biruu

Alia berjalan di koridor gedung fakultasnya sembari bersenandung kecil untuk menemani perjalanannya menuju ruang kelasnya.

“Sampai kau lelah sendiri dan memilih tuk pergi… Now I know how much I love you…” Beberapa bait dari lagu yang ia senandungkan itu menemaninya hingga ia tiba di kelasnya.

“Halo Alia.” Sapa seorang mahasiswa berkacamata yang beraras manis dengan beberapa tumpuk buku tebal ditangannya.

“Hai.” Alia tersenyum menanggapi sapaan dari pria itu.

“Mau ke kelas ya?” Tanya nya untuk sekedar basa-basi, mungkin?

“Iya, kenapa?”

“Aku… Boleh kenalan?”

“Boleh.” Alis Alia saling bertautan setelah mendengar pernyataan dari pria itu, namun tetap menjawab pertanyaannya.

“Kenalin, aku Raka.” Ujarnya seraya mengulurkan tangannya untuk berkenalan.

“Alia. Maaf, bukan mahram.” Ia sedikit tersenyum canggung saat menanggapi pria berkacamata itu.

“Ah, sorry sorry. Oh iya, thanks udah mau kenalan sama aku. Semoga kita bisa jadi temen dekat ya, Alia. Kalau gitu, a-aku permisi dulu.”

“Iya, hati-hati ya Raka.”

Sesaat sebelum Alia membalikkan tubuhnya, Raka memanggilnya dan mengatakan sesuatu yang membuat Alia membeku saat itu juga dan membuat para mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang disana sontak menoleh ke arah mereka berdua.

“Alia!”

“Aku suka sama kamu sejak jaman ospek. Kalau boleh jujur, aku se suka itu sama kamu, tapi posisi terlalu tinggi dan ga bisa aku gapai, dan kamu terlalu sempurna untuk aku yang bahkan ga ada apa-apanya dibandingkan semua laki-laki yang sudah sekat sama kamu. Hari ini aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk ngomong sama kamu, it’s ok kalau kamu nolak aku.” Ujar Raka seraya menundukkan kepalanya di hadapan Alia.

“Raka! Lo apa-apaan sih?! Alia udah punya suami tau ga!” Perkataan Kayla itu membuat Raka merasa kecewa dan marah saat itu juga.

“Bener Al?” Tanya Raka.

“Lo ga denger tadi gue bilang apa?!” Bentak Kayla.

“Oh gue paham, jadi selama ini yang naruh coklat sama bunga di meja Alia itu elo ya?!” Sambungnya.

“Sorry, aku ga tau. Maaf Alia.” Ucap Raka sebelum akhirnya ia meninggalkan tempat itu.

“Raka!”

“Makasih udah mau jujur tentang perasaan lo, gue pengen bilang kalau lo itu keren udah mau jujur tentang perasaan lo hari ini. Semoga lo bisa dapet yang lebih baik daripada gue ya.”

Raka tak menjawab dan memilih pergi dari hadapan Alia dengan perasaan yang campur aduk.

“Cowo aneh, kayanya Cuma dia deh yang gatau kalau lo udah nikah Al.” Timpal Kayla.

“Udah Key lupain aja. Oh iya, Andis mana?”

“Dia dapet giliran kelas siang.”

“Yaudah kelas yuk.”

“Yuk!”

#Raka?

Alia berjalan di koridor gedung fakultasnya sembari bersenandung kecil untuk menemani perjalanannya menuju ruang kelasnya.

“Sampai kau lelah sendiri dan memilih tuk pergi… Now I know how much I love you…” Beberapa bait dari lagu yang ia senandungkan itu menemaninya hingga ia tiba di kelasnya.

“Halo Alia.” Sapa seorang mahasiswa berkacamata yang beraras manis dengan beberapa tumpuk buku tebal ditangannya.

“Hai.” Alia tersenyum menanggapi sapaan dari pria itu.

“Mau ke kelas ya?” Tanya nya untuk sekedar basa-basi, mungkin?

“Iya, kenapa?”

“Aku… Boleh kenalan?”

“Boleh.” Alis Alia saling bertautan setelah mendengar pernyataan dari pria itu, namun tetap menjawab pertanyaannya.

“Kenalin, aku Raka.” Ujarnya seraya mengulurkan tangannya untuk berkenalan.

“Alia. Maaf, bukan mahram.” Ia sedikit tersenyum canggung saat menanggapi pria berkacamata itu.

“Ah, sorry sorry. Oh iya, thanks udah mau kenalan sama aku. Semoga kita bisa jadi temen dekat ya, Alia. Kalau gitu, a-aku permisi dulu.”

“Iya, hati-hati ya Raka.”

Sesaat sebelum Alia membalikkan tubuhnya, Raka memanggilnya dan mengatakan sesuatu yang membuat Alia membeku saat itu juga dan membuat para mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang disana sontak menoleh ke arah mereka berdua.

“Alia!”

“Aku suka sama kamu sejak jaman ospek. Kalau boleh jujur, aku se suka itu sama kamu, tapi posisi terlalu tinggi dan ga bisa aku gapai, dan kamu terlalu sempurna untuk aku yang bahkan ga ada apa-apanya dibandingkan semua laki-laki yang sudah sekat sama kamu. Hari ini aku mencoba mengumpulkan keberanian untuk ngomong sama kamu, it’s ok kalau kamu nolak aku.” Ujar Raka seraya menundukkan kepalanya di hadapan Alia.

“Raka! Lo apa-apaan sih?! Alia udah punya suami tau ga!” Perkataan Kayla itu membuat Raka merasa kecewa dan marah saat itu juga.

“Bener Al?” Tanya Raka.

“Lo ga denger tadi gue bilang apa?!” Bentak Kayla.

“Oh gue paham, jadi selama ini yang naruh coklat sama bunga di meja Alia itu elo ya?!” Sambungnya.

“Sorry, aku ga tau. Maaf Alia.” Ucap Raka sebelum akhirnya ia meninggalkan tempat itu.

“Raka!”

“Makasih udah mau jujur tentang perasaan lo, gue pengen bilang kalau lo itu keren udah mau jujur tentang perasaan lo hari ini. Semoga lo bisa dapet yang lebih baik daripada gue ya.”

Raka tak menjawab dan memilih pergi dari hadapan Alia dengan perasaan yang campur aduk.

“Cowo aneh, kayanya Cuma dia deh yang gatau kalau lo udah nikah Al.” Timpal Kayla.

“Udah Key lupain aja. Oh iya, Andis mana?”

“Dia dapet giliran kelas siang.”

“Yaudah kelas yuk.”

“Yuk!”

Langit sudah mulai berubah warna menjadi orange, namun dua orang gadis yang berada di rooftop gedung fakultas kedokteran itu masih fokus pada laptopnya masing-masing dan juga beberapa tumpuk buku yang cukup tebal. Desiran angin senja yang membuat kulit mereka sedikit bergidik.

“Akhirnya…” Fanya melakukan peregangan setelah menyelesaikan pekerjaannya itu.

Berbeda dengan Alia, gadis itu masih duduk dan memandang langit senja yang sudah jarang ia lihat belakangan ini.

“Pinggang gue pegel anjir.”

“Sama, abis ini lo langsung balik? Apa mau ngikut gue ke café?”

“Gue langsung balik aja deh, mau istirahat.”

“Oke, lo balik sendiri?”

“Dijemput kak Harriz.”

“Alia, nikah itu…Enak ga sih?”

“Lo mau tau?”

“Mau!”

“Nikah!” Tegas Alia sebelum ia meninggalkan Fanya yang masih berdiam di bangku kayu yang berada di tempat itu.

“GUE TAU LO UDAH NIKAH! TAPI GA GINI JUGA ANJIR!” Teriakan Fanya itu hanya ditanggapi Alia dengan melambaikan tangannya sembari berjalan menuruni tangga.

“Gue juga pengen nikah…”


“Halo suami!” Alia menampakkan kepalanya saat Harriz menurunkan kaca mobilnya tepat di depan pedagang tahu bulat langganan Alia.

“Assalamualaikum.”

“Lupa, Waalaikumsalam.” Cengirannya itu sontak saja membuat Harriz tersenyum.

“Itu apa?” Tanya Harriz.

“Tahu bulat, mau?” Tawar Alia.

“Masuk dulu.”

“Oh iya lupa.”

“Nih, Bismillah aaaa…” Alia menyuapi tahu bulat yang ia beli pada Harriz.

“Enak?” Sambungnya.

Harriz tersenyum sembari mengunyah tahu bulat yang baru saja disuapi Alia, ia mengusap kepala istrinya itu dengan lembut sehingga membuat Alia ikut tersenyum.

“Kak.”

“Hmmm, kenapa?”

“Sini deh deketan dikit.” Ucapan Alia itu membuat Harriz sedikit memajukan wajahnya agar lebih dekat dengan Alia.

“Iiiiiiiih gemes!!!!” Gadis itu mencubit gemas pipi suaminya hingga berbekas merah.

“Aduh! Sakit.” Keluh Harriz.

“Aku gemes, pipi kamu chubby banget.” Ucap Alia dengan cengirannya.

“Bagaimana tugasnya, sudah selesai?” Tanya Harriz seraya menjalankan mobilnya itu.

“Uwah.” Jawab Alia yang masih saja mengunyah tahu bulatnya.

“Ya Allah, pelan-pelan makannya sayang.” Harriz membersihkan sisa-sisa bumbu tahu bulat dibibir Alia menggunakan tangan kirinya dengan tatapan yang fokus ke jalan raya.

“Enak kak.”

“Tapi pelan-pelan ya makannya.”

“Ini mau kemana? Kok belok kiri?”

“Dufan?”

“MAU!!”

Alia membereskan semua buku-buku yang ada di mejanya, berniat untuk pergi ke tempat yang telah dikirimkan lokasinya oleh Fanya.

“Kak, aku izin mau keluar dulu ya. Mau nugas sama Fanya.” Ujar gadis itu pada Harriz yang sedang bekerja di balkon kamarnya.

“Dimana? Dan kenapa harus dengan Fanya?”

“Aku sekelompok sama Fanya kak.”

“Kamu masih lemas begini. Saya- maksudnya, ak antar ya.”

“Gausah, kamu lagi kerja juga. Alia naik bus aja kak.”

“Alia.”

“Percaya sama Alia deh kak, gapapa kok.” Gadis itu memasang wajah memelas sehingga Harriz harus menuruti permintaannya kali ini.

“Pulang jam berapa?”

“Gatau juga, abis tugasnya kelar aku langsung pulang kok. Tapi kalau ada tahu bulat, Alia beli.”

“Nanti pulangnya dijemput ya.”

“Oke bos!” Wajahnya seketika berubah menjadi ceria, dengan posisi hormat pada suaminya itu membuat Harriz gemas sendiri dengan tingkah istrinya itu.

“Mau berapa?” Tanya Harriz saat melihat Alia menjulurkan tangannya.

“Ihh, mau salim. Bukan minta duit.”

“Lucu. Istri siapa?”

“Istri Jaemin.” Jawabannya itu membuat Harriz seketika menyembunyikan tangannya dibalik badannya.

“Bercanda kak ih. Istrinya Prince Harriz!” Ucap Alia seraya menarik tangan Harriz dan menciumnya seperti biasa, punggung tangan dan telapak tangan.

“Hati-hati ya.” “Iya suamiku sayang. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”


Alia berjalan menyusuri lorong koridor gedung fakultasnya. Cukup sepi, hanya ada beberapa orang mahasiswa yang berlalu lalang setelah menyelesaikan kelasnya. Ia bergegeas menuju tempat yang Fanya katakan untuk menyelesaikan tugas mata kuliahnya semester ini sebelum ia sampai pada tahap selanjutnya.

“Anjir si Fanya ngapain coba harus di rooftop fakultas. Di café kan bisa!” Gadis itu terus mengumpat karena ia harus berjalan cukup lama untuk sampai ke rooftop gedung fakultas kampusnya.

“Fanya.”

“Hai, baru nyampe?”

“Ya lo liat aja sendiri.”

“Hahaha maaf maaf. Ngapain lo berdiri disitu, sini aja gue ga bakal ngapa-ngapain saudara gue sendiri kali.”

“Maksud lo?”

“Lupain aja, kita nugas sekarang nih, keburu malam.”

“Btw, lo jadi berubah banget ya selama make hijab. Lo jadi tambah cantik Al, ga heran dari jaman kita SMA banyak yang suka sama lo. Apalagi kak Raka, mantan crush gue dulu.”

“Kenapa tiba-tiba jadi bahas kak Raka? Lagian lo udah punya Gabriel, gue juga udah punya Kak Harriz. Kalau kak Raka yang membuat lo jadi benci sama gue, gue minta maaf, lo juga tau sendiri kalau gue ga ada rasa sama sekali buat kak Raka.”

Fanya hanya tersenyum menanggapi jawaban dari Alia.

“Pagi kak.” Sapa Alia saat melihat Harriz yang baru saja turun dari tangga rumahnya.

“Pagi.” Jawab Harriz sembari tersenyum ke arah Alia yang sedang membuat sarapan untuknya.

“Nanti pulangnya jam berapa?” Tanya Alia.

“Kurang tau, kenapa sayang?” Jawab Harriz seraya memeluk tubuh Alia dari arah belakang dan menyandarkan kepalanya pada bahu Alia.

“Nanya aja, aku mau nyiapin sesuatu buat kamu soalnya.”

“Mau nyiapin apa? Jangan capek-capek ya.”

“Tenang aja. Nih sarapannya. Bilang ya kalau ga enak, nanti aku bisa belajar lagi.”

“Sini.”

“Hah?”

“Sini.” Ucap Harriz yang membuat Alia duduk dipangkuannya.

“Aku sudah bilang kan, makanan apapun yang kamu buat dengan tangan yang indah ini akan selalu enak. Di dunia ini tidak ada yang sempurna, tapi untukku, kamu adalah definisi wanita yang sempurna.”

“Makasih ya kak…”

“Jangan capek-capek ya…”

“Iya.”

“Oh iya, abis ini aku mau keluar sama Bintang. Boleh ga?”

“Jadwal kuliah kamu kapan?”

“Jam sebelas. Maih lama juga kan.”

“Tapi hati-hati ya.” “Siap bos!” Jawab Alia dengan cengirannya.

“Aku berangkat ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Hati-hati ya.” Ucap Alia seraya mencium telepak tangan dan punggung tangan Harriz secara bergantian. Terlihat biasa saja menurut sebagian orang, namun bagi Harriz, itu adalah satu hal istimewa yang diberikan oleh istrinya.

“Iya...” Jawab Harriz yang kemudian mencium kening Alia.


“Star, lo bener mau balik abis ini?”

“Iya moon, gue udah ngambil cuti kelamaan. Gue bisa ketinggalan materi lama-lama.”

“Lo sih nyari kampus kejauhan.”

“Ya mau gimana lagi, gue kan bisa sekalian traveling juga.”

“Maunya lo itu mah.”

“Tau lah gue gimana.”

“Oh iya, gimana lo sama kak Harriz?”

“Ya ga gimana-gimana.”

“Cerita apa kek gitu. Dia semenjak nikah ada yang berubah ga?”

“Apa ya? Gaada yang berubah. Tapi sumpah, dia baik banget. Gue bahagia star, bahagia karena bisa kenal sama dia, bahagia karena udah jadi istrinya. Gue gabisa ungkapin semuanya dengan kata-kata, cuma pengen bilang makasih sama dia. Makasih udah jadi suami, sahabat, guru, dan bisa membuat gue merasa pantas untuk dicintai.”

“Baguslah kalau gitu, gue seneng dengarnya. Bahagia terus ya nyet.” Ucap Bintang seraya memeluk sahabatnya itu.

“Lo juga harus bahagia!”

“Tenang aja. Kita sukses bareng-bareng ya. Ntar kita bisa liburan ke Labuan Bajo sama pasangan masing-masing.”

“Tenang aja, pokonya gue temenin sampai lo ketemu jodoh.”

“Iya deh yang udah nikah mah.”

“Oh iya star, mulai sekarang gue mutusin untuk memulai hal baru. Gue mau Istiqomah untuk pakai hijab, temenin gue ke toko hijab ya.”

“Alhamdulillah, ayo ayo. Gue juga mau belajar untuk Istiqomah moon, biar bisa dapet jodoh kaya kak Harriz juga.”

“Yaudah ayo. Tapi kalo mau Istiqomah harus ikhlas karena Allah, bukan karena pengen jodoh yang lo impikan.”

“Sahabat gue nih, iya iya. Makasih ya, karena lo gue bisa perlahan berubah dikit-dikit.”

“Alhamdulillah.”

“Gimana star, gue cocok ga pake ini?”

“Cocok banget moon!”

“Gue gimana?”

“Udah cakep, mirip orang Arab!”

“Widih kece.”

“Capek juga ya, belanja hijab doang sampai makan waktu dua jam.”

“Capek kan lo, gimana kalo kita makan sushi aja.”

“Ayo deh.”

“Alia?” Seseorang yang memanggil namanya itu benar-benar membuat tubuhnya membeku saat itu juga.

“Moon, lo gapapa kan?”

“L-lo ngapain disini?”

“Gue- mau minta maaf.”

“Gue ga butuh maaf lo! Ayo star.”

“Alia!!”

“Heh! Awas ya lo, jangan coba macem-macem sama Alia kalau gamau leher lo gue kretekin!”

Ya, dia adalah Gabriel Abimana. Entah bagaimana ia bisa berada di tempat yang sama dengan Alia saat itu juga.

“Bagaimanapun caranya, gue harus dapetin cinta Alia lagi.”


“Eh itu Alia ya?”

“Iya anjir, kok sekarang dia pake hijab? Ga cocok banget ga sih?”

“Bener ga cocok.”

“Ada angin apa dia sampe make hijab sekarang?”

Bisikan orang-orang itu membuat Alia sedikit risih dan merasa tidak percaya diri dengan penampilan barunya.

“Ya Allah, kuatkan iman Alia. Alia mau berubah.” Batinnya.

“Eh Alia, tumbenan lo pake hijab ke kampus?”

“Iya tumben amat, btw jangan sakit hati ya. Penampilan lo kaya ibu-ibu mau pengajian.”

“Hahahaha.”


“Assalamualaikum...”

“Alia?”

“Hey, kamu kenapa?”

“Kak? Kapan nyampenya?”

“Baru aja, kamu ga dengar?”

“Maaf kak.”

“Matanya merah, kamu kenapa?”

“Gapapa, cuma kemasukan debu tadi.”

“Sini cerita, kamu kenapa. Jangan dipendam sendiri, tidak baik.”

Tak menjawab pertanyaan Harriz, gadis itu hanya menutup wajahnya sembari menangis.

“Kenapa? Siapa yang bikin Alia nangis?” Ucap Harriz yang kemudian merengkuh tubuh Alia kemudian memeluknya dan mengusap punggung wanita itu.

“Kak...Salah ya kalau Alia mau berubah? Alia tadi ke kampus pakai hijab tapi orang-orang bilang Alia ga cocok pakai hijab.” Gadis itu menceritakan tentang apa yang membuatnya merasa sedih dengan posisi yang masih bersandar di dada Harriz.

“Kamu tau? Itu semua ujian, saat kamu berniat untuk berubah menjadi lebih baik, kamu sudah mendapatkan pahala. Dan Allah senang dengan orang-orang yang mau berubah. Berhijrah itu ada prosesnya, dan hari ini kamu sudah melewati proses pertama, dan kamu hebat sudah melewati semuanya. Karena hijrah itu memang akan selalu berat, tapi selagi kamu ikhlas dan tawakal, Insya Allah, Allah akan menjadikan kamu kuat.” Ucap Harriz sembari mengusap punggung Alia.

“Kamu hebat, sudah mau berubah menjadi lebih baik, dan aku bangga dengan keputusan kamu.”

“Pagi kak.” Sapa Alia saat melihat Harriz yang baru saja turun dari tangga rumahnya.

“Pagi.” Jawab Harriz sembari tersenyum ke arah Alia yang sedang membuat sarapan untuknya.

“Nanti pulangnya jam berapa?” Tanya Alia.

“Kurang tau, kenapa sayang?” Jawab Harriz seraya memeluk tubuh Alia dari arah belakang dan menyandarkan kepalanya pada bahu Alia.

“Nanya aja, aku mau nyiapin sesuatu buat kamu soalnya.”

“Mau nyiapin apa? Jangan capek-capek ya.”

“Tenang aja. Nih sarapannya. Bilang ya kalau ga enak, nanti aku bisa belajar lagi.”

“Sini.”

“Hah?”

“Sini.” Ucap Harriz yang membuat Alia duduk dipangkuannya.

“Aku sudah bilang kan, makanan apapun yang kamu buat dengan tangan yang indah ini akan selalu enak. Di dunia ini tidak ada yang sempurna, tapi untukku, kamu adalah definisi wanita yang sempurna.”

“Makasih ya kak…”

“Jangan capek-capek ya…”

“Iya.”

“Oh iya, abis ini aku mau keluar sama Bintang. Boleh ga?”

“Jadwal kuliah kamu kapan?”

“Jam sebelas. Maih lama juga kan.”

“Tapi hati-hati ya.” “Siap bos!” Jawab Alia dengan cengirannya.

“Aku berangkat ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Hati-hati ya.” Ucap Alia seraya mencium telepak tangan dan punggung tangan Harriz secara bergantian. Terlihat biasa saja menurut sebagian orang, namun bagi Harriz, itu adalah satu hal istimewa yang diberikan oleh istrinya.

“Iya...” Jawab Harriz yang kemudian mencium kening Alia.


“Star, lo bener mau balik abis ini?”

“Iya moon, gue udah ngambil cuti kelamaan. Gue bisa ketinggalan materi lama-lama.”

“Lo sih nyari kampus kejauhan.”

“Ya mau gimana lagi, gue kan bisa sekalian traveling juga.”

“Maunya lo itu mah.”

“Tau lah gue gimana.”

“Oh iya, gimana lo sama kak Harriz?”

“Ya ga gimana-gimana.”

“Cerita apa kek gitu. Dia semenjak nikah ada yang berubah ga?”

“Apa ya? Gaada yang berubah. Tapi sumpah, dia baik banget. Gue bahagia star, bahagia karena bisa kenal sama dia, bahagia karena udah jadi istrinya. Gue gabisa ungkapin semuanya dengan kata-kata, cuma pengen bilang makasih sama dia. Makasih udah jadi suami, sahabat, guru, dan bisa membuat gue merasa pantas untuk dicintai.”

“Baguslah kalau gitu, gue seneng dengarnya. Bahagia terus ya nyet.” Ucap Bintang seraya memeluk sahabatnya itu.

“Lo juga harus bahagia!”

“Tenang aja. Kita sukses bareng-bareng ya. Ntar kita bisa liburan ke Labuan Bajo sama pasangan masing-masing.”

“Tenang aja, pokonya gue temenin sampai lo ketemu jodoh.”

“Iya deh yang udah nikah mah.”

“Oh iya star, mulai sekarang gue mutusin untuk memulai hal baru. Gue mau Istiqomah untuk pakai hijab, temenin gue ke toko hijab ya.”

“Alhamdulillah, ayo ayo. Gue juga mau belajar untuk Istiqomah moon, biar bisa dapet jodoh kaya kak Harriz juga.”

“Yaudah ayo. Tapi kalo mau Istiqomah harus ikhlas karena Allah, bukan karena pengen jodoh yang lo impikan.”

“Sahabat gue nih, iya iya. Makasih ya, karena lo gue bisa perlahan berubah dikit-dikit.”

“Alhamdulillah.”

“Gimana star, gue cocok ga pake ini?”

“Cocok banget moon!”

“Gue gimana?”

“Udah cakep, mirip orang Arab!”

“Widih kece.”

“Capek juga ya, belanja hijab doang sampai makan waktu dua jam.”

“Capek kan lo, gimana kalo kita makan sushi aja.”

“Ayo deh.”

“Alia?” Seseorang yang memanggil namanya itu benar-benar membuat tubuhnya membeku saat itu juga.

“Moon, lo gapapa kan?”

“L-lo ngapain disini?”

“Gue- mau minta maaf.”

“Gue ga butuh maaf lo! Ayo star.”

“Alia!!”

“Heh! Awas ya lo, jangan coba macem-macem sama Alia kalau gamau leher lo gue kretekin!”

Ya, dia adalah Gabriel Abimana. Entah bagaimana ia bisa berada di tempat yang sama dengan Alia saat itu juga.

“Bagaimanapun caranya, gue harus dapetin cinta Alia lagi.”


“Eh itu Alia ya?”

“Iya anjir, kok sekarang dia pake hijab? Ga cocok banget ga sih?”

“Bener ga cocok.”

“Ada angin apa dia sampe make hijab sekarang?”

Bisikan orang-orang itu membuat Alia sedikit risih dan merasa tidak percaya diri dengan penampilan barunya.

“Ya Allah, kuatkan iman Alia. Alia mau berubah.” Batinnya.

“Eh Alia, tumbenan lo pake hijab ke kampus?”

“Iya tumben amat, btw jangan sakit hati ya. Penampilan lo kaya ibu-ibu mau pengajian.”

“Hahahaha.”


“Assalamualaikum...”

“Alia?”

“Hey, kamu kenapa?”

“Kak? Kapan nyampenya?”

“Baru aja, kamu ga dengar?”

“Maaf kak.”

“Matanya merah, kamu kenapa?”

“Gapapa, cuma kemasukan debu tadi.”

“Sini cerita, kamu kenapa. Jangan dipendam sendiri, tidak baik.”

Tak menjawab pertanyaan Harriz, gadis itu hanya menutup wajahnya sembari menangis.

“Kenapa? Siapa yang bikin Alia nangis?” Ucap Harriz yang kemudian merengkuh tubuh Alia kemudian memeluknya dan mengusap punggung wanita itu.

“Kak...Salah ya kalau Alia mau berubah? Alia tadi ke kampus pakai hijab tapi orang-orang bilang Alia ga cocok pakai hijab.” Gadis itu menceritakan tentang apa yang membuatnya merasa sedih dengan posisi yang masih bersandar di dada Harriz.

“Kamu tau? Itu semua ujian, saat kamu berniat untuk berubah menjadi lebih baik, kamu sudah mendapatkan pahala. Dan Allah senang dengan orang-orang yang mau berubah. Berhijrah itu ada prosesnya, dan hari ini kamu sudah melewati proses pertama, dan kamu hebat sudah melewati semuanya. Karena hijrah itu memang akan selalu berat, tapi selagi kamu ikhlas dan tawakal, Insya Allah, Allah akan menjadikan kamu kuat.” Ucap Harriz sembari mengusap punggung Alia.

“Kamu hebat, sudah mau berubah menjadi lebih baik, dan aku bangga dengan keputusan kamu.”

“Pagi kak.” Sapa Alia saat melihat Harriz yang baru saja turun dari tangga rumahnya.

“Pagi.” Jawab Harriz sembari tersenyum ke arah Alia yang sedang membuat sarapan untuknya.

“Nanti pulangnya jam berapa?” Tanya Alia.

“Kurang tau, kenapa sayang?” Jawab Harriz seraya memeluk tubuh Alia dari arah belakang dan menyandarkan kepalanya pada bahu Alia.

“Nanya aja, aku mau nyiapin sesuatu buat kamu soalnya.”

“Mau nyiapin apa? Jangan capek-capek ya.”

“Tenang aja. Nih sarapannya. Bilang ya kalau ga enak, nanti aku bisa belajar lagi.”

“Sini.”

“Hah?”

“Sini.” Ucap Harriz yang membuat Alia duduk dipangkuannya.

“Aku sudah bilang kan, makanan apapun yang kamu buat dengan tangan yang indah ini akan selalu enak. Di dunia ini tidak ada yang sempurna, tapi untukku, kamu adalah definisi wanita yang sempurna.”

“Makasih ya kak…”

“Jangan capek-capek ya…”

“Iya.”

“Oh iya, abis ini aku mau keluar sama Bintang. Boleh ga?”

“Jadwal kuliah kamu kapan?”

“Jam sebelas. Maih lama juga kan.”

“Tapi hati-hati ya.” “Siap bos!” Jawab Alia dengan cengirannya.

“Aku berangkat ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Hati-hati ya.” Ucap Alia seraya mencium telepak tangan dan punggung tangan Harriz secara bergantian. Terlihat biasa saja menurut sebagian orang, namun bagi Harriz, itu adalah satu hal istimewa yang diberikan oleh istrinya.

“Iya...” Jawab Harriz yang kemudian mencium kening Alia.


“Star, lo bener mau balik abis ini?”

“Iya moon, gue udah ngambil cuti kelamaan. Gue bisa ketinggalan materi lama-lama.”

“Lo sih nyari kampus kejauhan.”

“Ya mau gimana lagi, gue kan bisa sekalian traveling juga.”

“Maunya lo itu mah.”

“Tau lah gue gimana.”

“Oh iya, gimana lo sama kak Harriz?”

“Ya ga gimana-gimana.”

“Cerita apa kek gitu. Dia semenjak nikah ada yang berubah ga?”

“Apa ya? Gaada yang berubah. Tapi sumpah, dia baik banget. Gue bahagia star, bahagia karena bisa kenal sama dia, bahagia karena udah jadi istrinya. Gue gabisa ungkapin semuanya dengan kata-kata, cuma pengen bilang makasih sama dia. Makasih udah jadi suami, sahabat, guru, dan bisa membuat gue merasa pantas untuk dicintai.”

“Baguslah kalau gitu, gue seneng dengarnya. Bahagia terus ya nyet.” Ucap Bintang seraya memeluk sahabatnya itu.

“Lo juga harus bahagia!”

“Tenang aja. Kita sukses bareng-bareng ya. Ntar kita bisa liburan ke Labuan Bajo sama pasangan masing-masing.”

“Tenang aja, pokonya gue temenin sampai lo ketemu jodoh.”

“Iya deh yang udah nikah mah.”

“Oh iya star, mulai sekarang gue mutusin untuk memulai hal baru. Gue mau Istiqomah untuk pakai hijab, temenin gue ke toko hijab ya.”

“Alhamdulillah, ayo ayo. Gue juga mau belajar untuk Istiqomah moon, biar bisa dapet jodoh kaya kak Harriz juga.”

“Yaudah ayo. Tapi kalo mau Istiqomah harus ikhlas karena Allah, bukan karena pengen jodoh yang lo impikan.”

“Sahabat gue nih, iya iya. Makasih ya, karena lo gue bisa perlahan berubah dikit-dikit.”

“Alhamdulillah.”

“Gimana star, gue cocok ga pake ini?”

“Cocok banget moon!”

“Gue gimana?”

“Udah cakep, mirip orang Arab!”

“Widih kece.”

“Capek juga ya, belanja hijab doang sampai makan waktu dua jam.”

“Capek kan lo, gimana kalo kita makan sushi aja.”

“Ayo deh.”

“Alia?” Seseorang yang memanggil namanya itu benar-benar membuat tubuhnya membeku saat itu juga.

“Moon, lo gapapa kan?”

“L-lo ngapain disini?”

“Gue- mau minta maaf.”

“Gue ga butuh maaf lo! Ayo star.”

“Alia!!”

“Heh! Awas ya lo, jangan coba macem-macem sama Alia kalau gamau leher lo gue kretekin!”

Ya, dia adalah Gabriel Abimana. Entah bagaimana ia bisa berada di tempat yang sama dengan Alia saat itu juga.

“Bagaimanapun caranya, gue harus dapetin cinta Alia lagi.”


“Eh itu Alia ya?”

“Iya anjir, kok sekarang dia pake hijab? Ga cocok banget ga sih?”

“Bener ga cocok.”

“Ada angin apa dia sampe make hijab sekarang?”

Bisikan orang-orang itu membuat Alia sedikit risih dan merasa tidak percaya diri dengan penampilan barunya.

“Ya Allah, kuatkan iman Alia. Alia mau berubah.” Batinnya.

Hari ini adalah hari dimana sepasang insan disatukan dalam satu ikatan yang sakral yaitu pernikahan.

Alia memutuskan untuk menikah dengan Harriz setelah banyaknya pertimbangan dan juga pesan terakhir dari sang ibunda. Bukan karena keterpaksaan ia menerima pernikahan ini, namun karena takdir dari sang pencipta. Saat-saat dimana ia sedang berada di titik terendah dalam hidupnya, Harriz selalu ada dan mencoba membimbingnya untuk kembali bangkit dan menjalani kehidupan dengan pribadi yang berbeda.

” Minta sama Allah di sepertiga malam dengan kalimat-kalimat yang indah, kita mengambil keputusan tidak selamanya harus sesuai dengan apa yang kita inginkan. Terkadang apa yang kita harapkan itu tak baik, dan yang kita benci itulah yang baik untuk kita.”

” Saya tau Alia, saya tau tentang masalah kamu, saya tau bahwa hati kamu sudah dipatahkan oleh ayahmu, dan itu juga yang membuat kamu ragu untuk menikah. Tapi izinkan saya untuk menyatukan kembali kepingan hati yang hancur itu kembali menyatu dengan cara saya sendiri. Izinkan saya menjadikan kamu ratu dalam hidup saya. Jika harus saya buktikan dengan nyawa, maka akan saya lakukan untuk kamu. Kita memang belum saling mengenal lebih dalam, dan kita juga dipertemukan dengan cara yang tidak pernah terbersit dalam benak saya bahwa saya akan bertemu dengan kamu seperti ini.”

” Alia Humairah, kamu adalah wujud penantian saya selama ini, kamu adalah jawaban dari Sang Maha cinta atas pertanyaan saya selama ini. Demi Allah, setelah mimpi itu, tak ada sedikitpun terbesit dalam benak saya untuk mencintai wanita lain selain kamu. Dan kamu adalah cinta saya setelah Tuhanku, agamaku, Nabi ku, lalu kedua orang tuaku.”

Kalimat itulah yang membuat Alia mantap dengan keputusannya untuk mengikat janji suci dengan Harriz.

“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq.” Kalimat yang keluar dari mulut Harriz benar-benar membuat hati Alia bergetar.

Tangisannya pecah tatkala mendengar ijab qobul yang diucapkan oleh Harriz. Kalimat hamdalah tak henti diucapkan oleh Harriz karena niatnya diberi kelancaran oleh sang Maha Kuasa. Ia tak mampu menahan rasa bahagianya ketika para saksi mengucap kata 'Sah' setelah ia mengucapkan ijab qobul.

“Alia, sekarang kamu milikku, kamu adalah intan permata yang akan selalu kujaga.” Batinnya.

“Alhamdulillah, sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri. Selamat ya nak Harriz dan Alia, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah dan diberikan keturunan yang soleh dan soleha. Ingat, didalam rumah tangga itu akan banyak ujian. Maka dari itu, selalu libatkan Allah dalam setiap tindakan kalian.” Ucap sang penghulu.

“Aamiin, syukuran ustadz.” Jawab Harriz dan tersenyum pada ustadz tersebut yang ternyata merupakan gurunya saat ia menempuh pendidikan di Kairo.

“Syukuran ustadz.” Ucap Alia.

“Kak..” Panggil Alia.

“Kenapa?” Jawab Harriz dengan ciri khasnya yang lembut.

“Salim.”

Harriz tersenyum dan mengelus kepala Alia saat gadis itu mencium tangannya.

“Terima kasih ya, sudah mau memilih saya sebagai pendamping hidup kamu.”

“Alia yang harusnya ngomong kaya gitu, diluar sana juga banyak yang lebih dari Alia.”

“Saya bangga punya kamu. Makasih ya sayang.” Ucap Harriz.

Alia membeku mendengar ucapan Harriz yang selama ini belum pernah ia dengar. 'sayang' hatinya menghangat mendengar ucapan pria itu.

“Mulai sekarang pakai aku kamu aja ya.”

“Iya, aku, kamu.” Ucap Harriz sembari tersenyum dan mengusap tangan wanitanya itu.

“Kak.”

“Kenapa?”

“Kamu wangi banget, hehe.”

“Moon!!!”

“Star!!”

“Lo udah nikah aja...” Bintang menangis di pelukan Alia.

“Ihh jangan nangis...”

“Lo sih!!”

“Lah gue ngapain anjir. Lo aja yang dateng-dateng langsung nangis.”

“Ntar gue gabisa ngajak lo main lagi dong.”

“Boleh lah, iya kan kak.”

Harriz mengangguk dan tersenyum pada Alia.

“Tuh boleh.”

“Awas ya kalo gue ajak lo gamau.”

“Iya iya.”

“Gue mau makan ya moon. Noh hadiah gue paling gede ya. Pake kertas kado Pororo kesukaan lo. Kak, gue permisi ya.”

“Iya.” Jawab Harriz.

“Iya makasih ya. I love you forever star!!”

“I love you forever too nyet!!”

“Ada-ada aja si Bintang.”

Belum sempat Alia duduk, seseorang datang menghampirinya. Fanya datang bersama Fadli dan Desi, istrinya.

“Hai Al.”

“Fanya?!”

“Selamat ya. Gue bahagia banget bisa liat lo bahagia. Kak Harriz, selamat ya. Jagain kakak gue baik-baik.” Ucap Fanya yang kemudian memeluk Alia. Harriz hanya tersenyum menanggapi perkataan Fanya.

“Makasih ya.” Jawab Alia yang juga membalas pelukan Fanya.

“Oh iya, gue mau kesana dulu ya sama temen-temen.”

“Iya.”

“Selamat ya nak, anak ayah udah nikah aja. Harriz, jaga anak ayah ya.” Ucap Fadli sambil memeluk Harriz.

“Iya ayah.” Jawab Harriz.

“Selamat ya nak. Mama bahagia melihat kamu bahagia.” Ucap Desi.

“Makasih ma.”


“Ya Allah capek banget.” Ucap Alia saat ia tiba di hotel bersama Harriz.

“Kak, mau mandi duluan?”

“Kamu duluan saja. Saya- maksudnya, aku belakangan. Nanti kita shalat sunnah dulu ya. Lalu istirahat.”

“Iya...”

Malam ini, pukul 02.00 kedua insan itu mengangkat tangannya seraya berdoa pada Sang Maha Cinta. Lantunan kalimat-kalimat yang indah terucap dari hatinya masing-masing.

Setelah menyelesaikan shalat, Harriz berbaring di paha Alia. Gadis itu terlihat sangat cantik saat memakai mukenah putih susu yang diberikan oleh Harriz.

“Kamu cantik sekali hari ini.” Ucap Harriz seraya memandang Alia lekat-lekat.

“Kak Harriz juga ganteng banget.”

“Oh iya, Alia mau ngucapin makasih kak. Alia ga pernah menduga kalau kak Harriz akan membacakan surah An-nisa untuk Alia di pernikahan kita.”

“Itu adalah salah satu kado untuk kamu.”

“Makasih ya kak. Alia seneng banget.”

“Sama-sama.” Ucap Harriz yang kemudian bangkit dan mencium kening Alia sangat lama.

“Tidur ya, kamu capek.” Ucap Harriz.

“Kakak juga istirahat.”

“Iya sayang.”

Siang itu, Harriz dan kedua orang tuanya berangkat ke rumah sakit tempat Alia dirawat saat setelah kejadian itu, Alia langsung jatuh sakit akibat tak diberi makan dan dibiarkan terkurung di dalam gudang dengan baju yang masih basah akibat hujan selama beberapa saat.

“Harriz, jadi bagaimana keputusan kamu dengan Alia?” Tanya Ustadzah Aisyah yang memecahkan keheningan di mobil itu.

“Harriz masih nunggu waktu yang tepat umi. Lagipula tidak baik kan kalau kita mengambil keputusan dengan terburu-buru.”

“Umi harap kalian bisa secepatnya mengambil keputusan nak, tidak baik jika kalian selalu seperti ini tanpa adanya ikatan yang sah. Takutnya timbul fitnah.”

“Iya umi, setelah Alia pulih juga Harriz akan segera menemui ayah Alia untuk meminta restu.”

“Alhamdulillah..”

Tak lama setelah perbincangan itu, mereka tiba di ruangan tempat Alia dirawat. Satu hal yang membuat Harriz terkejut, Fadli?

“Assalamualaikum…”

“Loh? Pak Harriz?” Ucap Fadli yang sama terkejutnya dengan Harriz.

“Pak Fadli? Alia, kamu?”

“Ayah Alia kak.”

“Ayah?”

“Pak Fadli ini ayah Alia nak, waktu beliau datang di rumah Alia malam itu, kamu sudah pamit ke kantor untuk mengambil berkas kamu yang tertinggal.” Timpal ustadz Hafiz.

“Masya Allah...”

“Kenapa nak?”

“Pak Fadli ini rekan bisnis Harriz, umi.”

“Masya Allah…”

“Oiya, kalian saling kenal? Pak Harriz?” Tanya Fadli.

“Panggil Harriz saja pak, ini bukan jam kantor.” Ucap Harriz.

“Ayah, jadi kak Harriz sama umi dan abi yang selama ini nolongin Alia dan bunda. Saat Alia memilih untuk pindah sekolah, beliau ini yang membantu Alia, sampai saat ini.”

“Ya Allah, terima kasih ya pak, bu, Harriz. Saya berhutang budi sama kalian.”

“Tidak pak, ini sudah kewajiban kami kepada calon menantu kami.” Ucap ustadz Hafiz.

“Calon menantu?” Tanya Fadli.

“Alia… Mau nikah sama kak Harriz yah…”

Fadli yang mendengarnya tersenyum “Kamu memilih laki-laki yang tepat nak.”

“Harriz, tolong jaga putri kecil saya ya. Sayangi dia, dan jangan kamu lukai hatinya. Insya Allah, saya merestui kalian.” Ucap Fadli.

“Makasih ya ayah...” Ucap Alia yang merentangkan tangannya untuk memeluk Fadli.

“Alhamdulillah, terima kasih banyak. Pak Fadli.” Ucap Harriz.

“Panggil ayah aja.” Jawab Fadli.

“Anak ayah... Udah besar kamu nak.” Fadli merasa terharu saat memeluk putrinya itu.

Setelah berbincang-bincang dan bergurau, Fadli memilih untuk pamit dan berangkat ke kantornya.

“Oiya, Harriz ngga meeting?” Tanya Fadli.

“Harriz sudah meminta kepada Jendra untuk mewakili saya pak. Saya memutuskan untuk menjaga Alia hari ini.”

“Kak, mending kak Harriz kerja aja, lagian Bintang mau kesini kok. Jangan hanya karena Alia, kak Harriz jadi ninggalin kerjaan kaya gini. Alia gapapa kok, serius.” Ucap Alia yang meyakinkan Harriz untuk tetap bekerja.

Gadis itu tak ingin menyusahkan orang-orang sekitarnya. Terkadang, ia merutuki dirinya sendiri;

“Kenapa sih fisik gue lemah banget!!”

“Tapi kalau butuh sesuatu, telepon ya.” Ucap pria itu dengan wajah yang khawatir.

“Iya kak.”

“Yasudah, Harriz mau sekalian bareng sama saya ke kantor?” Tanya Fadli.

Harriz tersenyum menanggapi tawaran yang diberikan oleh calon mertuanya itu.

“Mari.”

“Nak, ayah ke kantor dulu ya, kalau butuh sesuatu kabari ayah atau Harriz. Nanti setelah pekerjaan ayah selesai, ayah kesini lagi.” Ucap Fadli sembari memeluk putrinya itu.

“Iya ayah, hati-hati ya.” Jawab Alia yang membalas pelukan Fadli.

“Umi, Abi, Harriz izin mau ke kantor dulu. Alia, saya pamit ya.” “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Tak lama setelah keberangkatan Harriz dan Fadli, ustadz Hafiz mendapat kabar yang mengharuskannya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya tersebut. Begitu juga dengan ustadzah Aisyah yang harus berangkat ke ruangannya yang kebetulan berada di rumah sakit yang sama dengan tempat Alia dirawat. Ia harus melayani pasiennya.

“Nak, umi sama abi harus bekerja, gapapa kami tinggal? Teman kamu datangnya jam berapa?” Tanya ustadz Hafiz.

“Iya Abi, umi, alia gapapa kok disini sendirian. Bintang udah ada di lantai bawah, kayanya lagi beli minum di kantin rumah sakit.”

“Alhamdulillah, kalau begitu kami pamit dulu ya. Nanti umi kesini lagi.”

“Iya umi.”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Buset Bintang beli minum apa lagi bikin skripsi? Lama amat.”

“Moon!!!” Seseorang berteriak saat memasuki ruangan tempat sahabatnya itu dirawat sehingga membuat orang yang berada di ruangan itu terkejut hingga hampir menjatuhkan ponsel yang ia genggam.

“Astaghfirullah ya Allah Subhanallah Alhamdulillah.” Alia terkejut saat mendengar teriakan Bintang yang memasuki ruangan itu tanpa mengucap salam.

“Kangen!!!” Gadis itu kembali berteriak saat melihat sahabatnya itu.

“Pelan-pelan woy, ini rumah sakit anjir.”

“Maap, gue kangen banget soalnya.”

“Kalo kangen ngapain kosplai jadi patung disitu?”

“Alia.... Kangen....” Bintang merentangkan tangannya untuk memeluk Alia.

“Gue juga kangen...”

“Oh iya, gue bawa sesuatu nih.”

“Apa?”

“Taraaaa!!!”

Mata Alia berbinar saat melihat benda yang dikeluarkan oleh Bintang dari tasnya. Sebuah music box unicorn berwarna pink.

“Star... Cantik banget...”

“Eh jangan nangis, jelek banget kalo nangis.”

“Makasih ya.”

“Untuk?”

“Music box ini. Gue suka banget.”

“Ini doang, gausah lebay.”

“Lo yang lebay!”

“Lo!”

“Lo lebay Alia! Gitu doang nangis.”

“Oiya, gue mau cerita sesuatu.”

“Apaan?”

“Gue udah ketemu sama ayah kandung gue.”

“HAH?! BENERAN?!”

“IYA BENERAN!!”

'Tok..tok..' suara ketukan pintu itu membuat mereka terdiam seketika bersamaan dengan masuknya seorang perawat kedalam ruangan itu.

“Maaf ya kak, suaranya dikecilkan sedikit. Takutnya pasien lain bisa terganggu.”

“Maaf suster, temen saya congornya gede soalnya.” Ucap Bintang yang kemudian mendapat pukulan kecil dari Alia.

“Ada-ada aja anak muda jaman sekarang.” Ucap suster itu sebelum meninggalkan ruang rawat Alia.

“Elo sih.”

“Elo juga berisik!”

“Ah buruan lanjut yang tadi.”

“Jadi, papanya Fanya ternyata ayah gue. Ayah kandung gue.”

“Hah kok bisa?!”

“Dia udah cerita semuanya star. Dulu pas gue masih bayi banget, ayah dipaksa untuk cerai sama bunda karna pernikahan mereka ga direstui sama orang tua ayah. Dan ga lama setelah bunda dan ayah pisah, ternyata ayah dijodohin sama perempuan yang bahkan ayah sendiri gaada rasa cinta untuk perempuan itu sampai sekarang. Perempuan itu adalah mamanya Fanya yang saat itu, Fanya juga masih kecil, sumuran sama kita. Papanya Fanya meninggal saat itu. Setelah umur gue lima bulan, bunda nikah sama ayah Hendri. Dan bunda sengaja menyembunyikan fakta bahwa ayah Hendri bukan ayah kandung gue.”

“Satu sisi gue sedih, tapi disatu sisi, gue juga bahagia.” Ucap Alia.

“Sedih ya ternyata. But wait, jadi... Yang lagi ramai di base sekolah itu lo?! Lo yang hampir dicelakai sama Fanya?!”

“Sttt, diem jangan berisik.”

“Jawab gue!!”

“Heh, jawab anjir!!”

“Tapi lo jangan bilang orang-orang.”

“Astaga Alia!! Kenapa lo baru cerita sih!!”

“Maap.”

“Miip, ngeselin lo!”

“Where’s my phone?” Seorang gadis bergumam saat ia tak mendapati dompet didalam tasnya.

“Ya ketinggalan lah.” Timpal lelaki di sebelahnya, yang tak lain adalah kekasihnya sendiri.

“Ck! Yaudah tunggu bentar, aku ambil di kamar kayanya.”

“Buruan ntar filmnya mulai duluan, kamu ntar ngomel gabisa shopping duluan.”

“Gue kok belakangan ini pikunan ya...” Ia terus saja bergumam, hingga saat ia membuka pintu rumahnya.

“Bangsat!” Ucapnya dalam hati.

“ALIA!!” Teriak Fanya saat melihat apa yang terjadi di hadapannya.

Kenapa papahnya berlutut dihadapan Alia yang jelas-jelas adalah rivalnya sejak SMA? Perasaan Fanya campur aduk antara marah dan sedih, ada apa sebenarnya antara papahnya dan Alia?

“OH JADI INI YA KERJAAN LO ITU?! LO JADI SIMPENAN PAPA GUE SELAMA INI?! GA TAU MALU LO JADI CEWE!” Fanya yang hendak menampar Alia dihentikan oleh Fadli.

“Fanya! Jangan sekali kali kamu menyentuh anak saya.” Tegas Fadli.

Anak? Semoga yang ada di dalam pikirannya itu salah.

“Anak? Pah, anak papa tuh Fanya bukan Alia!”

“Papah! Jawab!”

“Alia…Anak papa.” Jawab Fadli. Damn, hancur sudah. Ia berharap apa yang dikatakan oleh papanya adalah sebuah kebohongan yang tak mau ia ketahui kebenarannya, tak akan pernah.

Rasa bencinya semakin menjadi-jadi saat ia mendengar jawaban yang seharusnya tak pernah ia dengar. Jadi Alia adalah saudara tirinya?

“ARGHH BOONG! PAPA BOONG!! PERGI LO!” Fanya mendorong Alia hingga ia terjatuh dan mengusirnya dari rumah itu.

“FANYA!” Bentak Fadli.

“PERGI ALIA! PERGI!!” Fanya tak dapat mengendalikan amarahnya, hingga tak sadar lutut Alia terluka akibat dorongan Fanya yang cukup kuat.

Saat Alia sudah tak terlihat di hadapannya, ia segera kembali ke dalam rumahnya untuk mrminta penjelasan tentang apa yang terjadi.

“PAH JELASIN SEMUANYA!” “Anak kandung papa yang sebenarnya adalah Alia.”

Gadis itu tersenyum miring menanggapi jawaban yang dilontarkan oleh pria dihadapannya itu.

“Jadi ternyata ini alasan papa selalu bersikap kasar sama Fanya? KENAPA PAH? KENAPA?!”

Fadli tak menanggapi gadis itu dan meninggalkannya sendiri.

“Pah, sampai kapanpun Fanya gaakan menerima Alia!” Umpat gadis itu.

“Gue benci lo Alia!” Batinnya.

“Sayang kok lama banget sih?” Tanya kekasihnya saat ia sudah kembali.

“Aku mau balas dendam.”

“Hah? Hahaha ngaco banget, mau balas dendam sama siapa?”

“Alia Humairah.” Jawabnya dengan tatapan tajam.

“Alia? Alia temen seangkatan kamu itu kan? Kmau ada masalah apa sama dia?”

“Dia udah merebut papa dari aku.”

“Kamu kenapa sih? Kayanya hari ini ngaco banget sumpah.”

“Aku serius!”

“Oke oke, aku harus ngapain?”

“Let me tell you the plan.”

“Easy babe.”


“Pemakaman? Ngapain kesini?” Tanya kekasihnya itu.

“Itu Alia! Liat ga sih?”

“Liat, itu makam siapa?”

“Bundanya.”

“What? Bundanya?”

“Iya, udah ada sebulan kali.”

“Oh my gosh, idk. poor girl.”

“Heh! Fokus dong! Mana ujan juga.”

“Eh eh dia pingsan.”

“Buruan bawa ke mobil!”

Setelah penuh perjuangan, mereka membawa Alia menuju rumah yang terlihat sangat mewah. Ya, itu adalah rumah Gabriel Abimana yang tak lain merupakan kekasih dari Fanya.

“Kita bawa ke gudang aja yang.”

“Iya sabar.”

“Iket. Aku mau ngambil lemon juice dulu untuk tamu kita nanti.”

“Oke.”

“Alia, i'm sorry but i should do this.”

“Kak Harriz...” Lirih gadis itu.

“Who's Harriz?”

“GABRIEL?!” Alia terkejut saat melihat Gabriel yang berada dan dihadapannya namun kepalanya masih terasa pusing. Dan apa ini? Badannya terasa sulit untuk bergerak.

“Lo bawa gue kemana!”

“Rumah gue.” Jawab pria itu dengan santainya.

“Lepasin ga?!”

“Not that easy girl.”

“Nih, password nya apaan!” Ujarnya saat menyodorkan ponsel itu pada pemiliknya.

“Mau ngapain lo?!”

“Kasi tau gue password-nya atau Harriz yang lo sebut itu akan celaka.”

“Anjing.”

“Buruan!”

“Dunia sementara akhirat selamanya.” Ketus Alia.

“Bwhahahahaha password lo masih sama ternyata.” Pria itu tertawa saat mengetahui password ponsel Alia yang ternyata masih sama saat pertama kali mereka pacaran dulu.

“Itu disuruh bunda gue ya!!”

“Iya tau.”

“Mana kontak Harriz disini...Nah ini dia.” Pria itu bermonolog dengan dirinya sendiri saat sedang mencari kontak Harriz di ponsel Alia.

“Oke sip. Selesai, tinggal nunggu aja. Gue pengen lihat seganteng apa sih Harriz itu.”

“Jauh lebih ganteng daripada lo!”

“Masa sih babe.”

“Nih lo ngomong! Orangnya udah didepan. Bilang di ruangan lantai dua sebelah kiri.” Perintah Gabriel.

“Aaaa!!!” Alia menjerit saat Gabriel mematikan lampu ruangan itu sehingga yang Alia lihat hanyalah kegelapan. Dan ia phobia terhadap kegelapan sehingga membuat keringat dingin mengucur tubuhnya.

“Kak tolongin Alia...”

“Kakak masuk aja, ada ruangan di lantai dua sebelah kiri. Tolong kak, disini gelap banget Alia takut...”

Lalu setelah itu Gabriel meninggalkan Alia dan bersembunyi dibalik tirai pada ruangan itu sampai Harriz masuk kedalam.

Dan benar saja, tak lama kemudian Harriz datang dan membuat Gabriel segera menyalakan lampu ruangan itu.

“Bener kata Alia, he's so handsome. More than me.” Batinnya.

“Stay cool, Gabriel.”

“Wow wow, jadi ini calon suami lo itu, doobie?”

“Siapa kamu?”

“Gue? Gue pacar Alia.”

“Bohong! Dia bukan pacar Alia kak!”

“Jangan gitu dong sayang, kamu lupa kita udah ngapain hmmm?” Tangan Gabriel ditepis oleh Harriz.

“Jangan pernah menyentuh wanita saya.” “Nyentuh ya? Kalo sekedar nyentuh sih udah biasa ya doobie. We’ve done more.” Ucap pria itu dengan senyum seringai.

Harriz tak menanggapi pria itu, dan segera melepas ikatan Alia pada kursi.

“Hey, jangan buru-buru dong, iya kan sayang?” Satu lagi, seorang gadis muncul dengan membawa nampan yang berisi beberapa gelas jus lemon, lalu mengunci pintu ruangan itu.

“Minum dulu yuk, saudaraku…” Gadis itu tersenyum miring saat mengucap kata ‘saudara’. Saat hendak memberi Alia minum, gelas itu dilempar oleh Harriz, sehingga membuat pria yang satu lagi hendak memukul kepala Harriz dengan tongkat besi. Namun belum tongkat itu menyentuh Harriz, pintu ruangan itu rubuh akibat didobrak oleh beberapa orang polisi.

“Angkat tangan kalian!” “WHAT THE HELL IS GOING ON?!” “Pak saya ngga salah pak!” Mereka mencoba membela diri saat itu namun tak bisa.

“Jelaskan di kantor polisi nanti!”

“Ini semua karena ide gila lo itu tau ga?!” Bentak Gabriel pada Fanya.

“Diem bisa ga sih?!” Ucap Fanya.


“Selamat malam, dengan bapak Fadli?”

“Kami dari kepolisian ingin meminta bapak untuk segera datake kantor kami karena anak bapak menjadi salah satu tersangka kasus percobaan pembunuhan berencana.”

“Baik, kami tunggu kedatangannya.” Ujar salah satu polisi yang menghubungi keluarga Fanya dan Gabriel.

Beberapa menit kemudian, Fadli dengan istrinya datang dengan ekspresi wajah yang sangat Fanya takuti.

“Pah...” Saat Fanya hendak mencium tangannya, Fadli menepisnya dan menampar gadis itu.

'plak!!'

“Papa kecewa sama kamu.” Ucapnya dengan penuh tekanan dan menunjuk ke wajah Fanya.

“Papa mau kemana pa? Ma, papa mau kemana? Tolongin Fanya ma...”

“Tunggu sampai papa tenang, mama gabisa berbuat banyak.” Tegas mamanya.

“Tunggu balasan lo Alia!” Batin Fanya.