Menunggu
Malam ini, adalah malam yang ditunggu-tunggu oleh Harriz, bagaimana tidak, malam ini ia akan bertemu dengan gadis cantik yang berada dalam mimpinya itu setelah penantian panjang yang diiringi dengan perbincangan indah kepada sang Maha cinta.
“Assalamualaikum...” Ucap ustadz Hafiz sambil mengetuk pintu rumah Alia.
Tak lama kemudian, gadis cantik dengan kulit putih dan pipi kemerahan muncul dibalik pintu rumahnya. Alia Humairah terlihat anggun dengan gamis biru dongker dan pasmina hitam yang menutupi rambutnya.
“Waalaikumsalam.” Jawabnya setelah membuka pintu rumahnya.
Harriz yang melihat gadis itu langsung menundukkan kepalanya.
” Ya Allah, indah sekali makhluk-Mu ini.” Batinnya.
Begitu juga dengan Alia yang terkagum-kagum melihat pria dengan kemeja hitam di hadapannya itu.
“Ya Allah, ganteng banget ternyata aslinya. Kalo gini sih gue juga mau, tapi harus jual mahal dulu dong.” Batinnya.
“Silahkan masuk ustadz, umi, kak Harriz.” Ucap gadis itu mempersilahkan keluarga ustadz Hafiz untuk masuk kedalam rumahnya yang sederhana.
“Silahkan duduk, saya panggilkan bunda dulu.”
“Bunda, keluarga ustadz Hafiz udah sampai.” Ucap Alia.
“Ini Alia anak bunda?”
“Ya siapa lagi bun, ini Alia.”
“Cantiknya ya Allah...”
“Jangan gitu Bun, jadi malu.”
“Emang cantik, kamu kalau pakai hijab gini anggun banget.”
“Alia usahakan ya Bun.”
“Bunda bangga sama kamu. Ayo kita keluar.”
“Yuk...”
“Assalamualaikum ustadz, ustadz, nak Harriz. Ya Allah ga nyangka saya bisa bertemu langsung dengan keluarga ustadz, biasanya cuma lihat dari jauh saat kajian.” Ucap bunda Alia.
“Alhamdulillah Bu, ini adalah takdir Allah sudah mempertemukan keluarga kita malam ini.”
Setelah berbincang cukup lama, akhirnya ustadz Hafiz menyampaikan tujuannya datang ke rumah Alia malam itu.
“Jadi begini Bu Yasmin, selain bersilaturahmi, kami datang kesini juga ingin melamar nak Alia untuk menjadi istri Harriz.” Ucapan ustadz Hafiz sukses membuat kedua wanita itu terkejut.
“Melamar? Alia?” Tanya Alia yang masih shock.
“Iya nak, bagaimana?”
“Tapi Alia masih SMA umi, Alia juga masih mau melanjutkan pendidikan Alia ke jenjang yang lebih tinggi. Alia mau jadi dokter dulu.”
“Kalau saya terserah Alia aja ustadz, ustadzah. Saya sih setuju saja.”
“Kalau Alia belum siap, saya akan menunggu sampai Alia siap menerima saya.” Timpal Harriz.
” Ya Allah, suaranya aja ganteng. Ini mah persis kaya yang dimimpi gue.” Batin Alia.
“Apa itu tidak memberatkan kak Harriz?”
“Sampai kapanpun saya akan menunggu kamu, sampai benar-benar siap.”
“Alia akan mempertimbangkan keputusan Alia dulu.”
Harriz yang mendengarnya hanya tersenyum lalu menundukkan kepalanya. Entahlah semua yang berhubungan dengan Alia benar-benar membuatnya merasa bahagia.