biruu

“Where’s my phone?” Seorang gadis bergumam saat ia tak mendapati dompet didalam tasnya.

“Ya ketinggalan lah.” Timpal lelaki di sebelahnya, yang tak lain adalah kekasihnya sendiri.

“Ck! Yaudah tunggu bentar, aku ambil di kamar kayanya.”

“Buruan ntar filmnya mulai duluan, kamu ntar ngomel gabisa shopping duluan.”

“Gue kok belakangan ini pikunan ya...” Ia terus saja bergumam, hingga saat ia membuka pintu rumahnya.

“Bangsat!” Ucapnya dalam hati.

“ALIA!!” Teriak Fanya saat melihat apa yang terjadi di hadapannya.

Kenapa papahnya berlutut dihadapan Alia yang jelas-jelas adalah rivalnya sejak SMA? Perasaan Fanya campur aduk antara marah dan sedih, ada apa sebenarnya antara papahnya dan Alia?

“OH JADI INI YA KERJAAN LO ITU?! LO JADI SIMPENAN PAPA GUE SELAMA INI?! GA TAU MALU LO JADI CEWE!” Fanya yang hendak menampar Alia dihentikan oleh Fadli.

“Fanya! Jangan sekali kali kamu menyentuh anak saya.” Tegas Fadli.

Anak? Semoga yang ada di dalam pikirannya itu salah.

“Anak? Pah, anak papa tuh Fanya bukan Alia!”

“Papah! Jawab!”

“Alia…Anak papa.” Jawab Fadli. Damn, hancur sudah. Ia berharap apa yang dikatakan oleh papanya adalah sebuah kebohongan yang tak mau ia ketahui kebenarannya, tak akan pernah.

Rasa bencinya semakin menjadi-jadi saat ia mendengar jawaban yang seharusnya tak pernah ia dengar. Jadi Alia adalah saudara tirinya?

“ARGHH BOONG! PAPA BOONG!! PERGI LO!” Fanya mendorong Alia hingga ia terjatuh dan mengusirnya dari rumah itu.

“FANYA!” Bentak Fadli.

“PERGI ALIA! PERGI!!” Fanya tak dapat mengendalikan amarahnya, hingga tak sadar lutut Alia terluka akibat dorongan Fanya yang cukup kuat.

Saat Alia sudah tak terlihat di hadapannya, ia segera kembali ke dalam rumahnya untuk mrminta penjelasan tentang apa yang terjadi.

“PAH JELASIN SEMUANYA!” “Anak kandung papa yang sebenarnya adalah Alia.”

Gadis itu tersenyum miring menanggapi jawaban yang dilontarkan oleh pria dihadapannya itu.

“Jadi ternyata ini alasan papa selalu bersikap kasar sama Fanya? KENAPA PAH? KENAPA?!”

Fadli tak menanggapi gadis itu dan meninggalkannya sendiri.

“Pah, sampai kapanpun Fanya gaakan menerima Alia!” Umpat gadis itu.

“Gue benci lo Alia!” Batinnya.

“Sayang kok lama banget sih?” Tanya kekasihnya saat ia sudah kembali.

“Aku mau balas dendam.”

“Hah? Hahaha ngaco banget, mau balas dendam sama siapa?”

“Alia Humairah.” Jawabnya dengan tatapan tajam.

“Alia? Alia temen seangkatan kamu itu kan? Kmau ada masalah apa sama dia?”

“Dia udah merebut papa dari aku.”

“Kamu kenapa sih? Kayanya hari ini ngaco banget sumpah.”

“Aku serius!”

“Oke oke, aku harus ngapain?”

“Let me tell you the plan.”

“Easy babe.”


“Pemakaman? Ngapain kesini?” Tanya kekasihnya itu.

“Itu Alia! Liat ga sih?”

“Liat, itu makam siapa?”

“Bundanya.”

“What? Bundanya?”

“Iya, udah ada sebulan kali.”

“Oh my gosh, idk. poor girl.”

“Heh! Fokus dong! Mana ujan juga.”

“Eh eh dia pingsan.”

“Buruan bawa ke mobil!”

Setelah penuh perjuangan, mereka membawa Alia menuju rumah yang terlihat sangat mewah. Ya, itu adalah rumah Gabriel Abimana yang tak lain merupakan kekasih dari Fanya.

“Kita bawa ke gudang aja yang.”

“Iya sabar.”

“Iket. Aku mau ngambil lemon juice dulu untuk tamu kita nanti.”

“Oke.”

“Alia, i'm sorry but i should do this.”

“Kak Harriz...” Lirih gadis itu.

“Who's Harriz?”

“GABRIEL?!” Alia terkejut saat melihat Gabriel yang berada dan dihadapannya namun kepalanya masih terasa pusing. Dan apa ini? Badannya terasa sulit untuk bergerak.

“Lo bawa gue kemana!”

“Rumah gue.” Jawab pria itu dengan santainya.

“Lepasin ga?!”

“Not that easy girl.”

“Nih, password nya apaan!” Ujarnya saat menyodorkan ponsel itu pada pemiliknya.

“Mau ngapain lo?!”

“Kasi tau gue password-nya atau Harriz yang lo sebut itu akan celaka.”

“Anjing.”

“Buruan!”

“Dunia sementara akhirat selamanya.” Ketus Alia.

“Bwhahahahaha password lo masih sama ternyata.” Pria itu tertawa saat mengetahui password ponsel Alia yang ternyata masih sama saat pertama kali mereka pacaran dulu.

“Itu disuruh bunda gue ya!!”

“Iya tau.”

“Mana kontak Harriz disini...Nah ini dia.” Pria itu bermonolog dengan dirinya sendiri saat sedang mencari kontak Harriz di ponsel Alia.

“Oke sip. Selesai, tinggal nunggu aja. Gue pengen lihat seganteng apa sih Harriz itu.”

“Jauh lebih ganteng daripada lo!”

“Masa sih babe.”

“Nih lo ngomong! Orangnya udah didepan. Bilang di ruangan lantai dua sebelah kiri.” Perintah Gabriel.

“Aaaa!!!” Alia menjerit saat Gabriel mematikan lampu ruangan itu sehingga yang Alia lihat hanyalah kegelapan. Dan ia phobia terhadap kegelapan sehingga membuat keringat dingin mengucur tubuhnya.

“Kak tolongin Alia...”

“Kakak masuk aja, ada ruangan di lantai dua sebelah kiri. Tolong kak, disini gelap banget Alia takut...”

Lalu setelah itu Gabriel meninggalkan Alia dan bersembunyi dibalik tirai pada ruangan itu sampai Harriz masuk kedalam.

Dan benar saja, tak lama kemudian Harriz datang dan membuat Gabriel segera menyalakan lampu ruangan itu.

“Bener kata Alia, he's so handsome. More than me.” Batinnya.

“Assalamualaikum, umi.”

“Waalaikumsalam nak, kenapa?”

“Alia ngga ada kabar hari ini, bahkan temannya nanya ke Harriz katanya pesannya ngga dibalas Alia. Harriz cari ke rumahnya, di kafe dekat rumahnya, ke makam bundanya ngga ada. Bahkan hari ini jadwal kuliahnya ngga ada. Harriz khawatir umi…”

“Sabar dulu nak, kita cari Alia sama-sama.”

“Bagaimana Harriz bisa sabar umi, Alia ngga ada kabar seperti ini.”

“Istigfar nak…Ya Allah kita cari sama-sama.”

Harriz merasa gelisah, ia belum menemukan keberadaan Alia sampai saat ini. Sehingga malam itu ia memutuskan untuk pergi ke masjid yang berada di dekat rumah Alia. Dalam sujudnya ia menangis dan berdoa dengan ikhlas untuk gadis yang ia cintai itu.

“Ya Allah, tolong beri petunjuk dimana keberadaan humairahku…”

Setelah selesai shalat dan berdoa, ponselnya berbunyi dan menampakkan notifikasi pesan. Terdapat nama Alia disana, hatinya tak berhenti mengucap syukur saat itu.

WhatsApp

Kak tolongh jemput Alia… [send location]

Tanpa basa-basi, ia segera melajukan mobilnya menuju lokasi yang Alia kirimkan. Aneh, kenapa gadis itu bepergian jauh? Tak biasanya. Tak sampai beberapa menit, mobil Harriz berhenti di depan rumah yang sangat besar, ada tujuan apa Alia di rumah sebesar ini?

“Assalamualaikum…”

Tak mendapat jawaban dari dalam, ponselnya kembali berbunyi dan terlihat Alia yang menelponnya.

“Kak tolongin Alia…” Gadis itu menangis namun berusaha berbicara dengan suara yang kecil.

“Kamu dimana Alia.”

“Kakak masuk aja, ada ruangan di lantai dua sebelah kiri. Tolong kak, disini gelap banget Alia takut…”

“Iya iya sabar ya…”

Harriz mencoba menenangkan Alia, dan dengan cepat memasuki rumah itu mencari ruangan yang dimaksud oleh Alia. Saat ia memasuki ruangan itu, benar saja, sangat gelap. Dan tiba-tiba lampu menyala, Ia terkejut melihat Alia yang terikat pada sebuah kursi dan matanya sangat sembab.

“Kak tolong…”

Belum sempat Harriz melepaskan tali pengikat Alia, ia mendengar suara tepuk tangan seseorang “Wow wow, jadi ini calon suami lo itu, doobie?”

“Siapa kamu?”

“Gue? Gue pacar Alia.”

“Bohong! Dia bukan pacar Alia kak!”

“Jangan gitu dong sayang, kamu lupa kita udah ngapain hmmm?” Pria itu mencoba mengelus pipi Alia namun segera ditepis oleh Harriz.

“Jangan pernah menyentuh wanita saya.”

“Nyentuh ya? Kalo sekedar nyentuh sih udah biasa ya doobie. We’ve done more.” Ucap pria itu dengan senyum seringai.

Harriz tak menanggapi pria itu, dan segera melepas ikatan Alia pada kursi.

“Hey, jangan buru-buru dong, iya kan sayang?” Satu lagi, seorang gadis muncul dengan membawa nampan yang berisi beberapa gelas jus lemon, lalu mengunci pintu ruangan itu.

“Minum dulu yuk, saudaraku…” Gadis itu tersenyum miring saat mengucap kata ‘saudara’.

Saat hendak memberi Alia minum, gelas itu dilempar oleh Harriz, sehingga membuat pria yang satu lagi hendak memukul kepala Harriz dengan tongkat besi. Namun belum tongkat itu menyentuh Harriz, pintu ruangan itu rubuh akibat didobrak oleh beberapa orang polisi.

“Angkat tangan kalian!”

“WHAT THE HELL IS GOING ON?!”

“ALIA!!” Jerit ustadzah Aisyah saat melihat kondisi calon menantunya itu.

Untung saja Harriz segera mengirimkan lokasi itu pada Abi nya agar segera menyusul ke tempat itu dan membawa beberapa orang polisi yang ternyata merupakan rumah Gabriel Abimana, kekasih dari Fanya.


“Alia, sebenarnya apa yang terjadi nak?” Tanya ustadzah Aisyah saat ia berada di rumah Alia setelah kejadian tadi.

Sekuat tenaga gadis itu menahan air matanya, namun tak bisa saat ia kembali mengingat kejadian yang ia alami hari ini.

“Kalu belum bisa cerita gapapa, kamu istirahat saja. Biar kak Amira yang menemani kamu malam ini.” Ucap Harriz dengan lembut.

“Udah kak, gapapa. Biar Alia cerita semuanya.” Alia mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya ia menceritakan semuanya.

“Alia udah ketemu sama ayah, kemarin. Saat itu Alia benar-benar shock dan gatau harus ngapain, jadi Alia pergi ke makam bunda dan tanpa aku sadari ternyata ada dua orang yang mengintai dari jauh. Mantan pacar dan saudara tiri ku, mereka bekerja sama untuk mencelakai Alia. Kemarin hujan deras dan dengan bodohnya Alia tetap berada di makam bunda sampai kepala Alia pusing dan ngga sadar udah ada di ruangan yang Alia ngga tau itu ada dimana.”

“Maaf kak, umi, Alia jadi merepotkan kalian…” Lirih gadis itu.

“Ya Allah nak…” Ustadzah Aisyah segera memeluk gadis itu dan menenangkannya.

“Maafkan umi ya, umi jarang memperhatikan kamu…”

“Ngga umi, Alia yang salah, Alia ga bisa menjaga diri.” Ucap Alia.

“Tadi kamu bilang sudah menemukan ayah kamu?”

“Iya, ternyata selama ini ayah ada di dekat Alia. Dan yang yang aku bilang beberapa hari lalu tentang temen aku yang ngga diakui oleh ayahnya ternyata dia adalah saudara tiri Alia.”

“Temui ayahmu nak, mungkin ada alasan kenapa dia melakukan semua ini.”

“Alia usahakan, umi.”

“Alia!!”

“Ayah?!”

Ya, Fadli datang ke rumah Alia. Ia memilih untuk bertemu dengan anak kandungnya itu daripada pergi ke kantor polisi dimana Fanya berada.

“Kamu ngga apa-apa nak? Fanya apain kamu? Bilang sama ayah nak.” Ucap Fadli lalu memeluk buah hatinya itu.

Alia tak mampu lagi menahan air matanya, jadi begini rasanya dipeluk oleh ayah?

“Maafkan ayah ya nak...”

“Alia juga minta maaf, ayah.” Lirih Alia lalu memeluk ayahnya itu dengan erat seolah tak ingin kehilangan sosok ayah lagi.

“Assalamualaikum, umi.”

“Waalaikumsalam nak, kenapa?”

“Alia ngga ada kabar hari ini, bahkan temannya nanya ke Harriz katanya pesannya ngga dibalas Alia. Harriz cari ke rumahnya, di kafe dekat rumahnya, ke makam bundanya ngga ada. Bahkan hari ini jadwal kuliahnya ngga ada. Harriz khawatir umi…”

“Sabar dulu nak, kita cari Alia sama-sama.”

“Bagaimana Harriz bisa sabar umi, Alia ngga ada kabar seperti ini.”

“Istigfar nak…Ya Allah kita cari sama-sama.”

Harriz merasa gelisah, ia belum menemukan keberadaan Alia sampai saat ini. Sehingga malam itu ia memutuskan untuk pergi ke masjid yang berada di dekat rumah Alia. Dalam sujudnya ia menangis dan berdoa dengan ikhlas untuk gadis yang ia cintai itu.

“Ya Allah, tolong beri petunjuk dimana keberadaan humairahku…”

Setelah selesai shalat dan berdoa, ponselnya berbunyi dan menampakkan notifikasi pesan. Terdapat nama Alia disana, hatinya tak berhenti mengucap syukur saat itu.

WhatsApp

Kak tolongh jemput Alia… [send location]

Tanpa basa-basi, ia segera melajukan mobilnya menuju lokasi yang Alia kirimkan. Aneh, kenapa gadis itu bepergian jauh? Tak biasanya. Tak sampai beberapa menit, mobil Harriz berhenti di depan rumah yang sangat besar, ada tujuan apa Alia di rumah sebesar ini?

“Assalamualaikum…”

Tak mendapat jawaban dari dalam, ponselnya kembali berbunyi dan terlihat Alia yang menelponnya.

“Kak tolongin Alia…” Gadis itu menangis namun berusaha berbicara dengan suara yang kecil.

“Kamu dimana Alia.”

“Kakak masuk aja, ada ruangan di lantai dua sebelah kiri. Tolong kak, disini gelap banget Alia takut…”

“Iya iya sabar ya…”

Harriz mencoba menenangkan Alia, dan dengan cepat memasuki rumah itu mencari ruangan yang dimaksud oleh Alia. Saat ia memasuki ruangan itu, benar saja, sangat gelap. Dan tiba-tiba lampu menyala, Ia terkejut melihat Alia yang terikat pada sebuah kursi dan matanya sangat sembab.

“Kak tolong…”

Belum sempat Harriz melepaskan tali pengikat Alia, ia mendengar suara tepuk tangan seseorang “Wow wow, jadi ini calon suami lo itu, doobie?”

“Siapa kamu?”

“Gue? Gue pacar Alia.”

“Bohong! Dia bukan pacar Alia kak!”

“Jangan gitu dong sayang, kamu lupa kita udah ngapain hmmm?” Pria itu mencoba mengelus pipi Alia namun segera ditepis oleh Harriz.

“Jangan pernah menyentuh wanita saya.”

“Nyentuh ya? Kalo sekedar nyentuh sih udah biasa ya doobie. We’ve done more.”

Harriz tak menanggapi pria itu, dan segera melepas ikatan Alia pada kursi itu.

“Hey, jangan buru-buru dong, iya kan sayang?” Satu lagi, seorang gadis muncul dengan membawa nampan yang berisi beberapa gelas lemon juice, lalu mengunci pintu ruangan itu.

“Minum dulu yuk, saudaraku…” Gadis itu tersenyum miring saat mengucap kata ‘saudara’.

Saat hendak memberi Alia minum, gelas itu dilempar oleh Harriz, sehingga membuat pria yang satu lagi hendak memukul kepala Harriz dengan tongkat besi. Namun belum tongkat itu menyentuh Harriz, pintu ruangan itu rubuh akibat didobrak oleh beberapa orang polisi.

“Angkat tangan kalian!”

“WHAT THE HELL IS GOING ON?!”

“ALIA!!” Jerit ustadzah Aisyah saat melihat kondisi calon menantunya itu.

Untung saja Harriz segera mengirimkan lokasi itu pada Abi nya agar segera menyusul ke tempat itu dan membawa beberapa orang polisi yang ternyata merupakan rumah Gabriel Abimana, kekasih dari Fanya.


“Alia, sebenarnya apa yang terjadi nak?” Tanya ustadzah Aisyah saat ia berada di rumah Alia setelah kejadian tadi.

Sekuat tenaga gadis itu menahan air matanya, namun tak bisa saat ia kembali mengingat kejadian yang ia alami hari ini.

“Kalu belum bisa cerita gapapa, kamu istirahat saja. Biar kak Amira yang menemani kamu malam ini.” Ucap Harriz dengan lembut.

“Udah kak, gapapa. Biar Alia cerita semuanya.” Alia mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya ia menceritakan semuanya.

“Alia udah ketemu sama ayah, kemarin. Saat itu Alia benar-benar shock dan gatau harus ngapain, jadi Alia pergi ke makam bunda dan tanpa aku sadari ternyata ada dua orang yang mengintai dari jauh. Mantan pacar dan saudara tiri ku, mereka bekerja sama untuk mencelakai Alia. Kemarin hujan deras dan dengan bodohnya Alia tetap berada di makam bunda sampai kepala Alia pusing dan ngga sadar udah ada di ruangan yang Alia ngga tau itu ada dimana.”

“Maaf kak, umi, Alia jadi merepotkan kalian…” Lirih gadis itu.

“Ya Allah nak…” Ustadzah Aisyah segera memeluk gadis itu dan menenangkannya.

“Maafkan umi ya, umi jarang memperhatikan kamu…”

“Ngga umi, Alia yang salah, Alia ga bisa menjaga diri.” Ucap Alia.

“Tadi kamu bilang sudah menemukan ayah kamu?”

“Iya, ternyata selama ini ayah ada di dekat Alia. Dan yang yang aku bilang beberapa hari lalu tentang temen aku yang ngga diakui oleh ayahnya ternyata dia adalah saudara tiri Alia.”

“Temui ayahmu nak, mungkin ada alasan kenapa dia melakukan semua ini.”

“Alia usahakan, umi.”

“Assalamualaikum, umi.”

“Waalaikumsalam nak, kenapa?”

“Alia ngga ada kabar hari ini, bahkan temannya nanya ke Harriz katanya pesannya ngga dibalas Alia. Harriz cari ke rumahnya, di kafe dekat rumahnya, ke makam bundanya ngga ada. Bahkan hari ini jadwal kuliahnya ngga ada. Harriz khawatir umi…”

“Sabar dulu nak, kita cari Alia sama-sama.”

“Bagaimana Harriz bisa sabar umi, Alia ngga ada kabar seperti ini.”

“Istigfar nak…Ya Allah kita cari sama-sama.”

Harriz merasa gelisah, ia belum menemukan keberadaan Alia sampai saat ini. Sehingga malam itu ia memutuskan untuk pergi ke masjid yang berada di dekat rumah Alia. Dalam sujudnya ia menangis dan berdoa dengan ikhlas untuk gadis yang ia cintai itu.

“Ya Allah, tolong beri petunjuk dimana keberadaan humairahku…”

Setelah selesai shalat dan berdoa, ponselnya berbunyi dan menampakkan notifikasi pesan. Terdapat nama Alia disana, hatinya tak berhenti mengucap syukur saat itu.

WhatsApp

Kak tolongh jemput Alia… [send location]

Tanpa basa-basi, ia segera melajukan mobilnya menuju lokasi yang Alia kirimkan. Aneh, kenapa gadis itu bepergian jauh? Tak biasanya. Tak sampai beberapa menit, mobil Harriz berhenti di depan rumah yang sangat besar, ada tujuan apa Alia di rumah sebesar ini?

“Assalamualaikum…”

Tak mendapat jawaban dari dalam, ponselnya kembali berbunyi dan terlihat Alia yang menelponnya.

“Kak tolongin Alia…” Gadis itu menangis namun berusaha berbicara dengan suara yang kecil.

“Kamu dimana Alia.”

“Kakak masuk aja, ada ruangan di lantai dua sebelah kiri. Tolong kak, disini gelap banget Alia takut…”

“Iya iya sabar ya…”

Harriz mencoba menenangkan Alia, dan dengan cepat memasuki rumah itu dan mencari ruangan yang dimaksud oleh Alia. Saat ia memasuki ruangan itu, benar saja, sangat gelap. Dan tiba-tiba lampu menyala, Ia terkejut melihat Alia yang terikat pada sebuah kursi dan matanya sangat sembab.

“Kak tolong…”

Belum sempat Harriz melepaskan tali pengikat Alia, ia mendengar suara tepuk tangan seseorang “Wow wow, jadi ini calon suami lo itu, doobie?”

“Siapa kamu?”

“Gue? Gue pacar Alia.”

“Bohong! Dia bukan pacar Alia kak!”

“Jangan gitu dong sayang, kamu lupa kita udah ngapain hmmm?” Pria itu mencoba mengelus pipi Alia namun segera ditepis oleh Harriz.

“Jangan pernah menyentuh wanita saya.”

“Nyentuh ya? Kalo sekedar nyentuh sih udah biasa ya doobie. We’ve done more.”

Harriz tak menanggapi pria itu, dan segera melepas ikatan Alia pada kursi itu.

“Hey, jangan buru-buru dong, iya kan sayang?” Satu lagi, seorang gadis muncul dengan membawa nampan yang berisi beberapa gelas lemon juice, lalu mengunci pintu ruangan itu.

“Minum dulu yuk, saudaraku…” Gadis itu tersenyum miring saat mengucap kata ‘saudara’.

Saat hendak memberi Alia minum, gelas itu dilempar oleh Harriz, sehingga membuat pria yang satu lagi hendak memukul kepala Harriz dengan tongkat besi. Namun belum tongkat itu menyentuh Harriz, pintu ruangan itu rubuh akibat didobrak oleh beberapa orang polisi.

“Angkat tangan kalian!”

“WHAT THE HELL IS GOING ON?!”

“ALIA!!” Jerit ustadzah Aisyah saat melihat kondisi calon menantunya itu.

Untung saja Harriz segera mengirimkan lokasi itu pada Abi nya agar segera menyusul ke tempat itu dan membawa beberapa orang polisi yang ternyata merupakan rumah Gabriel Abimana, kekasih dari Fanya.


“Alia, sebenarnya apa yang terjadi nak?” Tanya ustadzah Aisyah saat ia berada di rumah Alia setelah kejadian tadi.

Sekuat tenaga gadis itu menahan air matanya, namun tak bisa saat ia kembali mengingat kejadian yang ia alami hari ini.

“Kalu belum bisa cerita gapapa, kamu istirahat saja. Biar kak Amira yang menemani kamu malam ini.” Ucap Harriz dengan lembut.

“Udah kak, gapapa. Biar Alia cerita semuanya.” Alia mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya ia menceritakan semuanya.

“Alia udah ketemu sama ayah, kemarin. Saat itu Alia benar-benar shock dan gatau harus ngapain, jadi Alia pergi ke makam bunda dan tanpa aku sadari ternyata ada dua orang yang mengintai dari jauh. Mantan pacar dan saudara tiri ku, mereka bekerja sama untuk mencelakai Alia. Kemarin hujan deras dan dengan bodohnya Alia tetap berada di makam bunda sampai kepala Alia pusing dan ngga sadar udah ada di ruangan yang Alia ngga tau itu ada dimana.”

“Maaf kak, umi, Alia jadi merepotkan kalian…” Lirih gadis itu.

“Ya Allah nak…” Ustadzah Aisyah segera memeluk gadis itu dan menenangkannya.

“Maafkan umi ya, umi jarang memperhatikan kamu…”

“Ngga umi, Alia yang salah, Alia ga bisa menjaga diri.” Ucap Alia.

“Tadi kamu bilang sudah menemukan ayah kamu?”

“Iya, ternyata selama ini ayah ada di dekat Alia. Dan yang yang aku bilang beberapa hari lalu tentang temen aku yang ngga diakui oleh ayahnya ternyata dia adalah saudara tiri Alia.”

“Temui ayahmu nak, mungkin ada alasan kenapa dia melakukan semua ini.”

“Alia usahakan, umi.”

“Assalamualaikum, umi.”

“Waalaikumsalam nak, kenapa?”

“Alia ngga ada kabar hari ini, bahkan temannya nanya ke Harriz katanya pesannya ngga dibalas Alia. Harriz cari ke rumahnya, di kafe dekat rumahnya, ke makam bundanya ngga ada. Bahkan hari ini jadwal kuliahnya ngga ada. Harriz khawatir umi…”

“Sabar dulu nak, kita cari Alia sama-sama.”

“Bagaimana Harriz bisa sabar umi, Alia ngga ada kabar seperti ini.”

“Istigfar nak…Ya Allah kita cari sama-sama.”

Harriz merasa gelisah, ia belum menemukan keberadaan Alia sampai saat ini. Sehingga malam itu ia memutuskan untuk pergi ke masjid yang berada di dekat rumah Alia. Dalam sujudnya ia menangis dan berdoa dengan ikhlas untuk gadis yang ia cintai itu.

“Ya Allah, tolong beri petunjuk dimana keberadaan humairahku…”

Setelah selesai shalat dan berdoa, ponselnya berbunyi dan menampakkan notifikasi pesan. Terdapat nama Alia disana, hatinya tak berhenti mengucap syukur saat itu.

WhatsApp

Kak tolongh jemput Alia… [send location]

Tanpa basa-basi, ia segera melajukan mobilnya menuju lokasi yang Alia kirimkan. Aneh, kenapa gadis itu bepergian jauh? Tak biasanya. Tak sampai beberapa menit, mobil Harriz berhenti di depan rumah yang sangat besar, ada tujuan apa Alia di rumah sebesar ini?

“Assalamualaikum…”

Tak mendapat jawaban dari dalam, ponselnya kembali berbunyi dan terlihat Alia yang menelponnya.

“Kak tolongin Alia…” Gadis itu menangis namun berusaha berbicara dengan suara yang kecil.

_“Kamu dimana Alia.”&

“Kakak masuk aja, ada ruangan di lantai dua sebelah kiri. Tolong kak, disini gelap banget Alia takut…”

“Iya iya sabar ya…”

Harriz mencoba menenangkan Alia, dan dengan cepat memasuki rumah itu dan mencari ruangan yang dimaksud oleh Alia. Saat ia memasuki ruangan itu, benar saja, sangat gelap. Dan tiba-tiba lampu menyala, Ia terkejut melihat Alia yang terikat pada sebuah kursi dan matanya sangat sembab.

“Kak tolong…”

Belum sempat Harriz melepaskan tali pengikat Alia, ia mendengar suara tepuk tangan seseorang “Wow wow, jadi ini calon suami lo itu, doobie?”

“Siapa kamu?”

“Gue? Gue pacar Alia.”

“Bohong! Dia bukan pacar Alia kak!”

“Jangan gitu dong sayang, kamu lupa kita udah ngapain hmmm?” Pria itu mencoba mengelus pipi Alia namun segera ditepis oleh Harriz.

“Jangan pernah menyentuh wanita saya.”

“Nyentuh ya? Kalo sekedar nyentuh sih udah biasa ya doobie. We’ve done more.”

Harriz tak menanggapi pria itu, dan segera melepas ikatan Alia pada kursi itu.

“Hey, jangan buru-buru dong.” Satu lagi, seorang gadis muncul dengan membawa nampan yang berisi beberapa gelas lemon juice, lalu mengunci pintu ruangan itu.

“Minum dulu yuk, saudaraku…” Gadis itu tersenyum miring saat mengucap kata ‘saudara’.

Saat hendak memberi Alia minum, gelas itu dilempar oleh Harriz, sehingga membuat pria yang satu lagi hendak memukul kepala Harriz dengan tongkat besi. Namun belum tongkat itu menyentuh Harriz, pintu ruangan itu rubuh akibat didobrak oleh beberapa orang polisi.

“Angkat tangan kalian!”

“WHAT THE HELL IS GOING ON?!”


“Alia, sebenarnya apa yang terjadi nak?” Tanya ustadzah Aisyah saat ia berada di rumah Alia setelah kejadian tadi.

Sekuat tenaga gadis itu menahan air matanya, namun tak bisa saat ia kembali mengingat kejadian yang ia alami hari ini.

“Kalu belum bisa cerita gapapa, kamu istirahat saja. Biar kak Amira yang menemani kamu malam ini.” Ucap Harriz dengan lembut.

“Udah kak, gapapa. Biar Alia cerita semuanya.” Alia mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya ia menceritakan semuanya.

“Alia udah ketemu sama ayah, kemarin. Saat itu Alia benar-benar shock dan gatau harus ngapain, jadi Alia pergi ke makam bunda dan tanpa aku sadari ternyata ada dua orang yang mengintai dari jauh. Mantan pacar dan saudara tiri ku, mereka bekerja sama untuk mencelakai Alia. Kemarin hujan deras dan dengan bodohnya Alia tetap berada di makam bunda sampai kepala Alia pusing dan ngga sadar udah ada di ruangan yang Alia ngga tau itu ada dimana.”

“Maaf kak, umi, Alia jadi merepotkan kalian…” Lirih gadis itu.

“Ya Allah nak…” Ustadzah Aisyah segera memeluk gadis itu dan menenangkannya.

“Maafkan umi ya, umi jarang memperhatikan kamu…”

“Ngga umi, Alia yang salah, Alia ga bisa menjaga diri.” Ucap Alia.

“Tadi kamu bilang sudah menemukan ayah kamu?”

“Iya, ternyata selama ini ayah ada di dekat Alia. Dan yang yang aku bilang beberapa hari lalu tentang temen aku yang ngga diakui oleh ayahnya ternyata dia adalah saudara tiri Alia.”

“Temui ayahmu nak, mungkin ada alasan kenapa dia melakukan semua ini.”

“Alia usahakan, umi.”

Humairah

“Assalamualaikum, umi.”

“Waalaikumsalam nak, kenapa?”

“Alia ngga ada kabar hari ini, bahkan temannya nanya ke Harriz katanya pesannya ngga dibalas Alia. Harriz cari ke rumahnya, di kafe dekat rumahnya, ke makam bundanya ngga ada. Bahkan hari ini jadwal kuliahnya ngga ada. Harriz khawatir umi…”

“Sabar dulu nak, kita cari Alia sama-sama.”

“Bagaimana Harriz bisa sabar umi, Alia ngga ada kabar seperti ini.”

“Istigfar nak…Ya Allah kita cari sama-sama.”

Harriz merasa gelisah, ia belum menemukan keberadaan Alia sampai saat ini. Sehingga malam itu ia memutuskan untuk pergi ke masjid yang berada di dekat rumah Alia. Dalam sujudnya ia menangis dan berdoa dengan ikhlas untuk gadis yang ia cintai itu.

“Ya Allah, tolong beri petunjuk dimana keberadaan humairahku…”

Setelah selesai shalat dan berdoa, ponselnya berbunyi dan menampakkan notifikasi pesan. Terdapat nama Alia disana, hatinya tak berhenti mengucap syukur saat itu.

WhatsApp

Kak tolongh jemput Alia… [send location]

Tanpa basa-basi, ia segera melajukan mobilnya menuju lokasi yang Alia kirimkan. Aneh, kenapa gadis itu bepergian jauh? Tak biasanya. Tak sampai beberapa menit, mobil Harriz berhenti di depan rumah yang sangat besar, ada tujuan apa Alia di rumah sebesar ini?

“Assalamualaikum…”

Tak mendapat jawaban dari dalam, ponselnya kembali berbunyi dan terlihat Alia yang menelponnya.

“Kak tolongin Alia…” Gadis itu menangis namun berusaha berbicara dengan suara yang kecil.

_“Kamu dimana Alia.”&

“Kakak masuk aja, ada ruangan di lantai dua sebelah kiri. Tolong kak, disini gelap banget Alia takut…”

“Iya iya sabar ya…”

Harriz mencoba menenangkan Alia, dan dengan cepat memasuki rumah itu dan mencari ruangan yang dimaksud oleh Alia. Saat ia memasuki ruangan itu, benar saja, sangat gelap. Dan tiba-tiba lampu menyala, Ia terkejut melihat Alia yang terikat pada sebuah kursi dan matanya sangat sembab.

“Kak tolong…”

Belum sempat Harriz melepaskan tali pengikat Alia, ia mendengar suara tepuk tangan seseorang “Wow wow, jadi ini calon suami lo itu, doobie?”

“Siapa kamu?”

“Gue? Gue pacar Alia.”

“Bohong! Dia bukan pacar Alia kak!”

“Jangan gitu dong sayang, kamu lupa kita udah ngapain hmmm?” Pria itu mencoba mengelus pipi Alia namun segera ditepis oleh Harriz.

“Jangan pernah menyentuh wanita saya.”

“Nyentuh ya? Kalo sekedar nyentuh sih udah biasa ya doobie. We’ve done more.”

Harriz tak menanggapi pria itu, dan segera melepas ikatan Alia pada kursi itu.

“Hey, jangan buru-buru dong.” Satu lagi, seorang gadis muncul dengan membawa nampan yang berisi beberapa gelas lemon juice, lalu mengunci pintu ruangan itu.

“Minum dulu yuk, saudaraku…” Gadis itu tersenyum miring saat mengucap kata ‘saudara’.

Saat hendak memberi Alia minum, gelas itu dilempar oleh Harriz, sehingga membuat pria yang satu lagi hendak memukul kepala Harriz dengan tongkat besi. Namun belum tongkat itu menyentuh Harriz, pintu ruangan itu rubuh akibat didobrak oleh beberapa orang polisi.

“Angkat tangan kalian!”

“WHAT THE HELL IS GOING ON?!”


“Alia, sebenarnya apa yang terjadi nak?” Tanya ustadzah Aisyah saat ia berada di rumah Alia setelah kejadian tadi.

Sekuat tenaga gadis itu menahan air matanya, namun tak bisa saat ia kembali mengingat kejadian yang ia alami hari ini.

“Kalu belum bisa cerita gapapa, kamu istirahat saja. Biar kak Amira yang menemani kamu malam ini.” Ucap Harriz dengan lembut.

“Udah kak, gapapa. Biar Alia cerita semuanya.” Alia mencoba menenangkan dirinya sebelum akhirnya ia menceritakan semuanya.

“Alia udah ketemu sama ayah, kemarin. Saat itu Alia benar-benar shock dan gatau harus ngapain, jadi Alia pergi ke makam bunda dan tanpa aku sadari ternyata ada dua orang yang mengintai dari jauh. Mantan pacar dan saudara tiri ku, mereka bekerja sama untuk mencelakai Alia. Kemarin hujan deras dan dengan bodohnya Alia tetap berada di makam bunda sampai kepala Alia pusing dan ngga sadar udah ada di ruangan yang Alia ngga tau itu ada dimana.”

“Maaf kak, umi, Alia jadi merepotkan kalian…” Lirih gadis itu.

“Ya Allah nak…” Ustadzah Aisyah segera memeluk gadis itu dan menenangkannya.

“Maafkan umi ya, umi jarang memperhatikan kamu…”

“Ngga umi, Alia yang salah, Alia ga bisa menjaga diri.” Ucap Alia.

“Tadi kamu bilang sudah menemukan ayah kamu?”

“Iya, ternyata selama ini ayah ada di dekat Alia. Dan yang yang aku bilang beberapa hari lalu tentang temen aku yang ngga diakui oleh ayahnya ternyata dia adalah saudara tiri Alia.”

“Temui ayahmu nak, mungkin ada alasan kenapa dia melakukan semua ini.”

“Alia usahakan, umi.”

“Duh mendung…” Alia berlari menuju rumah Fanya setelah mendapat pesan bahwa laptopnya tertinggal di meja rumah Fanya.

“Assalamualaikum, permisi..” Tak mendengar jawaban dari dalam rumah itu, Alia memutuskan untuk masuk saja, ia tahu bahwa itu hal yang tak boleh dilakukan. Tapi mau bagaimana lagi, laptopnya harus ia gunakan untuk bekerja dan menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya.

“Assalamualaikum…” Ia terus memberi salam namun tak ada yang menjawab. Ia mencari dimana keberadaan laptopnya namun tak kunjung ia temukan.

Langkahnya terhenti saat ia menemukan satu foto yang tak asing baginya tergeletak di lantai rumah itu.

“Bunda…” Lirihnya saat mengambil foto itu.

“Bunda?” Damn, itu suara papa Fany.

“Om? Ini foto bunda saya kenapa ada disini ya?”

“Kamu…Anaknya Yasmin?”

“Iya, kenapa ya om?”

Bukannya menjawab pertanyaan Alia, Fadli justru memeluk gadis itu.

“Alia humairah, anak ku…” Pria paruh baya itu menangis dipelukan Alia.

“A-anak?” Ia masih membeku dengan ucapan Fadli tadi. Anak?

“Nak, ini ayahmu. Maafin ayah ya nak maaf…”

Alia memeluk Fadli dengan erat “Ayah…”

Suaranya bergetar saat menyebut kata ‘ayah’ hari ini mengetahui bahwa Fadli adalah ayah kandungnya. Mimpi apa dia semalam?

“Bunda kamu dimana nak, ayah ingin bertemu dengan bundamu.” Tanya Fadli masih dengan suara yang bergetar, ia tak menyangka dengan apa yang ia alami hari ini.

“JAHAT! KENAPA AYAH BARU DATANG SETELAH BUNDA GAADA?!” Teriak gadis itu dan melepas pelukan Fadli.

“Maafkan ayah nak…Itu bukan kemauan ayah.” Ia tak sanggup menahan rasa sakit dalam hatinya setelah mengetahui bahwa wanita yang sangat ia cintai telah tiada.

“Maafkan ayah nak…” Tubuhnya lemas seketika dan berlutut dihadapan Alia.

“Tolong bawa ayah bertemu dengan bunda.” Ucapnya dengan suara bergetar.

“ALIA!” Teriak Fanya saat melihat apa yang terjadi di hadapannya.

“OH JADI INI YA KERJAAN LO ITU?! LO JADI SIMPENAN PAPA GUE SELAMA INI?! GA TAU MALU LO JADI CEWE!” Fanya yang hendak menampar Alia dihentikan oleh Fadli.

“Fanya! Jangan sekali kali kamu menyentuh anak saya.” Tegas Fadli.

“Anak? Pah, anak papa tuh Fanya bukan Alia!”

“Papah! Jawab!”

“Alia…Anak papa.” Jawab Fadli.

“ARGHH BOONG! PAPA BOONG!! PERGI LO!” Fanya mendorong Alia hingga ia terjatuh dan mengusirnya dari rumah itu.

“FANYA!” Bentak Fadli.

“PERGI ALIA! PERGI!!”

Alia berlari menjauh dari rumah itu tak peduli dengan laptopnya yang tertinggal di rumah itu, Fadli yang hendak mengejar Alia namun ia kehilangan jejak gadis itu. Hujan perlahan mulai turun membasahi gadis itu. Bukannya kembali ke rumahnya, ia justru pergi ke makam bundanya.

“Bunda!” Ia memeluk nisan bundanya itu dengan air mata yang bercampur dengan air hujan yang turun dengan derasnya.

Sudah beberapa menit ia masih terus menangis hingga matanya sembab “Bunda, apa benar papanya Fanya itu ayah Alia?” Suaranya bergetar saat ia bercerita.

“Apa doa Alia udah terjawab sekarang? Ayah...”

'Bruk'

Ia langsung tak sadarkan diri, disamping makam bundanya. Tanpa seorangpun mengetahuinya.

Disatu sisi, Fanya masih tak terima dengan fakta yang baru saja ia ketahui. Alia? Orang yang selama ini ia benci adalah saudaranya?

“Pah! Jawab Fanya!”

“Cukup! Sudah cukup. Perlu papa ulangi berapa kali agar kamu mengerti?”

“Papa yang bener aja dong! Alia?” Gadis itu tersenyum miris.

Fadli meninggalkan gadis itu tanpa mengucapkan satu katapun.

“Pah, sampai kapanpun Fanya gaakan menerima Alia!” Umpat gadis itu.

“Duh mendung…” Alia berlari menuju rumah Fanya setelah mendapat pesan bahwa laptopnya tertinggal di meja rumah Fanya.

“Assalamualaikum, permisi..” Tak mendengar jawaban dari dalam rumah itu, Alia memutuskan untuk masuk saja, ia tahu bahwa itu hal yang tak boleh dilakukan. Tapi mau bagaimana lagi, laptopnya harus ia gunakan untuk bekerja dan menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya.

“Assalamualaikum…” Ia terus memberi salam namun tak ada yang menjawab. Ia mencari dimana keberadaan laptopnya namun tak kunjung ia temukan.

Langkahnya terhenti saat ia menemukan satu foto yang tak asing baginya tergeletak di lantai rumah itu.

“Bunda…” Lirihnya saat mengambil foto itu.

“Bunda?” Damn, itu suara papa Fany.

“Om? Ini foto bunda saya kenapa ada disini ya?”

“Kamu…Anaknya Yasmin?”

“Iya, kenapa ya om?”

Bukannya menjawab pertanyaan Alia, Fadli justru memeluk gadis itu.

“Alia humairah, anak ku…” Pria paruh baya itu menangis dipelukan Alia.

“A-anak?” Ia masih membeku dengan ucapan Fadli tadi. Anak?

“Nak, ini ayahmu. Maafin ayah ya nak maaf…”

Alia memeluk Fadli dengan erat “Ayah…”

Suaranya bergetar saat menyebut kata ‘ayah’ hari ini mengetahui bahwa Fadli adalah ayah kandungnya. Mimpi apa dia semalam?

“Bunda kamu dimana nak, ayah ingin bertemu dengan bundamu.” Tanya Fadli masih dengan suara yang bergetar, ia tak menyangka dengan apa yang ia alami hari ini.

“JAHAT! KENAPA AYAH BARU DATANG SETELAH BUNDA GAADA?!” Teriak gadis itu dan melepas pelukan Fadli.

“Maafkan ayah nak…Itu bukan kemauan ayah.” Ia tak sanggup menahan rasa sakit dalam hatinya setelah mengetahui bahwa wanita yang sangat ia cintai telah tiada.

“Maafkan ayah nak…” Tubuhnya lemas seketika dan berlutut dihadapan Alia.

“Tolong bawa ayah bertemu dengan bunda.” Ucapnya dengan suara bergetar.

“ALIA!” Teriak Fanya saat melihat apa yang terjadi di hadapannya.

“OH JADI INI YA KERJAAN LO ITU?! LO JADI SIMPENAN PAPA GUE SELAMA INI?! GA TAU MALU LO JADI CEWE!” Fanya yang hendak menampar Alia dihentikan oleh Fadli.

“Fanya! Jangan sekali kali kamu menyentuh anak saya.” Tegas Fadli.

“Anak? Pah, anak papa tuh Fanya bukan Alia!”

“Papah! Jawab!”

“Alia…Anak papa.” Jawab Fadli.

“ARGHH BOONG! PAPA BOONG!! PERGI LO!” Fanya mendorong Alia hingga ia terjatuh dan mengusirnya dari rumah itu.

“FANYA!” Bentak Fadli.

“PERGI ALIA! PERGI!!”

Alia berlari menjauh dari rumah itu tak peduli dengan laptopnya yang tertinggal di rumah itu, Fadli yang hendak mengejar Alia namun ia kehilangan jejak gadis itu. Hujan perlahan mulai turun membasahi gadis itu. Bukannya kembali ke rumahnya, ia justru pergi ke makam bundanya.

“Bunda!” Ia memeluk nisan bundanya itu dengan air mata yang bercampur dengan air hujan yang turun dengan derasnya.

Sudah beberapa menit ia masih terus menangis hingga matanya sembab “Bunda, apa benar papanya Fanya itu ayah Alia?” Suaranya bergetar saat ia bercerita.

“Apa doa Alia udah terjawab sekarang? Ayah...”

'Bruk'

Ia langsung tak sadarkan diri, disamping makam bundanya. Tanpa seorangpun mengetahuinya.

Disatu sisi, Fanya masih tak terima dengan fakta yang baru saja ia ketahui. Alia? Orang yang selama ini ia benci adalah saudaranya?

“Pah! Jawab Fanya!”

“Cukup! Sudah cukup. Perlu papa ulangi berapa kali agar kamu mengerti?”

“Papa yang bener aja dong! Alia?” Gadis itu tersenyum miris.

Fadli meninggalkan gadis itu tanpa mengucapkan satu katapun.

“Pah, sampai kapanpun Fanya gaakan menerima Alia!” Umpat gadis itu.

Setelah meeting sore itu, Harriz memilih untuk segera pulang dan menyelesaikan semua pekerjaannya. Walaupun ia bisa dibilang cukup mapan, namun rasa tanggung jawab dan kerja kerasnya tak bisa diragukan. Prinsip Harriz adalah;

“Semuanya cuma titipan dari Allah, dan sewaktu-waktu bisa direnggut. Makanya kita harus banyakin bersyukur dan melakukan semuanya dengan ikhlas biar dapat berkahnya.”

Namun saat ingin keluar dari lobby, seseorang memanggilnya, sehingga membuat pria itu berbalik.

“Mr. Harriz!”

“Ya? What's going on?”

“This is a personal matter, can we talk for a moment?”

“My secretary must join with us too.”

“Ah ok, i'll send a message later.”

“Sure.”

“Thank you so much.” Wanita itu hendak bersalaman dengan Harriz, namun pria itu menolak.

“Sorry, i can't.”

“Ah sorry.”


“Ya Allah, capek banget.” Keluh Alia saat berbaring di kasurnya.

“Biasanya kalau capek gini, bunda selalu buatin susu coklat kesukaan gue.”

“Jadi kangen bunda.” Gadis itu bermonolog dengan dirinya sendiri. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke suatu tempat.

“Pak, saya mau bunga yang seger ya. Yang paling wangi pokoknya.” Ucapnya pada seorang pedagang bunga.

“Ini neng, yang paling wangi untuk yang tersayang.”

“Bisa aja bapak. Ini uangnya, makasih ya pak.”

“Sama-sama neng cantik.”

“Oiya pak, doain saya ya biar lancar kuliahnya.”

“Aamiin, neng. Emang kuliah jurusan apa?”

“Kedokteran pak.”

“Wah, lancar ya neng kuliahnya biar bisa ngobatin orang banyak.”

“Aamiin, makasi banyak ya pak. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam neng.”

Perlahan ia melangkah menuju tempat yang sedari tadi ingin ia kunjungi.

“Assalamualaikum bunda.” Ya, Alia memilih datang ke makam bundanya sore itu, dan bercerita semua yang terjadi padanya.

“Bunda ngga kangen Alia? Kenapa ga pernah datang di mimpi Alia lagi?” Perlahan air matanya jatuh saat ia bercerita di makam bundanya.

“Bunda, sekarang Alia udah kuliah dan Insya Allah akan jadi dokter. Alia mau ngobatin orang-orang biar bisa sembuh dan bahagia sama keluarganya. Bunda tau ngga? Alia udah nyoba untuk menerima kak Harriz, tapi Alia harus gimana bunda, Alia ga tau ayah dimana. Siapa yang akan jadi wali Alia nanti...” Dadanya begitu sesak saat mengeluarkan semua keluh kesahnya.

“Kemana lagi Alia harus nyari keberadaan ayah Bun...Kemana...” Tangisnya semakin menjadi, namun ia harus mengendalikan dirinya saat ini.

“Alia...iri melihat teman-teman Alia yang dekat dengan ayahnya. Ngga kaya Alia yang bahkan ayah kandung Alia sendi ga tau dimana keberadaannya. Alia iri bunda...”

Gadis itu menghabiskan waktunya bercerita dan menangis di samping makam bundanya.

Setelah cukup tenang, ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya karena hari juga sudah mulai gelap.

“Bunda, maaf ya Alia ga bisa lama-lama. Kata bunda kan Alia harus pulang sebelum magrib. Maaf ya bunda, Alia pamit.” Ucapnya sembari menghapus air matanya.

“Assalamualaikum bunda...”

Seorang wanita paruh baya sedang berdiri didepan kaca kamarnya. Cantik, wanita itu memakai baju serba putih dan tersenyum tipis melihat darah yang sedikit demi sedikit mengalir dari dalam hidungnya. Ia meringis kesakitan sebab seluruh bagian tulangnya terasa sangat nyeri, wajahnya seketika pucat.

Dan saat itu juga ia mencoba mengucapkan 'Lailahaillallah'. Sakit, sangat sakit ia rasakan hingga sedetik kemudian tak lagi ia merasakan sakit.

Dilain tempat, seorang gadis sedang berjalan pulang ke rumahnya dengan perasaan yang masih bahagia sebab tak lama lagi ia akan masuk bangku kuliah impiannya. Ia menyempatkan diri untuk singgah di kedai kopi langganannya untuk membeli americano 8 shot espresso kesukaannya, tak lupa dengan Red Velvet cake kesukaan bundanya.

“Mba, kaya biasa ya.” Ucapnya.

“Kakak ini ndak takut sakit lambung kah?” Ucap pelayan kedai itu.

“Tenang aja mba, lambung saya kuat.” Jawab Alia sambil tersenyum.

“Yauda deh tunggu sebentar ya kak, tak bikinkan dulu.” Ucap pelayan kedai tersebut dengan logat Jawa yang cukup kental.


“Assalamualaikum bunda, Alia pulang. Alia bawa Red Velvet cake kesukaan bunda nih.” Ucap Alia saat memasuki rumahnya.

“Bunda? Dimana sih? Dikamar kali ya?” Gadis itu bermonolog dengan dirinya sendiri.

Saat ia memasuki kamarnya, kopi dan kue yang ia bawa seketika jatuh kelantai.

“BUNDA!!!!” Ia menjerit melihat bundanya yang terbaring dilantai dengan darah yang mengalir dari hidungnya.

Ia tak mampu lagi membendung air matanya, dan segera ia menelpon Harriz untuk memberi tahu pria itu.

“Bunda kak...” Tak sempat Harriz menjawab teleponnya, ia sudah menjatuhkan ponsel itu dan kembali memeluk sang ibunda.

“Bunda bangun... Katanya janji mau lihat Alia pakai jas putih. Ayo bangun bunda, prank nya ga lucu tau ga!”

“Alia...” Ucap Harriz saat melihat gadis itu, sangat kacau.

Ustadzah Aisyah yang melihat keadaan Alia langsung meneteskan air matanya;

“Ya Allah nak...”

“Umi, bunda ngeprank kan? Iya kan? Soalnya tiga hari lagi Alia ulang tahun, dan tiap tahun bunda selalu ngeprank Alia. Tahun ini juga kan?” Tanya gadis itu masih dengan kondisi yang sama.

“Innalilahi wa innailaihi rojiun.” Ucap ustadzah Aisyah sembari menutup mata bunda Alia.

“BUNDA BANGUN BUNDA!! JANGAN GINI BUN!!” Tangis Alia seketika pecah dihadapan mendiang ibunya.

“Sabar nak, bunda kamu udah ga sakit lagi.”

Harriz memilih keluar, ia tak sanggup melihat keadaan Alia saat ini, sungguh dalam hatinya ia ingin sekali memeluk Alia dan menenangkan gadis itu, namun tak bisa.

Di teras rumah Alia, ia menangis sendirian. Entah bagaimana ia bisa sangat hancur saat melihat gadis yang ia cintai juga hancur perasaannya.

Malam itu, rumah Alia sudah ramai dengan pelayat yang berdatangan untuk berbela sungkawa dan mencoba menghibur Alia. Gadis itu masih saja diam tak mau makan dan berbicara, masih setia duduk disamping mendiang bundanya yang sudah tertutup kain putih.

Hingga saat di pemakaman, ia masih tetap duduk dan mengusap nisan sang ibunda yang sudah tenang disana.

“Alia, pulang ya. Sudah mau hujan nanti kamu sakit.” Ucap Harriz yang juga masih berada disana saat para pelayat mulai bubar satu persatu. Disana juga ada Amira, yang setia menjadi perantara bagi kedua insan itu.

“Pulang aja kak, Alia mau nemenin bunda. Kasian bunda sendirian didalam sana.” Ucap Alia yang kembali meneteskan air matanya.

“Saya dan Amira pamit ya, jangan pulang sebelum magrib.” Ucap Harriz.

Namun kenyataannya, pria itu masih setia menunggu Alia. Ia berdiri agak jauh dari Alia untuk sekedar memantau gadis itu. Bagaimana ia tega meninggalkan Alia sendirian dalam keadaan sehancur ini. Sedangkan Amira menunggu didalam mobil.

Alia? Masih terduduk disamping makam bundanya. Tak bicara, hanya memandang nisan dari wanita yang ia cintai itu.