Nangis Aja, Bim.
Pundak gue selalu ada untuk orang yang juga selalu meminjamkan bahunya saat gue ga mampu lagi menahan air mata.
Saat kedua remaja itu sedang menikmati makanannya, mereka dikejutkan dengan notifikasi ponsel Ataya yang terus berbunyi dan menampilkan nama Karin disana.
“Bim, Karin ngechat gue.” Ucap Ataya seraya membaca pesan dari Karin.
“Kenapa? Bilang apa dia?”
“Mama lo…”
“Shit!” Umpat Bima saat mengecek ponselnya yang ternyata mati karena lowbat.
Detik itu juga Bima berhenti mengunyah makanannya dan memakai jaketnya “Aya, kali ini pulang naik angkot dulu gapapa?” Tanya Bima dengan wajah cemasnya.
“Gue ikut, Bim.”
“Tapi-“
“Gue ikut.”
“Hufttt… Yaudah ayo.”
Diperjalanan, mereka hanya diam dan saling bertengkar dengan isi kepalanya masing-masing. Sore itu, angin benar-benar berhembus begitu kencang sehingga membuat Ataya memeluk dirinya sendiri karena kedinginan. Bima yang melihat itu dari kaca spionnya, seketika memberhentikan motornya dan melepaskan jaketnya.
“Lho? Kenapa berhenti Bim? Ayo buruan.”
“Pake.” Ucap Bima sembari memberikan jaketnya pada Ataya.
“Gausah Bim, pake aja.”
“Aya, pake.”
“Bima, gausah. Ayo buruan, kasian Mama lo sama Karin.” Jawaban Ataya itu membuat Bima mendecak dan memakaikan jaketnya itu pada Ataya.
“Kalau gue bilang pake, pake Aya.” Bisik Bima di telinga Ataya.
“Ayo buruan naik.”
***
“Kak Bim!!” Teriak Karin saat melihat Bima yang telah tiba di halaman rumahnya.
“Mama!”
“JAHAT! JAHAT! KENAPA HARUS WANITA ITU?! JAHAT!!” Wanita paruh baya itu terus mencoba untuk melukai dirinya dengan memukul kepalanya dengan tangan dan menjambak rambutnya sendiri. Namun Karin dan Bima berusaha untuk memeluknya dan menahan tangannya.
“Ma, udah ma. Jangan lukai diri mama. Udah ya…” Ucap Bima seraya memeluk mamanya.
“Kenapa harus perempuan itu?! Bima…”
“Iya ma… Udah ya, mama jangan gini lagi. Bima sayang sama mama.” Pria itu mengelus pundak mamanya dan menenangkan wanita itu.
“Mama udah makan dek?” Tanya Bima pada Karin.
“Udah, tapi baru makan dikit makanannya dilempar. Obatnya juga belum diminum.” Jawab Karin seraya menoleh ke arah pecahan piring dan gelas yag masih berisi makanan mamanya.
Bima menghela napasnya, ini bukan kali pertama ia harus menenangkan mamanya seperti ini, tapi mau bagaimana lagi?
“Ma, istirahat ya? Bima antar ke kamar.” Ucap Bima saat melihat mamanya sudah mulai tenang.
“Bima, jangan tinggalin mama ya nak…” Ucap mamanya seraya memandang lekat-lekat anaknya itu.
“Iya ma, ngga. Bima disini untuk mama.” Bima tersenyum dan mengelus rambut mamanya.
*** Bima terduduk lemas di teras rumahnya, memandang langit yang malam itu penuh dengan bintang. Ia menghela napasnya seraya menundukkan kepalanya dan memeluk lututnya.
“Bim…” Ucap Ataya seraya menepuk pundak Bima.
Bima terlinjak kaget saat Ataya duduk disampingnya “ Aya? Maaf maaf gue jadi telat nganter lo balik. Gue antar sekarang?”
“Bima, lo nangis?!”
“Ha? Mana ada?” Pria itu membalikkan badannya dan menghapus sedikit air yang menetes dari matanya yang indah.
“Bohong.”
“Maaf.” “Bim, sini.” Ucap Ataya seraya menepuk pundaknya.
“Nangis aja Bim, jangan lo pendam sendiri. Jangan lukai diri lo dengan memendam rasa sedih itu sendirian. Bahu gue selalu ada untuk lo, untuk orang yang juga selalu minjemin bahunya untuk gue.” Sambungnya.
Malam itu, Bima meluapkan semua kesedihannya di bahu Ataya. Gadis itu mengelus punggung Bima yang sedikit bergetar. Tepat setelahnya, terdapat bintang jatuh yang menghiasi langit malam itu.
“Aya, gue anter pulang ya.” Ucap Bima saat ia merasa sudah mulai tenang.
“Lo udah gapapa emang? Maaf ya Bim, harusnya tadi gue ga ikut.”
“Udah, gapapa. Ayo gue anter pulang, udah malam nih ntar bunda lo nyariin anak manjanya ini.”
“Gue ga manja ya!” Kalimat itu membuat Bima mengacak-acak rambut Ataya, katanya gemas.
“Makasih ya, lo selalu ada untuk gue. Disaat orang-orang malu berteman sama gue karena gue miskin dan juga kondisi mama gue yang sekarang mungkin mereka tambah menjauh.” Ucap Bima seraya menundukkan kepalanya.
“Bim, kok lo ngomong gitu sih? Heh, mereka itu bukan malu Bim, mereka tuh iri sama lo karena apa? Karena lo itu siswa berprestasi, mandiri terus baik banget. Iyalah mereka kan gabisa nyamain diri mereka sama lo. Jangan sedih lagi ya, kalo capek ada gue disini.”
“Senyum dong! Giliran gue yang sedih aja lo nyuruh senyum mulu.” Ucap Ataya seraya menyenggol lengan Bima.
Bima tersenyum mendengar kalimat yang Ataya ucapkan, tersenyum begitu manis.