Bundaku, Kenapa?
Di lorong rumah sakit itu Alia berlari mencari kamar inap bundanya tanpa memperdulikan baju seragamnya yang masih basah.
“Suster, pasien atas nama Yasmin di kamar berapa?”
“Kamar melati dua kak.”
“Makasih sus.”
“Neng Alia!” Panggil Nurdin, tetangga Alia.
“Mang Nurdin, bunda Alia gimana?”
“Bunda kamu masih diperiksa sama dokter neng, kayanya bentar lagi selesai.”
“Kok bunda bisa pingsan?”
“Tadi mamang mau ke kebun terus lewat depan rumah kamu, Bu Yasmin udah pingsan. Terus mamang sama warga yang lain bantuin ke rumah sakit.”
“Makasih banyak ya mang, Alia gatau harus balas kebaikan kalian dengan cara apa.”
“Ini udah adab dalam bertetangga neng, saling membantu. Kita juga ikhlas ngebantu.”
“Keluarga Bu Yasmin?” Tanya dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu.
“Saya anaknya dok. Bunda saya sakit apa ya?”
“Bu Yasmin menderita leukemia stadium tiga, yang mengakibatkan penderitanya mengalami nyeri pada sendi atau tulangnya, mimisan, pusing, demam dan masih banyak lagi. Mungkin Bu Yasmin tidak pernah memeriksakan penyakitnya dan terlalu memaksakan dirinya untuk bekerja walau tubuhnya sudah tidak mampu. Untuk pengobatannya bisa dilakukan tiap minggu dan jangan sampai putus obat ya. Kalau begitu saya permisi.”
Detik itu juga Alia terjatuh ke lantai dan tak mampu menahan air matanya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
“Udah separah ini dan bunda ga pernah cerita.”
“Bunda sakit banget ya...” Lirihnya saat melihat bundanya yang tertidur dengan wajah yang pucat.
“Neng yang sabar ya.”
“Alia!”
“Star... Bunda gue...” Lirih Alia.
“B-bunda kenapa Al?”
“Bundanya Alia sakit leukimia neng.” Timpal Nurdin yang membuat Bintang mengeratkan pelukannya pada Alia dan ikut meneteskan air matanya.
“Al, sabar ya. Bunda pasti sembuh kok.”
“Gue gagal jadi anak, harusnya gue aja yang kerja. Gara-gara gue bunda jadi sakit.”
“ALo jangan pernah nyalahin diri sendiri, nanti kalau bunda tau bisa sedih.”
“Assalamualaikum Alia.”
“Ustadzah...”
“Gimana bunda kamu nak?”
“Bunda sakit leukimia ustadzah. Gara-gara Alia.”
“Al...” Timpal Bintang.
“Ya Allah nak.” Lirih ustadzah Aisyah seraya memeluk Alia.
“Ini sudah takdirnya nak, jangan kamu menyalahkan diri kamu. Karena sesungguhnya takdir Allah itu lebih baik daripada rencana kita sebagai hamba-Nya. Bisa saja dengan penyakitnya ini bunda kamu bisa digugurkan dosa-dosanya, dan membuat kita lebih dekat dengan Allah. Tugas kita cukup berdoa dan berusaha nak, agar bunda kamu bisa sembuh lagi.” Ucap ustadzah Aisyah seraya mengelus punggung Alia dengan lembut dan menenangkan gadis itu.