Laki-laki yang tepat
Siang itu, Harriz dan kedua orang tuanya berangkat ke rumah sakit tempat Alia dirawat saat setelah kejadian itu, Alia langsung jatuh sakit akibat tak diberi makan dan dibiarkan terkurung di dalam gudang dengan baju yang masih basah akibat hujan selama beberapa saat.
“Harriz, jadi bagaimana keputusan kamu dengan Alia?” Tanya Ustadzah Aisyah yang memecahkan keheningan di mobil itu.
“Harriz masih nunggu waktu yang tepat umi. Lagipula tidak baik kan kalau kita mengambil keputusan dengan terburu-buru.”
“Umi harap kalian bisa secepatnya mengambil keputusan nak, tidak baik jika kalian selalu seperti ini tanpa adanya ikatan yang sah. Takutnya timbul fitnah.”
“Iya umi, setelah Alia pulih juga Harriz akan segera menemui ayah Alia untuk meminta restu.”
“Alhamdulillah..”
Tak lama setelah perbincangan itu, mereka tiba di ruangan tempat Alia dirawat. Satu hal yang membuat Harriz terkejut, Fadli?
“Assalamualaikum…”
“Loh? Pak Harriz?” Ucap Fadli yang sama terkejutnya dengan Harriz.
“Pak Fadli? Alia, kamu?”
“Ayah Alia kak.”
“Ayah?”
“Pak Fadli ini ayah Alia nak, waktu beliau datang di rumah Alia malam itu, kamu sudah pamit ke kantor untuk mengambil berkas kamu yang tertinggal.” Timpal ustadz Hafiz.
“Masya Allah...”
“Kenapa nak?”
“Pak Fadli ini rekan bisnis Harriz, umi.”
“Masya Allah…”
“Oiya, kalian saling kenal? Pak Harriz?” Tanya Fadli.
“Panggil Harriz saja pak, ini bukan jam kantor.” Ucap Harriz.
“Ayah, jadi kak Harriz sama umi dan abi yang selama ini nolongin Alia dan bunda. Saat Alia memilih untuk pindah sekolah, beliau ini yang membantu Alia, sampai saat ini.”
“Ya Allah, terima kasih ya pak, bu, Harriz. Saya berhutang budi sama kalian.”
“Tidak pak, ini sudah kewajiban kami kepada calon menantu kami.” Ucap ustadz Hafiz.
“Calon menantu?” Tanya Fadli.
“Alia… Mau nikah sama kak Harriz yah…”
Fadli yang mendengarnya tersenyum “Kamu memilih laki-laki yang tepat nak.”
“Harriz, tolong jaga putri kecil saya ya. Sayangi dia, dan jangan kamu lukai hatinya. Insya Allah, saya merestui kalian.” Ucap Fadli.
“Makasih ya ayah...” Ucap Alia yang merentangkan tangannya untuk memeluk Fadli.
“Alhamdulillah, terima kasih banyak. Pak Fadli.” Ucap Harriz.
“Panggil ayah aja.” Jawab Fadli.
“Anak ayah... Udah besar kamu nak.” Fadli merasa terharu saat memeluk putrinya itu.
Setelah berbincang-bincang dan bergurau, Fadli memilih untuk pamit dan berangkat ke kantornya.
“Oiya, Harriz ngga meeting?” Tanya Fadli.
“Harriz sudah meminta kepada Jendra untuk mewakili saya pak. Saya memutuskan untuk menjaga Alia hari ini.”
“Kak, mending kak Harriz kerja aja, lagian Bintang mau kesini kok. Jangan hanya karena Alia, kak Harriz jadi ninggalin kerjaan kaya gini. Alia gapapa kok, serius.” Ucap Alia yang meyakinkan Harriz untuk tetap bekerja.
Gadis itu tak ingin menyusahkan orang-orang sekitarnya. Terkadang, ia merutuki dirinya sendiri;
“Kenapa sih fisik gue lemah banget!!”
“Tapi kalau butuh sesuatu, telepon ya.” Ucap pria itu dengan wajah yang khawatir.
“Iya kak.”
“Yasudah, Harriz mau sekalian bareng sama saya ke kantor?” Tanya Fadli.
Harriz tersenyum menanggapi tawaran yang diberikan oleh calon mertuanya itu.
“Mari.”
“Nak, ayah ke kantor dulu ya, kalau butuh sesuatu kabari ayah atau Harriz. Nanti setelah pekerjaan ayah selesai, ayah kesini lagi.” Ucap Fadli sembari memeluk putrinya itu.
“Iya ayah, hati-hati ya.” Jawab Alia yang membalas pelukan Fadli.
“Umi, Abi, Harriz izin mau ke kantor dulu. Alia, saya pamit ya.” “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Tak lama setelah keberangkatan Harriz dan Fadli, ustadz Hafiz mendapat kabar yang mengharuskannya untuk segera menyelesaikan pekerjaannya tersebut. Begitu juga dengan ustadzah Aisyah yang harus berangkat ke ruangannya yang kebetulan berada di rumah sakit yang sama dengan tempat Alia dirawat. Ia harus melayani pasiennya.
“Nak, umi sama abi harus bekerja, gapapa kami tinggal? Teman kamu datangnya jam berapa?” Tanya ustadz Hafiz.
“Iya Abi, umi, alia gapapa kok disini sendirian. Bintang udah ada di lantai bawah, kayanya lagi beli minum di kantin rumah sakit.”
“Alhamdulillah, kalau begitu kami pamit dulu ya. Nanti umi kesini lagi.”
“Iya umi.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Buset Bintang beli minum apa lagi bikin skripsi? Lama amat.”
“Moon!!!” Seseorang berteriak saat memasuki ruangan tempat sahabatnya itu dirawat sehingga membuat orang yang berada di ruangan itu terkejut hingga hampir menjatuhkan ponsel yang ia genggam.
“Astaghfirullah ya Allah Subhanallah Alhamdulillah.” Alia terkejut saat mendengar teriakan Bintang yang memasuki ruangan itu tanpa mengucap salam.
“Kangen!!!” Gadis itu kembali berteriak saat melihat sahabatnya itu.
“Pelan-pelan woy, ini rumah sakit anjir.”
“Maap, gue kangen banget soalnya.”
“Kalo kangen ngapain kosplai jadi patung disitu?”
“Alia.... Kangen....” Bintang merentangkan tangannya untuk memeluk Alia.
“Gue juga kangen...”
“Oh iya, gue bawa sesuatu nih.”
“Apa?”
“Taraaaa!!!”
Mata Alia berbinar saat melihat benda yang dikeluarkan oleh Bintang dari tasnya. Sebuah music box unicorn berwarna pink.
“Star... Cantik banget...”
“Eh jangan nangis, jelek banget kalo nangis.”
“Makasih ya.”
“Untuk?”
“Music box ini. Gue suka banget.”
“Ini doang, gausah lebay.”
“Lo yang lebay!”
“Lo!”
“Lo lebay Alia! Gitu doang nangis.”
“Oiya, gue mau cerita sesuatu.”
“Apaan?”
“Gue udah ketemu sama ayah kandung gue.”
“HAH?! BENERAN?!”
“IYA BENERAN!!”
'Tok..tok..' suara ketukan pintu itu membuat mereka terdiam seketika bersamaan dengan masuknya seorang perawat kedalam ruangan itu.
“Maaf ya kak, suaranya dikecilkan sedikit. Takutnya pasien lain bisa terganggu.”
“Maaf suster, temen saya congornya gede soalnya.” Ucap Bintang yang kemudian mendapat pukulan kecil dari Alia.
“Ada-ada aja anak muda jaman sekarang.” Ucap suster itu sebelum meninggalkan ruang rawat Alia.
“Elo sih.”
“Elo juga berisik!”
“Ah buruan lanjut yang tadi.”
“Jadi, papanya Fanya ternyata ayah gue. Ayah kandung gue.”
“Hah kok bisa?!”
“Dia udah cerita semuanya star. Dulu pas gue masih bayi banget, ayah dipaksa untuk cerai sama bunda karna pernikahan mereka ga direstui sama orang tua ayah. Dan ga lama setelah bunda dan ayah pisah, ternyata ayah dijodohin sama perempuan yang bahkan ayah sendiri gaada rasa cinta untuk perempuan itu sampai sekarang. Perempuan itu adalah mamanya Fanya yang saat itu, Fanya juga masih kecil, sumuran sama kita. Papanya Fanya meninggal saat itu. Setelah umur gue lima bulan, bunda nikah sama ayah Hendri. Dan bunda sengaja menyembunyikan fakta bahwa ayah Hendri bukan ayah kandung gue.”
“Satu sisi gue sedih, tapi disatu sisi, gue juga bahagia.” Ucap Alia.
“Sedih ya ternyata. But wait, jadi... Yang lagi ramai di base sekolah itu lo?! Lo yang hampir dicelakai sama Fanya?!”
“Sttt, diem jangan berisik.”
“Jawab gue!!”
“Heh, jawab anjir!!”
“Tapi lo jangan bilang orang-orang.”
“Astaga Alia!! Kenapa lo baru cerita sih!!”
“Maap.”
“Miip, ngeselin lo!”