parah Yah. Aku gaada biaya untuk pengobatan bunda.”

“Apa urusannya sama gue? Udah sana pergi! Ganggu aja!”

“Ayah, aku mohon..”

“Emangnya uang sewaan lu kurang?” Ucap Hendri dengan senyuman merendahkan anaknya itu.

“AKU BUKAN CEWE KAYA GITU YAH!!”

“YA TERUS?! JANGAN PERNAH PANGGIL GUE DENGAN SEBUTAN AYAH!”

“Asal lo tau, lo bukan anak kandung gue.”

“Bunda lo itu dulunya pekerjaan malam, dan gaada yang tau ayah lo yang sebenarnya siapa.” Ucap Hendri sebelum akhirnya meninggalkan Alia seorang diri.

Rasanya ia ingin mati saja mendengar ucapan dari Hendri. Ia benar-benar membenci lelaki saat ini.

Ditengah gelapnya malam dan hujan yang turun, ia menangis sejadi-jadinya.

“GUA GAAKAN MENIKAH! GUA BENCI SEMUA LAKI-LAKI! PERSETAN SAMA UCAPAN ORANG-ORANG SEMUA LAKI-LAKI SAMA AJA!!” Ia menjerit ditengah derasnya hujan yang seakan mengerti keadaannya malam itu.

“Assalamualaikum, moon?” Ucap Bintang saat memasuki rumah Alia.

“Waalaikumsalam, gue disini.” Jawab Alia yang terduduk di samping tempat tidur sang ibu.

“Bunda sakit apa moon?”

“Gatau star, tadi bunda mimisan dan gue gatau harus apa sekarang.”

“Bawa ke rumah sakit sekarang. Ayo moon, gue telfon ambulans ya.”

“Tapi gue gaada duit buat biaya rumah sakit.”

“Gausah pikirin itu, ada gue, mama sama papa.”

Alia segera memeluk sahabatnya itu, entah apa yang akan terjadi bila tak ada bintang saat itu.

“Makasih banyak ya star, gue berhutang sama lo.”

“Ngga, gaada. Pokonya bunda harus sembuh. Gausah pikirin soal biaya ya.”

“Makasih ya.”


Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dokter yang menangani bunda Alia menghampiri kedua gadis yang terduduk cemas di kursi tunggu rumah sakit itu.

“Dokter, gimana keadaan bunda saya?”

” Bunda kamu menderita leukimia, dan tidak pernah menjalani pengobatan sebelumnya, dan kemungkinan untuk sembuh adalah 40%. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mendengar ucapan dokter, Alia seketika terduduk lemas mengetahui bundanya terkena penyakit mematikan.

“Star Bunda gue star...” Tangisannya pecah dipelukan bintang.

“Sabar moon, kita berdoa aja supaya bunda sembuh ya.” Bintang pun tak kuasa melihat sahabatnya itu ikut menangis.

“Gue gatau harus gimana sekarang...”

“Ada gue moon, jangan takut ya...” Ucap bintang yang mencoba menguatkan sahabatnya.

“Star, makan dulu ya. Lu belum makan dari tadi.” Ucap Bintang. Namun Alia hanya menggelengkan kepalanya, ia benar-benar lemas dan tak berselera untuk makan.

“Star, gue titip bunda bentar boleh?” Ucap Alia.

“Mau kemana lu?” Tanya Bintang.

“Ke tempat ayah.” Kalimat itu membuat Bintang sedikit terkejut.

“Jangan bercanda deh.”

“Gue ga bercanda. Titip bunda ya, star.”

“Hati-hati ya moon.” Ucap Bintang.

” Hati-hati, moon.” Batin Bintang.


Alia berjalan menuju sebuah tempat dimana ayahnya berada, club malam. Ia sedikit was-was saat memasuki tempat yang dipenuhi oleh orang-orang dewasa itu. Bahkan aroma alkohol menyeruak menusuk penciumannya.

Saat mendapati keberadaan sang ayah, ia segera menarik tangannya.

“Ayah, aku mau ngomong sebentar.”

“Apa apaan kamu!! Pergi!” Ucap Hendri dan menepis tangan Alia.

“Ayah, bunda masuk rumah sakit. Bunda sakit parah Yah. Aku gaada biaya untuk pengobatan bunda.”

“Apa urusannya sama gue? Udah sana pergi! Ganggu aja!”

“Ayah, aku mohon..”

“Emangnya uang sewaan lu kurang?” Ucap Hendri dengan senyuman merendahkan anaknya itu.

“AKU BUKAN CEWE KAYA GITU YAH!!”

“YA TERUS?! JANGAN PERNAH PANGGIL GUE DENGAN SEBUTAN AYAH!”

“Asal lo tau, lo bukan anak kandung gue.”

“Bunda lo itu dulunya pekerjaan malam, dan gaada yang tau ayah lo yang sebenarnya siapa.” Ucap Hendri sebelum akhirnya meninggalkan Alia seorang diri.

Rasanya ia ingin mati saja mendengar ucapan dari Hendri. Ia benar-benar membenci lelaki saat ini.

Ditengah gelapnya malam dan hujan yang turun, ia menangis sejadi-jadinya.

“GUA GAAKAN MENIKAH! GUA BENCI SEMUA LAKI-LAKI! PERSETAN SAMA UCAPAN ORANG-ORANG SEMUA LAKI-LAKI SAMA AJA!!” Ia menjerit ditengah derasnya hujan yang seakan mengerti keadaannya malam itu.

Di siang hari yang terik, Alia berjalan seorang diri mencari pekerjaan yang kiranya dapat menambah penghasilannya dan bisa meringankan beban sang ibu.

Setelah lelah berjalan, ia memilih duduk di sebuah kursi didepan pondok pesantren yang cukup besar dan terkenal.

” Gue coba daftar kerja disini aja kali ya?” Batinnya.

“Coba aja deh.”

Ia berjalan memasuki halaman pesantren itu, dan sukses mendapat banyak perhatian dari para santri disana.

“Mohon maaf mba, ada keperluan apa ya?” Ucap seorang satpam disana.

“Jangan panggil saya mba, om. Saya masih SMA.” Jawab Alia.

“Yaudah, ada keperluan apa dek?” Ucap satpam itu.

“Saya mau daftar kerja disini. Jadi apa aja deh om yang penting halal.”

“Ini pesantren, udah pasti halal. Saya jamin.”

“Kalau mau daftar disini, bisa ketemu sama ustadzah Aisyah selaku istri dari ustadz Hafiz. Pemilik pondok pesantren ini.” Ucap satpam tersebut.

” Saya bisa ketemu?” Tanya Alia.

“Sini saya antarkan.”

” Anjay, makasi ya om.”

” Anjay itu apa?” Tanya satpam itu.

” Anjay tuh kaya Daebak!!” Ucap Alia.

“Daebak? Opo iku?”

“Ah pokoknya bahasa gaul.”

“Lain kali ajarin saya lagi ya.”

“Siap om. Nama saya Alia Humairah.”

“Bagus namamu, ayu.”

“Makasih om.”


“Assalamualaikum ustadzah, ini ada yang mau mendaftar bekerja disini.” Ucap satpam yang mengantarkan Alia.

“Waalaikumsalam, siapa pak?” Tanya seorang wanita yang dikatakan oleh satpam tadi.

” Namanya Alia, ustadzah.”

“Suruh masuk saja ya pak.”

” Nggih ustadzah, saya permisi dulu kalau begitu.”

“Mba Alia, masuk aja ketemu ustadzah Aisyah.”

“Makasih ya om.”

“Sip..”

“Nak Alia ya?”

“Iya ustadzah.”

“Saya boleh tau alasan kamu ingin bekerja disini? Saya lihat-lihat kamu sepertinya masih sekolah. Sekarang, ngga sekolah?”

“Iya, saya masih sekolah. Saya lagi izin hari ini karena satu alasan. Saya harus nyari kerjaan biar beban bunda saya bisa sedikit berkurang, ustadzah.”

“Masya Allah...Semoga Allah selalu melindungi kamu ya nak.”

“Aamiin, terima kasih ustadzah.”

“Kamu bisa bekerja disini jika tidak menggangu sekolah kamu.”

“Saya akan bekerja sepulang dari sekolah. Gapapa?”

“Iya, yang penting sekolah kamu jangan sampai putus ya nak ya.”

“Makasih banyak ustadzah, mudah-mudahan rejekinya dimudahkan.”

“Aamiin.”

“Saya permisi dulu kalau begitu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”