Terima Kasih, Ayah

Di bawah teriknya matahari, seorang pria paruh baya berjalan seraya menopang beberapa papan kayu menuju rumah proyek tempatnya bekerja.

“Pak ini kalau sudah selesai, bata merah yang disana jangan lupa diangkut ya. Soalnya bentar lagi kontraktornya mau ngecek kesini.” Ucap seorang mandor pada pria itu.

“Siap pak, nanti saya angkut kesini.” Jawab pria itu sembari mengelap keringat yang membasahi tubuhnya.

“Ya Allah... Panas sekali cuacanya.” Lirihnya.

Hingga menjelang malam, pria itu baru selesai mengerjakan pekerjaannya sebagai seorang kuli bangunan. Setelah membereskan semua barangnya, ia berjalan menuju sebuah tempat yang sejak beberapa hari lalu ingin ia kunjungi.

“Mba, saya mau cari sepatu untuk anak SMA, ada?” Ya, pria itu pergi menuju toko sepatu yang tak jauh dari tempatnya bekerja.

“Untuk anak cowok atau cewek?”

“Anak saya perempuan.”

“Yang ini bapak suka?”

“Boleh, saya mau yang ini.”

“Bunda, Alia jadi ngga sabar deh nungguin pengumuman SNMPTN.” Ucap Alia yang membaringkan tubuhnya di paha bundanya.

“Apapun hasilnya, jangan putus asa ya nak. Inget ga kata Umar bin Khattab? Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku. Jadi apapun yang terjadi nanti, kamu hebat, hebat banget.” Jawab Yasmin seraya mengelus kepala Alia dengan lembut.

“Kalau-” Ucapan Alia terpotong saat mendengar suara dari luar rumahnya.

“Assalamualaikum...” Suara itu membuat keduanya bertatapan cukup lama.

“AYAH!!” Gadis itu terkejut melihat Hendri yang berada di hadapannya saat itu.

Hendri merentangkan kedua tangannya agar anaknya itu dapat memeluknya.

“Ayah kemana aja, aku kangen...” Lirih Alia.

“Maafin ayah ya nak.” Ucap Hendri seraya mencium pucuk kepala Alia.

“Yasmin...” Lirih Hendri. Ia berjalan menuju Yasmin dan memeluk wanita itu sembari menahan air matanya.

“Maafin aku ya, waktu itu aku salah. Aku janji gaakan mengulangi hal yang sama.”

“Aku juga minta maaf, harusnya aku juga bisa menjaga perkataan ku.” Ucap Yasmin.

“Kita mulai dari awal lagi ya, sekarang kamu cukup di rumah dan menjadi ibu rumah tangga, biar aku yang kerja.” Ucap Hendri yang dibalas anggukan oleh Yasmin.

“Sini...” Ucapnya seraya merentangkan tangannya pada Alia dan memeluk kedua bidadari nya itu.

“Oh iya, ini ayah bawa sesuatu untuk anak ayah.” Sambungnya.

“Serius?! Apa Yah?” Tanya Alia.

“Taraaa!!!” Ucap Hendri seraya mengeluarkan kotak sepatu dari kantong plastik yang ia bawa.

“Ayah beliin Alia sepatu? Ayah ini bagus banget! Makasih ya...” Ucap Alia sembari memeluk Hendri.

“Cobain dulu, ukurannya udah pas belum?”

“Pas banget, makasih ayah.”

“Sama-sama sayang.”


“Nak, gimana kuliah kamu? Lancar?” Tanya ustadz Hafiz pada Harriz.

“Alhamdulillah lancar, Abi. Kurang lebih tiga bulan lagi Harriz selesai.” Jawab Harriz.

“Alhamdulillah, Abi seneng dengernya. Oh iya, tentang kalian bagaimana? Nak Alia sudah memberi keputusan?”

“Udah, katanya Alia siap.”

“Alhamdulillah... Jadi kapan kalian berencana untuk menikah?” Tanya ustadzah Aisyah.

“Kalau itu, nanti Harriz bicarakan setelah Alia lulus. Harriz ngga mau mengganggu waktu Alia dulu untuk sekarang.”

“Yasudah, Abi serahkan sama kalian saja.”

“Oh iya, gimana nih perasaannya sudah jadi dokter?” Tanya ustadzah Aisyah pada anak bungsunya itu.

“Seneng, bersyukur bisa bantu banyak orang. Doain Harriz ya umi, abi biar lancar kuliahnya.”

“Aamiin, umi sama abi selalu mendoakan anak-anak umi yang hebat ini. Semoga Harriz bisa jadi dokter yang hebat ya.”