Dufan

Langit sudah mulai berubah warna menjadi orange, namun dua orang gadis yang berada di rooftop gedung fakultas kedokteran itu masih fokus pada laptopnya masing-masing dan juga beberapa tumpuk buku yang cukup tebal. Desiran angin senja yang membuat kulit mereka sedikit bergidik.

“Akhirnya…” Fanya melakukan peregangan setelah menyelesaikan pekerjaannya itu.

Berbeda dengan Alia, gadis itu masih duduk dan memandang langit senja yang sudah jarang ia lihat belakangan ini.

“Pinggang gue pegel anjir.”

“Sama, abis ini lo langsung balik? Apa mau ngikut gue ke café?”

“Gue langsung balik aja deh, mau istirahat.”

“Oke, lo balik sendiri?”

“Dijemput kak Harriz.”

“Alia, nikah itu…Enak ga sih?”

“Lo mau tau?”

“Mau!”

“Nikah!” Tegas Alia sebelum ia meninggalkan Fanya yang masih berdiam di bangku kayu yang berada di tempat itu.

“GUE TAU LO UDAH NIKAH! TAPI GA GINI JUGA ANJIR!” Teriakan Fanya itu hanya ditanggapi Alia dengan melambaikan tangannya sembari berjalan menuruni tangga.

“Gue juga pengen nikah…”


“Halo suami!” Alia menampakkan kepalanya saat Harriz menurunkan kaca mobilnya tepat di depan pedagang tahu bulat langganan Alia.

“Assalamualaikum.”

“Lupa, Waalaikumsalam.” Cengirannya itu sontak saja membuat Harriz tersenyum.

“Itu apa?” Tanya Harriz.

“Tahu bulat, mau?” Tawar Alia.

“Masuk dulu.”

“Oh iya lupa.”

“Nih, Bismillah aaaa…” Alia menyuapi tahu bulat yang ia beli pada Harriz.

“Enak?” Sambungnya.

Harriz tersenyum sembari mengunyah tahu bulat yang baru saja disuapi Alia, ia mengusap kepala istrinya itu dengan lembut sehingga membuat Alia ikut tersenyum.

“Kak.”

“Hmmm, kenapa?”

“Sini deh deketan dikit.” Ucapan Alia itu membuat Harriz sedikit memajukan wajahnya agar lebih dekat dengan Alia.

“Iiiiiiiih gemes!!!!” Gadis itu mencubit gemas pipi suaminya hingga berbekas merah.

“Aduh! Sakit.” Keluh Harriz.

“Aku gemes, pipi kamu chubby banget.” Ucap Alia dengan cengirannya.

“Bagaimana tugasnya, sudah selesai?” Tanya Harriz seraya menjalankan mobilnya itu.

“Uwah.” Jawab Alia yang masih saja mengunyah tahu bulatnya.

“Ya Allah, pelan-pelan makannya sayang.” Harriz membersihkan sisa-sisa bumbu tahu bulat dibibir Alia menggunakan tangan kirinya dengan tatapan yang fokus ke jalan raya.

“Enak kak.”

“Tapi pelan-pelan ya makannya.”

“Ini mau kemana? Kok belok kiri?”

“Dufan?”

“MAU!!”