sorry i can't

Setelah meeting sore itu, Harriz memilih untuk segera pulang dan menyelesaikan semua pekerjaannya. Walaupun ia bisa dibilang cukup mapan, namun rasa tanggung jawab dan kerja kerasnya tak bisa diragukan. Prinsip Harriz adalah;

“Semuanya cuma titipan dari Allah, dan sewaktu-waktu bisa direnggut. Makanya kita harus banyakin bersyukur dan melakukan semuanya dengan ikhlas biar dapat berkahnya.”

Namun saat ingin keluar dari lobby, seseorang memanggilnya, sehingga membuat pria itu berbalik.

“Mr. Harriz!”

“Ya? What's going on?”

“This is a personal matter, can we talk for a moment?”

“My secretary must join with us too.”

“Ah ok, i'll send a message later.”

“Sure.”

“Thank you so much.” Wanita itu hendak bersalaman dengan Harriz, namun pria itu menolak.

“Sorry, i can't.”

“Ah sorry.”


“Ya Allah, capek banget.” Keluh Alia saat berbaring di kasurnya.

“Biasanya kalau capek gini, bunda selalu buatin susu coklat kesukaan gue.”

“Jadi kangen bunda.” Gadis itu bermonolog dengan dirinya sendiri. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke suatu tempat.

“Pak, saya mau bunga yang seger ya. Yang paling wangi pokoknya.” Ucapnya pada seorang pedagang bunga.

“Ini neng, yang paling wangi untuk yang tersayang.”

“Bisa aja bapak. Ini uangnya, makasih ya pak.”

“Sama-sama neng cantik.”

“Oiya pak, doain saya ya biar lancar kuliahnya.”

“Aamiin, neng. Emang kuliah jurusan apa?”

“Kedokteran pak.”

“Wah, lancar ya neng kuliahnya biar bisa ngobatin orang banyak.”

“Aamiin, makasi banyak ya pak. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam neng.”

Perlahan ia melangkah menuju tempat yang sedari tadi ingin ia kunjungi.

“Assalamualaikum bunda.” Ya, Alia memilih datang ke makam bundanya sore itu, dan bercerita semua yang terjadi padanya.

“Bunda ngga kangen Alia? Kenapa ga pernah datang di mimpi Alia lagi?” Perlahan air matanya jatuh saat ia bercerita di makam bundanya.

“Bunda, sekarang Alia udah kuliah dan Insya Allah akan jadi dokter. Alia mau ngobatin orang-orang biar bisa sembuh dan bahagia sama keluarganya. Bunda tau ngga? Alia udah nyoba untuk menerima kak Harriz, tapi Alia harus gimana bunda, Alia ga tau ayah dimana. Siapa yang akan jadi wali Alia nanti...” Dadanya begitu sesak saat mengeluarkan semua keluh kesahnya.

“Kemana lagi Alia harus nyari keberadaan ayah Bun...Kemana...” Tangisnya semakin menjadi, namun ia harus mengendalikan dirinya saat ini.

“Alia...iri melihat teman-teman Alia yang dekat dengan ayahnya. Ngga kaya Alia yang bahkan ayah kandung Alia sendi ga tau dimana keberadaannya. Alia iri bunda...”

Gadis itu menghabiskan waktunya bercerita dan menangis di samping makam bundanya.

Setelah cukup tenang, ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya karena hari juga sudah mulai gelap.

“Bunda, maaf ya Alia ga bisa lama-lama. Kata bunda kan Alia harus pulang sebelum magrib. Maaf ya bunda, Alia pamit.” Ucapnya sembari menghapus air matanya.

“Assalamualaikum bunda...”